MOJOK.CO – Standar cantik bagi anak-anak ternyata lebih variatif ketimbang standar cantik perempuan dewasa lho.
Meski banyak orang bilang cantik itu relatif, tapi sebagian kita lebih mudah menyematkan kata sifat itu pada wanita berkulit putih, berkaki jenjang, bertubuh sintal, berambut lurus panjang, berjari lentik, berpostur bak biola.
Dan, lebih sering tergagap-gagap kesulitan menemukan kata sifat itu untuk wanita bertubuh subur dengan jerawat bak gugusan bintang-bintang di wajahnya yang berkulit agak gelap. Nah, itulah barangkali yang biasa kita sebut dengan stigma; stigma cantik.
Konon, media jadi biangkeladi stigma-stigma itu terus bercokol di benak masyarakat kita. Melalui film, iklan, bahkan bahan bacaan yang selalu menampilkan gambaran sosok wanita idaman mertua dan kita semua. Bahkan, stigma cantik itu sudah sejak dini menyasar pikiran anak-anak yang masih inosen alias lugu melalui karakter putri-putri cantik bertubuh singset ala-ala Princess Disney. Coba, ada enggak tuan puteri Disney yang gembrot kayak Bok Bariah-nya Unyil? Langka, kan?
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada almarhum eyang Disney yang karya-karyanya membersamai saya juga di masa saya sedang unyu-unyunya, saya pikir ada banyak bacaan (anak-anak) yang justru menyajikan standar cantik yang lain, melalui tokoh anak-anak perempuan yang sedikit ganjil, unik, rebel, dan kadang-kadang nakal. Ya, saya kan sedang menulis di Mojok, ngikutin tagline Mojok sedikit lah, (biar anak-anak) sedikit nakal, banyak akal (sejak dini).
Berikut ini beberapa daftar bahan bacaan (anak-anak) yang bisa jadi referensi untuk menilik kembali standar cantik yang ada saat ini. Cekidot!
1. Seri Pippi Longstocking karya Astrid Lindgren
Para kaum hawa pemuja riasan wajah pasti enggak asing dengan make-up freckles yang saat ini sedang tren. Dengan menampilkan bintik-bintik mirip flek hitam di area hidung dan pipi, riasan wajah ini diyakini membikin wajah perempuan Indonesia jadi lebih eksotis kayak Meghan Markle.
Sebagian berpendapat tren make up frackles ini memang dipopulerkan oleh istri Pangeran Harry di hari pernikahannya pada pertengahan Mei lalu. Tapi tunggu dulu! Sebelum Markle pede menampilkan freckles di wajahnya yang justru biasanya ditutup-tutupi dengan pulasan make up, sebenarnya tokoh rekaan Astrid Lindgren inilah yang duluan memperkenalkan freckles.
Iya, siapa lagi kalau bukan Pippilotta Delicatessa Windowshade Mackrelmint Ephraimsdaughter Longstocking atau biasa disapa Pippi si Kaus Kaki Panjang (Pippi Longstocking). Selain pipi penuh flek, kecantikan Pippi secara alamiah juga tergambar dari rambut panjangnya berwarna wortel yang kerap dikepang kencang ke samping. Standar cantik dari karakter si Pippi ini mungkin menjadi referensi gadis-gadis Jepang dalam berbusana.
Eh, iya loh! Si Pippi kerap mengenakan kaos kaki berbeda warna dan corak atau baju kasual dengan prinsip tabrak warna. Kalau menurut istilah mode kan ini gaya Harajuku khas remaja putri di Jepang. Pelajaran yang hendak dibagikan si Pippi kepada (bocah) perempuan sejak dini tentang standar cantik adalah; be yourself, girls! Gaya berpakaian dan riasan yang kontras kadang juga menghasilkan harmoni, kok.
Satu lagi, jadi cewek itu kudu kuat, kebayang dong, kalau si Pippi Kaos Kaki ini punya kebiasaan mengangkat kuda peliharaannya dengan satu tangan saja. Iya, kuda loh, kuda! Coba bayangkan sekuat apa si Pippi kalau menerima luka dari cowok yang cuma bisa meninggalkan pas lagi sayang-sayangnya? Ah, pasti kuat banget si Pippi.
2. Matilda karya Roald Dahl
Kalau standar cantik itu enggak melulu soal tampilan fisik, tapi juga cara berpikir dan kecerdasan, maka bisa jadi si rebel Matilda, bocah perempuan yang dibuat Roald Dahl, mewakilinya. Bukan sekadar jenius, Matilda itu usilnya enggak nyantai! Ayahnya (iya, ayahnya) sering jadi sasaran keusilannya.
Wajar sih, lha ayahnya juga menyebalkan sih. Rencana-rencana konyol Matilda untuk membalas perilaku menyebalkan sang ayah ini seakan mau mengajarkan bahwa jadi perempuan itu jangan mau ditindas dan cuma berakhir di bawah tirani orang tua (yang lalim). Eh, nanti durhaka nggak sih saya menulis begini?
Begini, begini, ayahnya Matilda dalam cerita yang dikarang Roald Dahl itu selain menyebalkan, tukang tipu, juga enggak sayang sama anaknya sendiri. Nah, seperti kata pepatah the best defense is a good offense, maka Matilda mengupayakan pertahanan diri melalui serangkaian aksi usil balasan untuk sang ayah. Niatnya sih supaya enggak terzalimi banget sama bokapnya sendiri.
Iya, dong, daripada cuma bisa menangis di pojokan kamar ditemani semut merah yang berbaris di dinding, lebih baik kan speak up; lawan! Tapi yang nyantai, boleh contek gayanya Matilda deh.
Bukan cuma di rumah, di sekolah pun, demi untuk menghadapi kepala sekolah yang menyebalkan, Mrs. Truchbull, Matilda jadi tetiba punya kemampuan supranatural. Di bagian ini sih saya kurang setuju kalau tiba-tiba perempuan hanya mampu berharap memiliki kekuatan bulan kayak Sailormoon untuk menghadapi orang-orang yang suka nyinyir atau melalukan perundungan pada kita.
Tapi selain itu, standar cantik yang juga ingin disampaikan oleh Matilda adalah bagaimana menjadi sosok yang penuh empati. Matilda, menunjukkan hal ini saat mengetahui guru kesayangannya, Mrs. Honey, tinggal di gubuk reyot yang disebut gubuk juga enggak pantas.
3. Seri si Badung Elizabeth karya Enid Blyton
Bacaan anak dan tidak melibatkan Enid Blyton? Hm, bagai sayur tanpa MSG. Sama halnya dengan Roald Dahl, Blyton kerap mengemas karakter anak, tak terkecuali bocah perempuan, dalam karya-karyanya dalam perspektif cantik yang keren. Salah satunya melalui tokoh Elizabeth Allen, si gadis paling badung di sekolah.
Sesuai dengan judul bukunya, Elizabeth digambarkan sebagai gadis yang nakalnya kelewatan, tukang ganggu, dan suka membantah sama orang tua serta guru. Semua orang enggak suka sama tingkahnya. Sampai orang tuanya harus mengirim Elizabeth ke sekolah berasrama. Bertemu dengan banyak orang, dari yang jujur, mengenaskan, culas, galak, judes, membuat Elizabeth jadi bisa belajar banyak hal juga untuk jadi pribadi yang lebih menyenangkan.
Standar cantik yang ingin disampaikan oleh Elizabeth kira-kira begini, boleh nakal tapi jangan curang apalagi culas bermuka dua. Kenakalan-kenalakan yang dilakukan Elizabeth juga menggambarkan bahwa kita yang hari ini dinamis. Begitu pun orang lain. Jadi jangan mudah menghakimi.
Manusia—termasuk perempuan—pasti pernah melakukan kesalahan (walaupun kalau battle sama cowok sih tetap cewek yang menanglah, ya). Dan, jangan takut salah. Karena yang salah ya yang enggak belajar.
4. Seri Unfortunate Events karya Lemony Snicket
Sebenarnya cerita di ketigabelas buku seri Unfortunate Events berpusat pada Baudelaire Bersaudara; Violet, Klaus, dan Sunny. Ketiga kakak-adik ini memiliki kemampuan dan keahlian masing-masing yang berguna untuk menghadapi cobaan hidup dan kesialan-kesialan pasca orang tua mereka yang meninggal dunia. Khususnya Violet, si sulung yang enggak bisa masak sama sekali ini justru menguasai bidang mekanik.
Di usianya yang masih 14 tahun, Violet mampu membuat perkakas-perkakas sederhana yang bermanfaat sebagai alat bantu melarikan diri dari kejaran Count Olaf, penjahat yang mengincar harta warisan peninggalan mendiang orang tuanya.
Kegemaran Violet pada segala hal berkaitan dengan mesin dan eksperimen, serta keenceran otaknya untuk menemukan rencana-rencana cerdik—bahkan di menit terakhir, menyiratkan bahwa menjadi orang cantik harus panjang akal.
Mengoptimalkan logika berpikir seperti yang dilakukan Violet dalam menghadapi genk Olaf dan melindungi adik-adiknya ini juga bermanfaat bagi perempuan agar tidak mudah jatuh ketika buaian asmara memanggil-manggil (sebentar, ini kok mulai dangdut ya deskripsi saya). Saat cinta menghampiri, kamu enggak jatuh karenanya, tapi berdiri di atasnya gitu loh, gals!.
Barangkali empat seri buku di atas sangat subjektif dan sesuai selera saya sebagai pembaca. Tapi setidaknya, pada empat seri buku tersebut, tokoh-tokoh utama yang kebetulan perempuan, digambarkan memiliki keunikan baik secara fisik maupun sifat, yang memberikan pesan tersirat bahwa menjadi pribadi yang cantik bukan perkara yang sulit-sulit amat. Enggak perlu bisa mengukir alis dengan lekukan sempurna, atau menunggu dengan tabah datangnya mimi peri untuk menghadapi siksaan ibu tiri yang kejam.