Fenomena Dildo dan Usulan Kotak Kosong yang Beda dengan Golput

MOJOK.COSemakin banyak netizen merespons positif Nurhadi-Aldo (Dildo) menunjukkan kita butuh ruang ketiga dalam Pilpres. Bukan sebagai Golput, melainkan sebagai suara Kotak Kosong.

Menarik melihat perkembangan politik pada akhir dan awal tahun ini. Ada dua hal yang saya ingat dan ternyata saling menjalin hubungan gelap dalam kepala saya akhir-akhir ini.

Pertama, munculnya Capres-Cawapres Nurhadi-Aldo (Dildo) yang memparodikan pertarungan kedua Capres resmi Pilpres 2019 mendatang. Kedua, pada Pilkada serentak tahun lalu di beberapa daerah hanya ada satu Capres peserta yang dilawankan dengan Kotak Kosong; bahkan Kotak Kosong menjadi pemenang di Makassar.

Bersama-sama, keduanya menjadi #kodekeras (terutama capres Dildo) setidaknya buat saya pribadi bahwa sebagian masyarakat sudah mulai jenuh dengan panggung pemilu belakangan ini.

Serupa dengan kejenuhan atas sandiwara Pemilu di masa Orde Baru yang ditumpahkan dalam euforia kampanye jalanan berdesibel tinggi sampai merusak gendang telinga secara harfiah.

Mungkin kini alasan kejenuhannya berbeda, walaupun manifestasinya sama: sandiwara politik yang muncul di berbagai media. Lihat saja, baru kurang dari dua minggu muncul, akun sosial media Dildo sudah memiliki ratusan ribu pengikut. Ini tanda: masyarakat ternyata butuh ruang ketiga.

Sebenarnya saya sangat setuju dengan kata-kata Franz Magnis-Suseno: “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa,” tapi pernyataan ini terlalu sempit jika digunakan untuk menyoroti permasalahan Golput.

Terbaik dan terburuk dalam pernyataan di atas hanya merujuk pada para Capres peserta Pemilu, dan tentu ada saja politisi atau siapa pun itu di luar sana yang lebih baik atau lebih buruk tapi kebetulan tidak ikut sebagai Capres dalam Pemilu.

Maka bisa saja terjadi di antara dua Capres saat ini yang satu lebih baik sehingga layak disebut terbaik tapi jika ditarik ke konteks yang lebih luas sebenarnya juga sama buruknya. Bukan berarti saya mengharapkan Capres yang sempurna, tapi come on, kedua Capres saat ini seharusnya bisa lah berusaha lebih baik lagi.

Contoh kasus: dalam pengamatan saya, kedua Capres dalam persiapan Pilpres 2019 ini belum berusaha sebaik yang dia bisa. Malah dalam beberapa hal, Capres-Cawapres Dildo justru terlihat lebih serius berkampanye.

Banyak sekali blunder politik yang tumpah ke media dan dijadikan bahan bulan-bulanan bagi pendukung Capres lainnya. Ini tidak sehat, sama tidak sehatnya dengan mempertemukan Real Madrid atau Barcelona dengan kesebelasan Tarkam dari pelosok Indonesia di partai final Liga Champions.

Sekali lagi, bukan berarti Capres satunya serta merta menjadi yang terbaik dalam konteks luas, justru sangat berpeluang hal ini menjadikan seorang Capres jadi gegabah lalu tidak berusaha sebaik mungkin karena meremehkan lawan.

Jadi, permasalahan terdekat lain yang tidak mampu diselesaikan adalah bagaimana meyakinkan bahwa semua Capres yang mengikuti Pilpres berusaha sebaik yang mereka bisa dalam pertarungan politik kali ini.

Untuk itu, saya punya usul. Meski usulan ini terlambat untuk Pilpres 2019, karena untuk dapat dijalankan harus ada payung hukumnya terlebih dahulu, tapi setidaknya karena jarang-jarang saya punya ide politis, saya tulis dulu saja sebelum hilang dimakan waktu, yakni: Hadirkan Kotak Kosong!

Ya, walaupun ada lebih dari satu Capres, tapi ada baiknya KPU mempertimbangkan Kotak Kosong. Jadi kalau ada kotak untuk mencoblos Capres 01, 02, sebaiknya ada pula Kotak Kosong dengan nomor urut 10—misalnya. Secara teknis mungkin terlihat sederhana dan ugal-ugalan namun dampak politiknya akan signifikan saya kira.

Begini anologinya. Saya masih meyakini bahwa banyak dari kita yang pernah mengisi survey dengan lima pilihan jawaban: Sangat Setuju, Setuju, Ragu-Ragu, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju.

Saya yakin sering pula di beberapa pertanyaan kita pilih “Ragu-Ragu”, karena berbagai alasan mulai dari tidak tahu secara pasti, tidak kenal topik yang ditanyakan, sampai memang secara jujur ragu-ragu atas pilihan sendiri.

Nah, Kotak Kosong dalam Pilpres berfungsi seperti pilihan ketiga tersebut, memberi ruang ketiga untuk tetap menjawab walaupun tidak punya jawaban, memilih walau tidak punya pilihan.

Sebentar, sebentar, kalau begitu lalu apa bedanya Kotak Kosong dengan Golput?

Memilih Kotak Kosong berbeda jauh dengan menjadi Golput. Saat ini mungkin perbedaannya samar-samar, tapi Golput itu intinya kan tidak mau memilih karena tidak ada pilihan yang sesuai. Bisa jadi karena merasa ada nama-nama lain di luar sana yang dirasa lebih pantas dicalonkan ketimbang Capres-Cawapres yang tersedia.

Hal yang sangat berbeda dengan memilih Kotak Kosong. Sebab kalau setelah disediakan Kotak Kosong ini masih juga tidak mau memilih (Golput), ya itu artinya mereka benar-benar tidak mau tahu tentang pentingnya memilih. Yang dalam perkembangannya baru pantas untuk disebut: apatis.

Dengan kehadiran Kotak Kosong, banyak calon pemilih akan terdorong untuk mencari tahu sebanyak mungkin mengenai pilihan-pilihan yang ada, karena sudah ada ruang untuk menyatakan sikap politik yang sebelumnya hanya terakomodir oleh istilah Golput. Kotak Kosong malah bisa menjadi pendorong meningkatnya partisipasi politik bagi calon pemilih.

Selain itu, perbedaan berikutnya adalah jika Golput tidak akan masuk hitungan akhir Pilpres, perolehan suara Kotak Kosong bakal dihitung sebagai suara dalam Pilpres.

Lah, memang apa untungnya menghitung Kotak Kosong?

Dengan menghitung Kotak Kosong, Capres akan disadarkan bahwa mereka tidak hanya bertarung melawan Capres lain dalam Pilpres, melainkan juga berhadapan dengan matriks permasalahan masyarakat versus potensi mereka masing-masing dalam penyelesaiannya.

Kesadaran tersebut diharapkan dapat mendorong tiap Capres beserta Timsesnya untuk lebih maksimal menyusun tawaran program yang akan dikampanyekan. Bahwa yang mereka kejar adalah kualitas jualan program yang maksimal. Bukan cuma berhenti pada asal-bisa-menang-dari-capres-lawan.

Selain itu, mereka juga akan lebih fokus pada permasalahan secara sederhana tanpa ndakik-ndakik, sehingga tidak banyak energi yang tersisa untuk saling menyerang dengan kebohongan, banyolan, dan bualan yang mulai menjengkelkan. Sebab musuh mereka bukan cuma Capres lawan, melainkan juga harapan rakyat dalam wujud: kotak kosong.

Pada akhirnya Kotak Kosong akan memunculkan semangat baru, di mana Capres akan dipaksa bertarung dengan harapan rakyat yang tidak mampu mereka akomodasi selama mereka kampanye.

Jika pada akhirnya suara terbanyak diperoleh oleh salah satu Capres, perolehan suara Kotak Kosong (ditambah perolehan suara Capres lainnya) akan menunjukkan tingkat ketidak-kepercayaan masyarakat pada Capres terpilih.

Artinya, ada segmen masyarakat yang akan selalu menjadi kekuatan oposisi selama masa kepemimpinan Capres tersebut, dan oposisi ini tidak harus berada di kotak yang sama dengan Capres yang kalah.

Oleh sebab itu, Kotak Kosong dalam pemilu sangat mungkin mendorong majunya demokrasi melalui fungsinya sebagai ruang ketiga sekaligus kontrol politik bagi masyarakat sipil yang betul-betul netral. Alias bukan cuma sekadar tukang kritik yang sakit hati karena Capres jagoannya kalah.

Dan harapan keberadaan Kotak Kosong ini terlihat terus menguat dengan semakin bertumbuhnya respons positif yang diterima Nurhadi-Aldo atau Dildo. Capres-cawapres dari Partai Untuk Kebutuhan Iman (PUKI), sebagai capres-cawapres nomor urut 10 melalui jalur prestasi.

Terakhir, karena saya ingin berpikir positif, mohon maaf jika belum ada satu pun argumen kontradiktif dari usulan ini. Namun alangkah baiknya ruang kosong tersebut diisi oleh orang lain saja. Supaya, kalau tulisan ini tidak cukup kamu setujui, kamu berkesempatan untuk membantahnya.

Salam Dildo dan Salam Kotak Kosong.

Exit mobile version