DPR Nggak Salah, Ekspektasi Rakyat Aja yang Ketinggian

DPR memang benar saat langgar tata tertib terus tartibnya yang diubah. Aturan kan dibikin untuk mempermudah manusia. Iya kan?

MOJOK.COKeputusan DPR melanggar tata tertib, tapi bukannya mendapat sanksi, tata tertibnya malah yang kemudian direvisi. Nggak jadi melanggar deh.

Beberapa media memberitakan tentang keputusan DPR beberapa waktu lalu yang bikin saya cekikian sampai terkencing-kencing. Judul beritanya gini: “Keputusan DPR Melanggar Tata Tertib, tapi Tata Tertib yang Diubah.”

Dari judulnya saja sudah jelas bahwa wakil kita yang ada di Senayan sana tampaknya sedang berulah bekerja keras lagi.

Dalam pemberitaan tersebut dijelaskan bahwa DPR memutuskan untuk mengubah isi peraturan tentang tata tertib agar keputusan mereka yang berkaitan dengan jumlah Panitia Khusus (Pansus) yang akan membahas Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU-IKN) menjadi legal atau sah secara formal.

Dalam Pasal 104 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib disebutkan bahwa anggota Pansus berjumlah maksimal 30 orang. Namun, wakil-wakil kita tampaknya memiliki pertimbangan lain sehingga memutuskan jumlah Pansus RUU-IKN sebanyak 50 orang.

Karena tidak ada cara lain, dan sepertinya keputusan DPR tentang jumlah Pansus tersebut sudah teguh, maka satu-satunya jalan adalah… mengubah aturan yang sudah ada lebih dulu.

Luar biasa tegas wakil-wakil kita itu, sekalinya memutuskan, tidak boleh ada yang menghambat, semua harus patuh, bahkan aturan sekalipun harus taat dan tunduk dengan keputusan tersebut.

Saya rasa ini adalah mental wakil rakyat yang selama ini kita dambakan. Tegas, visioner, yang dibalut dengan citra kerja cepat kalau ada kepentingannya.

Saya pun kembali teringat oleh berbagai tingkah lucu dan menggemaskan dari wakil-wakil kita itu. Ini bukan kali pertama mereka “bekerja”. Mulai dari rentetan RUU kontroversial yang mengingatkan kita betapa ringkihnya rakyat untuk sekadar menolak produk legislasi dari DPR.

Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, kelapa sudah jadi santan. Wakil kita sudah memutuskan, dan sebagaimana prinsip yang kita bicarakan sebelumnya, bahwa semua wajib patuh, bahkan peraturan sekalipun diwajibkan untuk taat sama DPR.

Meski begitu kalau dipahami secara prinsip, apa yang dilakukan anggota DPR itu sudah benar. Aturan itu kan ada untuk mempermudah manusia. Lah kalau aturan itu justru mengekang dan mempersulit, ya sudah… direvisi aja dengan yang baru ya kan?

Ya, tidak ada yang salah dengan itu. Ini langkah legal dan konstitusional kok.

Hanya saja kalau kita tarik ke belakang, DPR ini memang demen banget merevisi aturan-aturan yang menguntungkan mereka sendiri, atau setidaknya menguntungkan fraksi mereka sendiri di parlemen.

Dari soal Presidential Treshold yang nggak mutu itu, Omnibus Law yang disahkannya buru-buru banget kayak orang ketahuan maling ayam, atau RUU KPK yang bikin DPR sekarang jadi lebih nyaman mau ngapa-ngapain aja karena KPK sudah di-“PNS”-kan.

Artinya, secara prinsip, DPR tidak salah melihat aturan sebagai tools untuk mempermudah kerja mereka, tapi secara moral DPR seperti bodoamat kalau aturan-aturan itu kelihatan direvisi karena ada mau-maunya.

Dan tampaknya mereka tak begitu peduli amat sama citra mereka untuk pemilihan legislatif periode depan.

Makanya, saya sempat terbesit di pikiran, sebenarnya mereka itu mewakili rakyat mana, sih? Rakyat Bikini Bottom? Kok bisa ya, mereka kayak cuek banget sama protes-protes rakyatnya sendiri?

Lama saya berpikir, akhirnya saya menyimpulkan bahwa wakil kita tidak salah, ekspektasi kita tentang figur wakil rakyat saja yang memang dari dulu terlalu ketinggian. Dan itulah problem utamanya.

Selama ini kita berpikir kalau wakil rakyat di DPR itu adalah representasi rakyat, representasi saya, kamu, dan kita semua. Padahal kan tidak. Tidak sama sekali.

Rata-rata partai dibikin/dikuasai oleh konglomerat, pejabat berkuasa sebelumnya, atau purnawirawan dengan uang pensiun yang ngidap-idapi. Partai punya agenda tertentu, punya rencana tertentu untuk menghidupi “orang-orang”-nya atau mengamankan aset petinggi-petinggi partainya.

Itulah kenapa, mereka yang duduk di Senayan itu selalu diupayakan adalah mereka yang merepresentasikan partai, bukan merepresentasikan rakyat. Hayaaa remok, partai-partai itu kalau kebijakan negara betul-betul untuk kepentingan rakyat keseluruhan. Hidup dari mana mereka?

Makanya, politisi independen, atau calon independen, sangat-sangat dibatasi kemungkinannya untuk berhasil. Karena kalau sekali saja calon independen menang, runtuh lah politik partai di negeri ini. Soalnya semua rakyat akan berpikir, “Oh, selama ini kita bisa tho mengelola negara tanpa punya partai sebenarnya.”

Nah, partai yang kita punya itu rata-rata berisi “pegawai-pegawai politik profesional”. Tugas para “pegawai politik” itu ya demi keuntungan sebesar-besarnya partai. Semakin besar partainya, semakin besar pula peluang mereka jadi pejabat negara.

Dalam alur berpikir kayak gitu, rakyat sih nggak bakal sempat nongol secuil pun di pikiran mereka. Sibuk sama target, Bosque.

Rakyat yang tadinya patungan buat pajak, buat membiayai negara ini, akhirnya harus gigit jari duitnya dipakai untuk dana-dana operasional agenda-agenda partai dalam bingkai aturan “kerja-kerja negara”.

Dan karena logikanya kayak begitu, tugas mereka tentu saja bukan “menyejahterakan rakyat”, tapi bagaimana membuat partai mereka (minimal) bertahan di parlemen—entah daerah atau pusat, dan (maksimal) bisa memenangkan pemilihan.

Syukur-syukur bisa mengajukan calon… entah bupati, walikota, gubernur, sampai presiden.

Artinya, partai ini memang dari awal desainnya adalah sebuah mesin politik yang roda perjalanannya seperti perusahaan saja. Punya target jangka pendek dan target jangka panjang.

Dan visi misi mereka soal menginginkan seluruh rakyat sejahtera itu jelas ada di list terbawah kalau rapat internal, dan bakal berubah jadi list teratas kalau lagi kampanye.

Karena agenda utamanya ya selalu, semua lapisan pemerintahan dari pusat sampai daerah harus diisi orang-orang yang satu fraksi dengan saya—syukur-syukur satu partai dengan saya.

Embel-embel jargon politisi saja, mulai dari “Kepak Sayap Kebhinekaan” sampai “Kerja untuk Indonesia” secara kasar sudah menunjukkan kok mereka-mereka ini kerja untuk siapa. Tak ada embel-embel rakyat lagi.

Kita udah tak dianggap penting kecuali cuma buat foto-foto pencitraan yang keren atau pemilihan lima tahun sekali.

Dan ketika menyadari itu, lalu masih dengan entengnya ada orang teriak di jalanan punya ekspektasi ketinggian, “DPR itu kan wakil rakyat! Harusnya mewakili kepentingan rakyat dong!”

Ingin rasanya berbisik di telinga orang itu, “Ke mana aja, Bang? Emang sejak kapan DPR mewakili rakyat selama ini? Mewakili partai iya. Makanya, kalau kepengin diwakili anggota DPR, sampean mending jadi kader partai. Paling bener itu.”

BACA JUGA Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia dan ESAI lainnya.

Exit mobile version