Seorang teman pagi-pagi mengirimkan tautan berita. Seperti biasa, saya termasuk orang selalu mengambil jarak atau minimal curiga dan waspada terhadap segala macam sharing apapun yang kerap viral di media sosial termasuk Whatsapp. Saya selalu menjaga jarak. Melirik saja tidak, boro-boro membacanya.
Saya trauma dan risih dengan mereka yang merecehkan sorga dengan cara mengecernya seharga like, komen ‘amin’, syer, insyaAllah mendapat jannah. Setahu saya ndak ada tuh hadis yang berbunyi: “barang sipa mengesyer, melike, dank omen amin di setiap berita baik yang dikirmkan kepanya maka jannatun naim adalah ganjaran yang sepantas untuknya”.
Rumusnya kan jelas: Kalau ndak sebenda apapun, meskipun sebiji zarrah, jika ia tak ada di Al-Quran dan Hadis, maka ia adalah Bid’ah. Ini jelas. Ndak usah kita perdebatkan.
Tiang listrik, kita tahu, mau dilobi dan didebat seperti apapun, ia tak akan pernah bengkok. Bagitupun tanaman enceng gondok, sampai tukang bubur lunas naik haji semuanya, mereka ndak akan bisa diajak ngopi-ngopi dan diskusi. Haram, akhi. Haram.
Namun, tidak dengan pagi itu, ketika seorang kawan mengirim tautan berita berhulu: “MUI Samarinda: Polisi Tidur Masih Makruh Hingga Haram”.
Saya membukanya. “Ini baru fatwa,” gumam saya dalam hati. Soalnya menyangkut hidup kita sehari-hari. Beginilah seharusnya MUI, yang difatwakan tidak usah ndakik-ndakik soal penistaan agama, radikalisme, terorisme yang melangit dan mengawang-awang itu. Yang beginian ini, yang dekat dengan hidup kita sehari-hari ini yang harusnya difatwakan.
Soal polisi tidur, kita tahu, sesungguhnya bukanlah fenomena langka. Polisi tidur jamak dengan mudah kita temui di mana-mana. Semua kendaraan pernah merasakan sensasi polisi tidur. Jikapun ada kendaran yang tidak pernah merasakan polisi tidur paling-paling kapal terbang, helikopter, atau kapal selam.
Semua kendaraan yang melata (di aspal) pernah merasakan betapa hajinguknya polisi tidur ini.
Kita harus curiga bahwa apa yang pernah dibilang oleh Ernst Cassirer bahwa manusia itu homo symbolicum sebagaimana termaktub didalam bukunya yang cukup monumental: “An Essay on Man” hanyalah ilusi.
Atau jika memang benar manusia itu makhluk yang mengerti dan peka terhadap simbol, mungkin itu dulu, sangat dulu, mungkin jauh sebelum ada kabar gembira bahwa kulit manggis kini ada ekstraknya.
Semakin kesini, manusia rabun simbol, atau bahkan buta.
Anymal Simbolicum itu mestinya paham dan tahu bahwa jika lampu lalu lintas berwarna merah itu artinya kita tidak boleh melintas dan harus berhenti tepat sebelum garis pembatas marka. Biasanya sesudah garis pembatas marka itu jalanan dicat mirip tubuh zebra, itu simbol bahwa area yang dicat zebra adalah area penyeberangan.
Lha manusia sekarang ndak paham begituan. Ndak ngerti simbol.
Akibat kebutaan terhadap simbol itulah peradaban kita melahirkan susuatu yang fenomenal: polisi tidur.
Polisi ini, sejauh kita pahami bersama, adalah makhluk yang tidak pernah bangun. Saban hari ia menyediakan batang tubuhnya untuk dilindas apa saja yang melintas. Masih untung cuma dilindas, tidak sedikit malahan yang sudah melindas, masih mengumpat dan ngata-ngatain pula:
“Polisi, tidur saja nyusahin, apalagi kalau bangun… pasti kemana bawa kuitansi”.
Jika kita melintas di kampung, mula-mula karena banyak anak kecil atau bahkan orok keliaran, kita diperingatkan secara halus oleh penduduk setempat: “Pelan-pelan. Max 10 Km/jam”. Peringatan itu biasanya ditulis pakai tangan menggunakan cat tembok dan ditempel atau digantung di tengah jalan.
Harapannya jelas: biar makhluk apapun yang sedang berkendara dan melintas di jalan itu memelankan laju kecepatan kendaraannya.
Tapi nampaknya upaya itu tidak berhasil. Buktinya motor dan kendaran yang melintas tetap masih kenceng. Peringatan pun lebih kasar: “Ngebut, Benjut!”.
Bahasa ini, kita tahu adalah bahasa kasar dan ringkas. Rimanya yang enak di lidah, sangat mungkin membuat orang tidak takut. Sebab ngebut benjut adalah bahasa satrawi, meskipun ia kasar, tapi karena berima, maka kedengarannya menjadi romatis. Upaya ini nyatanya ndak berhasil juga.
Dari sanalah ilham polisi tidur itu datang. Sekelompok orang membangun gundukan di tengah jalan raya. Alur berpikirnya jelas: manusia sudah tidak bisa membaca simbol, sudah tidak mengerti tulisan. Maka simbol itu harus kita konkritkan menjadi benda nyata.
Gundukan yang njebablak di tengah jalan itu kemudia kesohor dengan sebutan polisi tidur.
Saya tidak megerti kenapa disebut polisi tidur, jikapun ia mirip polisi yang sedang tiduran, kita pantas bertanya kira-kira posisi tidur yang demikian itu posisi tidur yang bagaimana? Tengkurap, mlumah, atau miring? Entahlah. Yang jelas sampai saat ini belum ada disertasi membahas tentang itu.
Polisi tidur satu ternyata ndak cukup. Lahirlah varian-varian polisi tidur yang dahsyat. Ada yang gundukannya lebih dari satu, bisa dua, tiga, lima, tujuh, sepuluh, bentuknya mirip gulutan ladang tebu atau urukan tanah yang disipakan untuk menanam jagung.
Ada pula varian yang saking tingginya bukan lagi disebut polisi tidur namun polisi jongkok. Mungkin karena capek tiduran, maka ia memutuskan untuk sesekali jongkok atau suatu saat bisa juga berdiri dan akan lebih merepotkan kita.
Saya ngeri membayangkan kelak jika Haji Lulung berhasil jadi Presiden Indonesia tahun 2029 saat itu pula sangat mungkin, karena kebutaan kita terhadap simbol sudah sampai titik didihnya, jalanan kita semuanya ndak ada yang semulus kain sifone. Sepanjang jalan, sepanjang itu pula polisi tidur merebahkan dirinya.
Dari penjelasan inilah, wahai anak muda sekalian, saya ingin berkata: betapa fatwa MUI itu abadi, kita yang fana. Maha benar MUI dengan segala fatwanya!