MOJOK.CO – Ada perbedaan mencolok antara logat Jawa Ngapak dan logat Jawa Medok. Hal-hal yang tidak disadari—bahkan—oleh penutur bahasa Jawa sendiri.
Indonesia dikenal dengan keberagaman budaya, suku, dan bahasanya. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1340 suku bangsa dan 1158 bahasa daerah di Indonesia. Jadi kalau ngomongin toleransi harusnya negara Indonesia sudah khatam.
Suku Jawa yang mendominasi populasi masyarakat Indonesia yaitu sebanyak 40% pun masih memiliki keragaman dalam berbagai dimensi.
Salah satu hal mencolok yang bisa menggambarkan orang Jawa bagian mana adalah logat bahasanya. Teman saya yang dari Sumatra—meskipun nggak ngerti bahasa Jawa—tahu persis kalau logat saya dengan logat teman saya yang dari Jawa Timur itu beda.
Secara kasar, jenis bahasa Jawa yang dikenal masyarakat pada umumnya adalah logat Jawa Ngapak dan logat Jawa Medok (dalam bahasa Jawa: medhok). Logat Jawa Ngapak identik dengan bahasa masyarakat Jawa Tengah bagian barat, sedangkan bahasa Jawa Medok identik dengan bahasa masyarakat Jawa Tengah bagian timur sampai ke Jawa Timur.
Meskipun masih sama-sama menggunakan logat medok, logat medok orang Jawa Tengah dan logat medok orang Jawa Timur berbeda. Namun perbedaan keduanya masih terdengar wajar ketika ngobrol, masih sama “iyo”-nya.
Lalu di mana letak pembauran antara logat ngapak dan medok yang bagaikan air dan minyak ini?
Terlepas dari penelitian budaya secara keilmuan, melihat dari letak geografis, pembauran bahasa ini ada di daerah Jawa Tengah. Kalau Cilacap adalah penutur logat ngapak sedangkan Purworejo menggunakan logat medok, Kebumen adalah pertemuan antara keduanya.
Sebagian besar orang mungkin mengira Kebumen adalah penutur logat ngapak. Namun pada kenyataannya ada sebagian kecil dari wilayah Kebumen yang dihuni oleh orang-orang yang juga menuturkan bahasa Jawa dengan logat medok, dan sebagian kecilnya lagi menggunakan bahasa yang tidak medok dan sedikit ngapak.
Daerah pembauran atau asimilasi budaya ini menuturkan banyak sekali kata dalam bahasa Jawa dengan logat yang orang dengan logat medok maupun ngapak sendiri akan merasa asing.
Di Kebumen bagian selatan terdapat sebuah desa bernama Kembangsawit. Di desa ini logat Jawa yang digunakan tidak terlalu ngapak bagi penutur logat ngapak, dan tidak medok bagi orang medok.
Adalah hal biasa bagi saya dan keluarga terdengar geli saat ngobrol dengan sepupu yang tinggal di Kebumen kota, begitu pula sebaliknya yang dirasakan mereka. Nggak jarang kami pun saling menirukan karena oleh masing-masing dari kami merasa logat penutur lawan terdengar lucu.
Emangnya seperti apa logat peralihan ini?
Kalau logat medok identik dengan penuturan vokal O dan logat ngapak identik dengan penuturan vokal A, di daerah peralihan ini kata-kata dengan vokal O dan A tadi menjadi E. Vokal E di sini diucapkan seperti mengucapkan “e” pada kata kata elang (əlang).
Saya kasih contohnya beberapa.
Ngapak : pira
Peralihan : pire (pirə)
Medok : piro
Artinya : berapa
Ngapak : aja
Peralihan : aje (ajə) atau ada juga yang menggunakan eje (əjə)
Medok : ojo
Artinya : jangan
Ngapak : sega
Peralihan : sege (səgə); atau ada juga yang menuturkan vokal “e” depan seperti “e” pada elang dan vokal “e” belakang seperti “e” pada erosi (tempat tinggal mereka masih satu kecamatan namun berbeda desa).
Medok : sego
Artinya : nasi
Tapi tidak semua kata tinggal mengganti vokal A atau O dengan vokal E, ada beberapa kata yang masih tetap menggunakan A, seperti iso (artinya: bisa) dalam medok akan menjadi “isa”, baik dalam logat ngapak maupun peralihan.
Sewaktu saya SD beberapa teman saya yang hidup di perbatasan Kutowinangun sudah termasuk dalam penutur logat medok.
Memang tidak seasing pertukaran pelajar dari Indonesia ke Jepang sih, tapi di usia itu saya sudah merasakan perbedaan bahasa yang begitu kentara. Dan karena usia saya yang waktu itu masih satu digit serta belum banyak dipengaruhi hormon ini-itu, saya hidup dengan menuturkan bahasa jawa logat “E” dengan lantang.
Masuk SMP saya bertemu dengan lebih banyak orang dari daerah yang lebih beragam meskipun hanya lintas kecamatan. Maklum, sekolah SMP saya nggak jauh dari rumah, agar lebih hemat serta dalam rangka memajukan perekonomian kecamatan.
Dengan begitu banyaknya teman baru yang di antara mereka ini ada penutur A, O, dan E, saya pun banyak belajar bahwa penutur E ini ternyata masih banyak lagi ragamnya.
Kami menuturkan logat masing-masing dengan percaya diri dan di sini semua terdengar sangat wajar. Saya akan ngobrol, berdiskusi, bertengkar, bergembira, maupun marah-marah dengan logat yang konsisten. Saya merasa belajar banyak untuk memahami perbedaan tanpa perlu mencampuradukkan.
Beranjak remaja, di SMA bisa dibilang saya adalah kaum minoritas. Karena SMA saya di Kebumen kota, kebanyakan teman-teman saya menuturkan logat A. Jadi tak pelak lagi logat yang saya pakai kadang mendapatkan ejekan karena terdengar aneh bagi beberapa orang. Dan tidak jarang juga beberapa dari mereka malah mengikuti dengan kebablasan menirukan logat medok “O” dan bukan “E”.
Pengaruh urbanisasi dan perkembangan teknologi menjadikan kekhasan logat atau bahasa ini semakin beragam sekaligus bergerak menuju kepunahan.
Suatu hari ketika saya kembali berkumpul dengan teman-teman SMA saya menyadari bahwa logat ngapak kami sudah banyak tercampur dan berubah. Saya mempersembahkan akulturasi sunda-ngapak, begitu juga teman saya dengan medok Jogja/Solo-ngapak yang sungguh absurd jika kelak saya harus menuliskannya.
Di lain kesempatan saya mendapati keponakan-keponakan saya dibesarkan dengan Bahasa Indonesia dengan EYDDBN (Ejaan Yang Disesuaikan Dengan Bahasa Ngapak). Mereka yang masih krucil-krucil ini tangkas sekali menuturkan bahasa Indonesia dan lihai melafalkan hi, how are you, i am fine.
Menerawang jauh semasa SD dan SMP, saya yang dibesarkan orang tua Jawa totok dengan bahasa ibu mereka, terbata-bata dan kelimpungan menghafal begitu banyak jenis bahasa Jawa Kromo.
Lucu sekali kalau nanti orang Jawa nggak bisa lagi menuturkan bahasanya sendiri atau orang Ngapak lupa akan logat leluhurnya sendiri.