MOJOK.CO – Debat soal FaceApp yang bawa-bawa agama belakangan ini mempertemukan pihak kelompok muslim-kanan-garis-keras dengan muslim-kiri-garis-tegas.
“FaceApp hukumnya haram! Sebab mengubah bentuk ciptaan Allah Swt. Dalilnya surat An-Nisa’ ayat 119! Jauhi agar antum tak masuk neraka….”
Saya sontak ngakak membacanya, Anakonda.
Duh, Gusti Pangeran, zaman apa ini sebenarnya kok serba haram, muram sekali hidup ini. Eh, jangan-jangan menyebut Allah Swt dengan “Gusti Pangeran” itu juga haram karena tak ada dalilnya ya?
Akan tetapi postingan fatwa ulama-embuh itu juga serentak membangkitkan ingatan lama saya pada pergulatan lawas banget antara kelompok muslim-kanan-garis-keras dengan kelompok muslim-kiri-garis-tegas.
Pergulatan hakiki nan abadi, yang jelas bukan fenomena milenial FaceApp ini saja, karena hal begini memang telah ada sejak era para sahabat. Hanya karena rahmat sosial medialah, pergulatannya di hari ini menjadi semakin ngawu-awu.
Ciri utama gelut lawas banget itu adalah “kaum kanan-garis-keras gemar sekali mengadakan hukum tegas terhadap hal yang secara hakikat syariat (maqashidus syari’ah) tidak ada,” dan “kaum kiri-garis-tegas gemar sekali menyembunyikan atau meniadakan cakupan hakikat syariat.”
Klop. Yang pertama, kaku-kakuan. Yang kedua, enteng-entengan. Keduanya lalu saling menghadiahi julukan penuh kasih dan sayang satu sama lain.
Yang Kiri menyebut Yang Kanan kaum radikal-ortodoks-konservatis; Yang Kanan menyebut Yang Kiri kaum sekuler-liberal. Gulat kaffah tanpa ujung, serupa pergulatan abadi cebong versus kampret yang sama nyebahi–nya.
Baiklah, maylove, saya ingin mengawali tulisan ini dengan pernyataan terbuka bahwa kedua pihak sama buruknya dan sama nyebahi–nya. Ya, sama-sama ndak mashoknya!
Saya nukilkan dua ayat saja di sini sebagai landasan naqlinya—selebihnya silakan cari ayat sendiri, yes, jangan manjah macam bukan netizen pegulat profesional saja kalian ini.
Surat Ali Imran ayat 7:
Dia lah (Allah Swt) yang menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di dalamnya ada ayat-ayat yang muhkamat (terang hukumnya) dan ada ayat-ayat yang mutasyabihat (samar hukumnya).
Maka orang-orang yang hatianya condong kepada kesesatan, mereka memilih mengikuti ayat-ayat mutasyabihat itu sehingga menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah Swt.
Sementara orang-orang yang mendalam ilmunya (dan saleh) berkata, “Kami beriman kepadanya dan semuanya (ayat muhkamat dan mutasyabihat) dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak ada yang mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).
Lalu surat Ali Imran ayat 78:
Sesungguhnya di antara mereka ada golongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya adalah sebagian dari Kitab padahal ia bukan dari Kitab dan mereka lalu mengatakan, “Ia (yang dibaca itu) dari sisi Allah SWT.”, padahal ia bukan dari sisi Allah Swt. Mereka berkata dusta terhadap Allah Swt sedang mereka mengetahui.
Cukup yes. Anu, takutnya nanti Mojok dikira sedang gelar khutbah Jumat.
Sekarang kita rujuk kaidah dasar pembentukan suatu hukum dalam Ushul Fiqh—ilmu metode pembentukan hukum Islam.
“Jika terkait dengan hukum-hukum yang mutlak (muhkamat, mahdhah), kaidahnya: semuanya TIDAK BOLEH hingga ada dalil yang menyatakannya boleh; jika terkait dengan hal-hal yang hukumnya samar (mutasyabihat, dzanniyah, ghairu mahdhah), alias membutuhkan tafsir dan takwil, kaidahnya: semuanya BOLEH hingga ada dalil yang menyatakannya tidak boleh.”
Jangan kebalik ya, Anakonda?
Salat, misalnya. Kita tidak boleh mengadakan bacaan dan gerakan dalam bentuk lain selain yang telah dinarasikan oleh teks dalil-dalil itu. Titik. Tidak ada ruang tafsir dan takwil di dalamnya.
Ini berkebalikan dengan jual-beli, misalnya. Jika dulu kala jual-beli dilakukan dengan face to face alias offline, kini jual-beli online yang tidak face to face, tapi gadget to gadget, pun sahih belaka karena masih selaras dengan hakikat syariat jual-beli, yakni ‘an taradhin. Tak ada hadisnya to tentang keharaman jual beli online? Kiandani og.
Dikarenakan tiada dalil yang menjadikan hal-hal ghairu mahdhah begini terlarang, maka janganlah diada-adakan keharamannya. Itu buruk, negatif, bisa terjatuh ke celaan dua ayat di atas itu. Niat hati untuk senantiasa bersyariat, tapi karena saking kebablasannya, lalu apa-apa dipacak syariat, hasilnya malah tercela, kan ya eman-eman awakmu, mylove.
Begitupun sebaliknya, di kalangan para sekuleris-liberalis-kebablasan, mbokya mawas diri to. Tidak berarti ke-dzanni-an suatu dalil yang secara metodologis memerlukan tafsir dan takwil rasional kita, lantas boleh kita perlakukan seenak-udel-kepentingannya untuk membenar-benarkan kelakuannya yang secara hakikat syariat melampaui batas.
Sebut misal hakikat syariat (maqashid syari’ah) tentang hubungan lelaki-perempuan non-mahram. Ayatnya memang dzanniyah dalalah, dengan bunyi teks, “Para lelaki hendaklah menundukkan pandangannya dan para perempuan hendaklah menundukkan pandangannya juga dan tidak menampakkan perhiasannya yang tak lazim tampak.”
Hakikat syariat yang dituju oleh ayat 30 dari An-Nur ini adalah sejenis “mari waspadai risiko-risiko ikhtilat yang membawa kerusakan, mari antisipasilah sedini mungkin dengan menjaga mata agar tak jelalatan dan tidak mengumbar aurat, ucapan mancing-mancing (termasuk wasapan), sikap genit, gestur aleman.”
Wujud konkretnya dalam konteks pergaulan dan personal kita tentulah majemuk sekali. Tak bisa digebyah-uyah. Inilah karakter dzanniyah dalalah.
Namun, jelas kita mafhum sekali secara logis bahwa umpama ada yang membenarkan perbuatan memegang tangan atau merangkul lawan jenis non-mahram, itu telah melampaui batas yang menjadi tujuan hakikat syariat itu.
Apapun dalihnya, mau disebut idkhalus surur atau ukhuwah Islamiyah wa basyariyah maupun lita’arafu hingga uji-nyali-iman-versus-amin, ia jelas telah melampaui batas hakikat syariat. Maka, ia terlarang.
Begitu, Anakonda.
Jadi, mari berhati-hati saja dengan kehati-hatian yang proporsional alias tak melampaui batas. Sebab ada lho praktik hukum yang saking hati-hatinya malah terjatuh pada mengada-adakan hukum dan akhirnya sama buruknya.
Clue-nya jelas kini, yakni: jangan mengadakan hukum yang asalinya tak ada (tak logis) bahkan secara hakikat hukum (apalagi secara teks dalil) dan jangan pula menyembunyikan apa-apa yang termasuk dalam lingkup hakikat syariat (apalagi terang secara teks dalil).
Bila prinsip ini dilanggar, niscaya terjatuhlah kita ke dalam golongan yang dicela dua ayat tadi: yang pertama hobi sekali mengatasnamakan Kitab Allah Swt padahal bukan, yang kedua maniak sekali ngakal-ngakali Kitab Allah Swt dengan analisis-analisis ilmiahnya padahal cuma untuk merayakan hawa nafsunya biar nampak syar’i.
FaceApp menjadi contoh aktual kegemaran mengadakan hukum yang sama sekali tak berdasar. Aplikasi mengubah foto menjadi berwajah tua yang jelas-jelas hanya candaan itu disikapi sedemikian seriusnya agar bersyariat. Walah, haya lebay banget to.
Tak main-main, untuk menashih fatwa haramnya, ulama-embuh aka sang mufti menukil (tepatnya sih mencatut dengan memenggal seenaknya) surat An-Nisa’ ayat 119 dengan narasi terjemahan yang babak-bundas: “Dan pasti aku akan menyuruh mereka mengubah ciptaan Allah lalu mereka benar-benar mengubahnya.”
Plus caption: “Karena perbuatan ini (pakai FaceApp) termasuk mengubah ciptaan Allah, yang mana setan telah bersumpah untuk memerintahkannya kepada anak Adam.”
Secara metodologis tafsir ayat tersebut tak bisa diberdirikan sendiri begitu saja—apalagi cuma dipotong. Ayat 119 tersebut mesti ditakwil secara tematik mulai ayat 116 hingga 121.
Walhasil, tema ayat-ayat tersebut bukan mengenai hukum keharaman “mengubah bentuk, foto, atau sejenisnyalah”—apalagi ngurusi aplikasi FaceApp yang sekuler itu, tapi tentang ancaman Allah Swt kepada orang yang menyekutukan-Nya. Alias syirik!
MDRCCTE.