MOJOK.CO – Bagi Soedirman, pilihan Sukarno yang menyerah saat diserbu militer Belanda dianggap tidak menghormati jabatan Presiden Indonesia. Sang jenderal kecewa.
Yogyakarta berhati rawan.
Sedari pagi, tepat pada 19 Desember 1948 pesawat-pesawat Belanda menyemburkan hujan peluru, menjatuhkan bom-bom, juga memuntahkan begitu banyak serdadu-serdadu penerjun payung serta penyerbu.
Pangkalan Udara Maguwo di sisi timur kota dengan gelis jatuh ke penguasaan pihak Belanda, dibarengi dengan gugurnya 34 prajurit pengawalan pangkalan dari pihak Indonesia.
Belanda lantas memanfaatkan Pangkalan Udara Maguwo untuk menghilir-mudikkan pesawat-pesawat pengangkut tambahan prajurit maupun peralatan dari kota-kota lain di Jawa, khususnya Semarang dan Bandung.
Itu dilanjut dengan merangseknya satuan-satuan tempur Belanda masuk ke kota Jogja, mengincar target-target yang telah ditentukan oleh duo pimpinan mereka: Letnan Jenderal SH Spoor dan Mayor Jenderal DC Buurman van Vreeden.
***
Termasuk di antara satuan-satuan tempur Belanda yang merangsek masuk kota adalah satu unit elite dengan para personel berkualifikasi komando serta parasutis. Sampai sekitar sebulan sebelumnya, para prajurit unit elite tersebut dikomandani oleh Kapten Raymond Westerling yang tersohor dengan praktik kejinya, khususnya di Sulawesi Selatan.
Namun, dalam aksi hari Minggu itu, unit elite Belanda tadi berada di bawah pimpinan komandan baru mereka, yakni Letnan Kolonel WCA van Beek.
Sekitar pukul 14.00, Van Beek dan para anak buahnya telah berada begitu dekat dengan kompleks bangunan besar yang pada era Hindia Belanda merupakan rumah jabatan Gubernur Belanda untuk Yogyakarta. Dengan segera terkepunglah komplek bangunan besar tadi, yang sejak Januari 1946 menjadi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Kini bagunan itu lazim disebut sebagai Gedung Agung.
Semula Van Beek dan para prajuritnya sangat mungkin menyangka bahwa mereka akan bertemu pertempuran sengit. Dalam perkiraan awal, bukan sesuatu yang aneh kiranya jika para prajurit pengawal istana akan mempertahankan mati-matian kompleks yang mereka jaga.
Di pihak Van Beek tentu ada saja yang mengira bahwa momen pengepungan dan penyerbuan Gedung Agung akan menjadi kesempatan mereka memamerkan skill terbaik sebagai prajurit komando. Entah itu menembaki satu demi prajurit pengawal secara jitu, atau melempari mereka dengan granat atau pisau, atau juga bergelut adu tinju-tendang-banting.
Namun, skenario yang menjurus kepada puputan ala Jawa itu tidaklah mewujud sebagai kenyataan pada hari itu. Setelah tembak-menembak yang tak terlalu lama, para prajurit pengawal istana ternyata kemudian menyerah. Bukan karena para prajurit pengawal istana tak memiliki niatan melawan, tapi karena Sukarno memang menitahkan para pengawalnya untuk tak perlu sampai menyabung nyawa.
Tak lama kemudian seluruh pengawal meletakkan senjata menuruti instruksi presiden mereka yang bahkan juga telah disepakati rapat kabinet pada paginya. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, dan para penghuni istana lantas jadi tawanan Belanda. Mereka ditahan di dalam istana sampai tiga hari kemudian.
Pada 22 Desember, Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim diterbangkan ke Medan untuk menjalani penahanan di Brastagi; Hatta, Komodor Soerjadarma, Mr Assaat, dan AG Pringgodigdo dibawa ke Pangkalpinang, Bangka, untuk menjalani penahanan di Bukit Menumbing.
Dongkolnya Soedirman kepada Sukarno
Pilihan yang diambil Sukarno, Hatta, dan sejumlah elite Republik Indonesia yang berembug di Gedung Agung pada 19 Desember 1948 pagi adalah sesuatu yang menimbulkan kekecewaan Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia saat itu, Letnan Jenderal Soedirman.
Bagi Soedirman, pilihan Sukarno-Hatta agaknya dianggap tidak menghormati jabatan mereka selaku Presiden dan Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri. Dalam merespons serbuan Belanda ke ibukota Republik Indonesia, Sukarno-Hatta menurut Soedirman semestinya bersedia dan berani ikut menyingkir keluar kota serta turut bergerilya.
Lebih lagi jauh sebelumnya Sukarno dan Hatta pernah berucap bahwa mereka akan pergi bergerilya juga jika Belanda kembali memerangi Indonesia. Demikian dirangkum dari penuturan sejarawan Saleh As’ad Djamhari serta Rushdy Hoesein yang turut dimuat dalam majalah TEMPO Laporan Khusus: Soedirman, edisi 12-18 November 2012.
Pada pertemuan pagi 19 Desember 1948, Sukarno bahkan juga sempat beberapa kali meminta Soedirman yang sakit paru-paru untuk beristirahat saja, tak perlu melibatkan diri pada kegentingan hari itu.
Sukarno membujuk Soedirman untuk tetap saja tinggal di Jogja alias menyerah ke pihak Belanda. Termasuk dalam upaya bujukan itu adalah janji untuk mengontak komandan militer Belanda supaya dapat mengupayakan perawatan rumah sakit bagi Soedirman. Ini tentunya menyinggung harga diri Soedirman selaku Panglima Besar Tentara.
Tak mengherankan jika nanti pada Juli 1949, ketika Pemerintahan Republik Indonesia dipulihkan dan para elite republik kembali ke Yogyakarta dari penahanan maupun dari medan gerilya, Soedirman masih sempat menyimpan kedongkolannya kepada Sukarno.
Kedongkolan ini terekam oleh dua foto Frans Mendur. Sukarno memeluk Soedirman yang sempat lama berdiri saja di beranda Gedung Agung, enggan masuk ke dalam. Di situ, gestur tubuh Soedirman jika diamati memang tampak kaku, tak antusias terhadap pelukan Sukarno.
Penolakan Sukarno-Hatta dan sejumlah elite Republik Indonesia untuk pergi bergerilya saat terjadi Agresi Militer II Belanda, menurut Rushdy Hoesein, adalah awal keretakan hubungan sipil dan militer di Indonesia.
Peristiwa itu sering dipakai juga pihak yang kurang menyukai Sukarno sebagai sikap kurang konsisten maupun kurang bernyali dari Sukarno dan para pemimpin sipil Indonesia.
Memupuskan dalih jahat
Namun, Daud Sinjal, penulis buku Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya yang terbit sebagai kompilasi dan rangkuman memori serta pandangan para alumni Akademi Militer Yogyakarta (1945-1950), justru menilai keputusan Sukarno-Hatta untuk tidak turut bergerilya sudah tepat. Pasalnya pasukan yang mencukupi sebagai pengawal Presiden dan Wakil Presiden jika turut bergerilya sudah tidak tersedia.
Kebanyakan prajurit yang semula berkedudukan di Jogja sudah menyingkir ke luar kota untuk bergerilya. Pilihan menyerah ke pihak Belanda serta menjadi tawanan juga memupuskan dalih jahat Belanda untuk membinasakan Sukarno-Hatta via insiden maupun pertempuran.
Ini berarti menghindarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapatkan pukulan psikologis, politis, dan krisis kepemimpinan karena terbunuhnya dua pemimpin tertingginya. Berhubung Sukarno-Hatta dan sejumlah tokoh RI malah menyerah, maka demi menjaga citra di muka Dunia Internasional, khususnya di depan para sekutunya, ya Belanda lantas terpaksa melakukan penahanan secara baik-baik.
Itu artinya Operasi Kraai alias Agresi Militer II pihak Belanda dapat tercegah dalam hal mencapai level kesempurnaannya sebagai pukulan fatal yang diharapkan dapat mengakhiri riwayat Republik Indonesia.
BACA JUGA 9 Fakta Bung Karno: Dianggap Antek Asing sampai Poliglot 10 Bahasa dan tulisan Yosef Kelik lainnya.