Jika mata dibalas mata, seluruh dunia akan buta. Itu kata Mahatma Gandhi, seorang yang terkenal dengan ajaran non-violence untuk melawan segala bentuk kezaliman. Karena ajarannya itu pula, saya yang tadinya akan membalas celaan-celaan Prima Sulistya di salah satu artikel di mojok.co memilih untuk mengenyahkan segala niat jelek tersebut.
Alih-alih mencela balik, saya malah ingin memuji Prima setinggi langit. Karena setitik pencemaran nama baik yang dilakukan olehnya tidaklah ada apa-apanya mengingat semua kebaikan yang pernah dia timpakan kepada saya yang berlumur dosa. Apalagi, semua yang Prima tuduhkan di tulisan itu hanya fakta-fakta belaka, atau anggap saja begitu.
Dibandingkan Prima, saya bukanlah apa-apa. Ini juga fakta. Ketika saya tergagap menyesuaikan ritme perkuliaan di semester awal, Prima sudah langsung tancap gas. Kemampuannya sebagai penulis handal terbukti dengan lolosnya dia sebagai finalis Kompetisi Esai Mahasiswa yang pertama kali diadakan Tempo.
Latar belakangnya sebagai awak lembaga pers mahasiswa di kampusnya membuat kemampuannya semakin terasah. Sering dia mengunggah notes di facebook yang begitu menggugah nafsu makan: menyelami Kundera, mengkaji semiotika, hingga menelaah isu-isu yang sedang panas. Saat itu apalah saya, hanya update status curhat, menyemangati diri sendiri agar hasil kuliah tidak mengecewakan orang tua.
Kegiatan Prima terbaru juga membuat saya kaget untuk sejenak. Lama tidak bertanya kabar, rupanya dia tengah menyusun sebuah buku tentang konflik agraria. Aktivitasnya sebagai penggerak media koperasi mendukung dia memperoleh banyak data. Dia rela meninggalkan skripsinya—kepentingan pribadi—sejenak, demi buku yang berguna buat peradaban tersebut. Buku yang saat ini dia susun akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat, menolong banyak rakyat kecil yang terkena sengketa tanah. Sungguh mulia sekali. Jangan lagi-lagi membandingkan dia dengan saya. Membikin buku menye-menye, berisi tulisan sok romantis yang dihadiahkan kepada orang terkasih. Prima sama sekali bukan tandingan.
Dengan sedemikian banyak jurang pembeda, lalu apa yang dapat dicela dari seorang Prima Sulistya? Mau ngenyek soal kisah cinta? Ah, apalagi! Itu sih sama kaya membandingkan anak SD yang baru pernah mendengar lagu Kerispatih dengan AA Gym yang telah terbukti menaklukkan hati banyak perempuan.
Riwayat berpacaran Prima sudah banyak. Kalau status hubungan dapat diibaratkan sebagai album sebuah band, Prima tentu sudah bisa membikin album best of the best. Mana orang-orang terbaik yang pernah berpacaran dengannya.
Dan istimewanya, hampir semua lelaki yang pernah berpacaran dengan Prima adalah anak persma. Di Ekspresi—lembaga pers mahasiswanya sendiri, Prima sudah khatam. Banyak yang pernah jadi pacarnya. Ini fakta loh, saya bukan Jonru yang suka main pelintir. Silakan tanya teman-temannya. Atau kerahkan intel dan gunakan segala telik sandi.
Tapi rasanya tidak perlu saya bikin daftar karena hanya akan membuat tulisan ini panjang bukan kepalang. Itu baru yang berpacaran resmi. Belum yang sembunyi-sembunyi atau hanya numpang jadi gebetan.
Di lembaga pers mahasiswa kampus-kampus lain juga dia sudah berpengalaman. Dari ujung barat hingga ujung timur. Dia mungkin terlalu terinspirasi dari perjuangan Tan Malaka. Membaca sejarah hidup Tan Malaka yang diasingkan, ditahan dari penjara ke penjara dan menjadikannya sebuah buku, Prima pun tak mau kalah hebat. Dia berniat menulis buku-buku tentang pengalamannya berpacaran dengan judul: Dari Persma ke Persma.
Hebat sekali, kan?