MOJOK.CO – Film horor Indonesia kalau mau cuan itu gampang. Pakai saja budaya Jawa, meski sebenarnya malah menista. Terakhir, film “Primbon” yang akan tayang 10 Agustus nanti.
Kalau mau bikin film horor Indonesia yang pasti laris, pakai saja atribut Jawa. Misalnya, temanya setan “asli” Jawa, menggunakan kosakata Jawa di dalam judul, hingga pemainnya ada yang pakai kostum dukun Jawa. Selain itu, bikin adegan artis kesurupan, lalu meracau serta mengigau mantra berbahasa Jawa.
Jangan lupa pakai soundtrack tembang Jawa (yang liriknya sebenarnya tentang cinta, tapi nggak tahu artinya, dan film horor Indonesia bikin itu terkesan lagu mistis), tampilkan aksara Jawa dalam mantra atau rajah gaib, setting tempat di desa bernuansa Jawa. Terakhir, pakai properti kembang, kemenyan, dan dupa a la Jawa. Ini adalah teori dasar “Kiat-kiat Membuat Film Horor Indonesia yang Pasti Meledak”.
Tentu kawan-kawan sineas sudah menghafal dan memahami rumus-rumus di atas. Baik itu filmmaker, maupun aktor/aktris yang main, bahwa cerita horor + elemen kejawaan = cuan.
Anda akan dengan sangat mudah menemui data ini di google. Ketik saja “film horor Indonesia yang laris”, pasti ada unsur Jawanya. Yang literally menonjolkan unsur Jawa sejak dalam poster film. Sebut saja “Lampor”, “Lingsir Wengi”, “KKN di Desa Penari”, ”Sewu Dino”, “Pesugihan, “Jailangkung”, dan masih banyak lagi.
Segala perdebatan dan ketidaksetujuan akan masalah tersebut, baik dari pegiat budaya Jawa maupun netizen yang tersulut provokasi jawaholic, selalu disuarakan. Namun, seperti halnya protas-protes yang lazim di negara ini, yang diprotes selalu ndableg. Mereka bersikap bodo amat, karena toh industrinya tetap berjalan dan cuan terus mengalir. Lama-lama, para pelaku industri film ini mirip politisi, sukanya ngeles.
Baca halaman selanjutnya.
Film horor yang malah mencederai dan menista budaya Jawa….
“Primbon”, film horor Indonesia terbaru yang mencederai budaya Jawa
Isu terbaru yang memantik protes ini adalah poster film horor Indonesia berjudul “Primbon”. Poster film yang terbingkai coming soon ini saya temui kemarin ketika sedang reli nonton “Oppenheimer” dan “Barbie” di bioskop. Dalam posternya, film ini baru akan rilis pada 10 Agustus. Tapi, tanpa perlu melihat filmnya dan tahu kedalaman ceritanya, karya ini telah menyakiti hati saya, sebagai “si paling Jawa”.
Tentu saja saya harus menyuarakan ketidaksukaan. Pemakaian atribut kejawaan dari kosakata primbon dan wardrobe njawani dalam posternya jelas secara sadar atau tidak adalah bentuk upaya menerapkan rumus-rumus pembuatan film horor yang telah diungkapkan di atas.
Bagaimana tidak protes? Di saat saya dan kawan-kawan komunitas Jawacana di Jogja sedang terengah-engah, swadaya dan swadana, getol bikin berbagai kegiatan yang salah satu tujuannya adalah mengembalikan marwah kejawaan itu “menjadi baik”, meriset dan menyajikan berbagai hal yang dianggap klenik, syirik, bidah, musyrik, mistis, itu dalam perspektif ilmiah dan bisa dipahami masyarakat, termasuk belakangan ini tim alumni Sastra Jawa sedang membedah primbon agar menjadi pengetahuan akademik, eh lha kok dihororkan lagi.
Sebenarnya, primbon itu mengandung makna yang luhur. Ia menjadi sistem pengetahuan dari leluhur akan sistem perhitungan untuk menjalani daur hidup manusia Jawa. Saat ini, kami sedang memperjuangkan, sampai berdarah-darah, agar primbon menjadi alternatif wawasan demi mengurai masalah-masalah kehidupan.
Akan tetapi, kalau primbon tersebut lalu dimediasi oleh kekuatan industri korporasi film horor Indonesia yang sedang superpower ini menjadi hal yang “seperti dulu lagi”, yang mistis, klenik, dan tidak jauh segala pemahaman bengkok masyarakat akan kejawaan, lantas jadi badhar pula upaya kami.
Kebudayaan Jawa itu sudah ternista
Kami perlu menyampaikan protes perihal “Primbon”. Seperti protes-protes film horor Indonesia beratribut Jawa sebelumnya, misalnya “Lingsir Wengi”, “Megatruh”, “Sewu Dino”, dan lainnya.
Tapi, tenang. Artikel ini mungkin satu-satunya cara kami nglurug tanpa bala, melawan dengan elegan. Karena kami juga menyadari bahwa komunitas ini hanya butiran debu berisi kumpulan kecil alumni Sastra Jawa yang selow.
Pasukan kami belum banyak. Kami tidak akan lantang turun ke jalan bikin gerakan. Panas. Lagian kami tidak punya cukup modal buat ngasih nasi bungkus untuk merekrut pendemo pro kejawaan melabrak dan menyumpahi kantor PH yang getol banget bikin film horor Indonesia memakai atribut Jawa.
Meskipun jujur, rasanya kebudayaan Jawa ternista juga. Kami juga tidak punya duit untuk sewa pengacara demi mengajukan somasi pada produser film horor ini. Wong untuk bikin program kelas diskusi ilmiah tentang primbon saja kami masih tombok.
Tapi Rudi Soedjarwo, “Apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat!”
Unsur kejawaan akan selalu dipandang negatif
Apa yang dilakukan oleh sineas film horor Indonesia ini melanggengkan konstruksi sosial akan unsur-unsur kejawaan yang negatif. Pemaknaan masyarakat akan kejawaan yang mistis akan semakin tebal. Ya “Primbon” itu misalnya.
Suatu makna (meaning), jika diproses dan ditubuhkan ke masyarakat secara terus-menerus, berulang-ulang, lama-kelamaan akan menjadi realitas. Proses untuk “menjadi nyata” (realitas sosial) tidak hadir begitu saja, tetapi diterima dan dimaknai melalui sebuah proses dialektis, timbal-balik (feedback) yang berlangsung dalam waktu lama. Setidaknya itulah gagasan konstruksi sosial yang pernah disinggung Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Construction of Reality: A Treatise in Sociological of Knowledge (1991).
Cara filmmaker horor mendiskreditkan kejawaan dengan terus-menerus ini, pada akhirnya berdampak pada “kenyataan” di masyarakat yang cenderung diskriminatif dan menganggap negatif segala aspek kejawaan yang sebenarnya bisa saja berarti positif, jika mau dibaca lebih mendalam.
Apalagi konstruksi sosial tersebut dimediasi oleh kekuatan sebesar seni film, di mana mekanisme rekayasa audio visual sebagai perangkat paling mujarab untuk memengaruhi pikiran orang, menjadi keunggulan teknis dalam bidang seni ini. Belum lagi secara sosial, medium seni ini sedang berada dalam puncak jayanya. Dan secara politis, film horor Indonesia sedang jadi kesenian “anak emas” yang dimanja negara.
Film horor Indonesia yang malah mencekik komunitas masyarakat Jawa
Tahukah kamu, hal ini makin mencekik komunitas-komunitas yang setia dan heroik memperjuangkan kejawaan agar dapat “kembali ke masyarakat Jawa” yang sedang tumbuh di ruang-ruang kecil. Aktivisme ini masih sangat susah payah menghadapi musuh besarnya, yakni ideologi agama yang telah ratusan tahun menegasikan local genius kejawaan dengan segala strateginya. Eh, lha sekarang tambah digempur oleh kesenian film horor Indonesia yang punya amunisi industri sangat mumpuni.
Kami meyakini, Anda semua, para sineas yang terlibat dalam “Primbon” pasti sebetulnya sudah memahami permasalahan yang ini. Kesenian film itu diisi orang-orang pintar dan kritis.
Mereka tidak mungkin abai atau tidak menaruh perhatian pada hal-hal yang mencederai kemanusian ini. Apalagi hanya demi cuan. Toh, anak film juga sering nge-bully para content creator yang karyanya tidak edukatif dan diskriminatif pada unsur tertentu, semestinya kita juga ngaca dan menjauhi hal tersebut.
Sekaliber Rudi Soedjarwo pasti sudah paham. Apalagi di poster film horor Indonesia itu ada Happy Salma yang makin concern menyuarakan marginalitas dan seni-seni kecil tradisional. Lalu ada pula Nugie, yang sampai parau meneriakkan kemanusiaan dan keseimbangan alam semesta dalam karya-karyanya.
Tapi, jika kumpulan orang-orang cerdas itu mlengos, tak menggubris tulisan ini, kami ini sebenarnya sudah siap untuk kembali menempati posisi “tidak dianggap”. Melakukan aktivisme kejawaan itu berarti sudah sadar untuk terbiasa bergerak di ruang senyap dan mampat, tidak dilihat masyarakat. Tentu beda dengan dunia sinema yang serba tersorot gilang-gemilang.
Atau, kalau para sineas lalu membaca kritik ini dan merasa tidak terima, lantas mengajak diskusi atau berdebat, percayalah kami akan pasti kalah dan menyerah. Segala argumen atau narasi kami pasti akan patah di hadapan kekuatan film horor Indonesia.
Sehari-hari jago berskenario
Anda semua itu orang yang dikaruniai otak brilian dan terbiasa mengarang narasi dengan sangat indah. Untuk meng-counter opini ini, bagi orang film horor Indonesia apalagi “Primbon”, jadi hal yang sangat gampang.
Bagi sineas, merespons kritikan semacam ini untuk dikemas menjadi drama, tragedi, atau melankolis (hingga misal ending-nya para pejuang Jawa justru jadi iba menitikkan air mata), adalah hal yang enteng. Memang sehari-harinya jago berskenario.
Lha wong skena film itu isinya tukang nulis, kreatif, imajinatif, modalnya besar, hal-hal yang khayali saja bisa dengan mudah disulap menjadi sinema yang tampak nyata. Apalagi cuma merangkai konflik untuk melawan kritikan ini.
Barangkali tulisan ini bisa saja menjadi protes yang prematur. Lha wong filmnya aja belum tayang, belum tahu ceritanya, kok sudah crigis. Bisa jadi nanti kalau sudah nonton filmnya, justru ceritanya malah ngapik-apik kebudayaan Jawa. Atau justru poster filmnya nge-prank, ternyata filmnya tidak serem, atau ini bukan film horor.
Atau malah justru ngasih plot twist, ternyata ceritanya tentang hantu yang memberi edukasi dan kajian memahami primbon secara ilmiah, dengan sumber-sumber empirik dan dikemas dalam kualitas sinematografi sekelas Hollywood.
Yang menjelaskan kalau primbon ini sangat berguna bagi peradaban manusia hari ini untuk menyelesaikan segala permasalahan mental health, krisis iklim, ketahanan pangan, dan kesewenang-wenangan penguasa. Misalnya….
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Nestapa Perempuan dalam Film Horor, Kalau Tidak Manut Bakal Jadi Setan Menakutkan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.