MOJOK.CO – Blantika musik tanah air sedang dikejutkan dengan viralnya dangdut lawas OM Lorenza. Mereka menjadi penawar akan kejenuhan dangdut koplo.
Blantika musik tanah air sedang dikejutkan dengan viralnya dangdut lawas OM Lorenza. Di medsos bertebaran video gigs OM Lorenza di kampung-kampung, ditonton dan dijogetin ratusan orang.
Gaya personel dan gaya penonton Lorenza yang unik memunculkan berbagai reaksi netizen. Salah satunya adalah ungkapan wayahe wong lawas tampil. Kemasan pertunjukan yang disajikan OM Lorenza memang “lawas”. Lawas dalam hal ini bisa dilihat setidaknya dari 2 hal.
Pertama, gaya unik atribut fashion mereka. Grup dangdut dari Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah ini pentas dengan dandanan jadul seperti celana cutbray, kemeja, dasi, sepatu pantofel lawas, topi pet atau gaya topi klasik, kacamata tebal, dan aneka pernik retro. Dresscode itu diikuti oleh para fansnya. Kita seperti melihat pesta kostum vintage dalam gigs Om Lorenza.
Citra “lawas” kedua dalam fenomena ini adalah hadirnya (kembali) irama dangdut lawas yang dikemas dengan penampilan ceria dan sedikit jenaka. Istilah dangdut lawas ini mengacu pada sub-genre (cabang aliran) musik dangdut era tahun 1970-an sampai menjelang akhir 1990-an, sebelum era dangdut koplo mewabah.
Ada pula yang menyebut aliran ini sebagai dangdut asli. Tapi, agar tidak berdebat mana yang asli atau palsu, kita gunakan saja istilah dangdut lawas.
Ada perbedaan yang mencolok pada tempo dan ritme antara dangdut lawas dan dangdut koplo, terutama ritmis kendang/ketipung. Irama dangdut lawas mempunyai kesan lebih santai, enak untuk bergoyang pelan, jika dibandingkan dengan hentakan dangdut koplo yang progresif dengan ciri senggakan yang bertubi-tubi.
Kita melihat para penonton OM Lorenza menikmati alunan yang lebih rileks, berjoget pelan, sing along dangdut lawas seperti “Singkong dan Keju” yang dipopulerkan Bill & Brod featuring Arie Wibowo.
Dangdut lawas adalah antikoplo
Banyak hal menarik yang bisa didiskusikan lebih dalam tentang fenomena ini. Kita bisa mulai dengan dugaan munculnya bibit pergeseran tren dangdut di tanah air. Dangdut lawas menyeruak di tengah masifnya dangdut koplo.
Seperti yang kita pahami bahwa sebuah tren produk kebudayaan, dalam hal ini pasar musik, tidak pernah awet, selalu berganti dengan tren baru yang muncul (atau dimunculkan). Apalagi di zaman digital ini, tren makin berumur pendek.
Masyarakat digital makin haus dengan kebaruan tren (viralitas baru). Didorong oleh keinginan untuk selalu tampak up to date dalam merespons tren budaya yang mempengaruhi gaya hidup (menjadi pop culture). Popular culture di sini merujuk pada pengertian populi (‘people’, ‘rakyat’), yaitu budaya rakyat yang biasanya muncul dari pinggiran.
Michael B. Raditya, seorang pakar culture studies spesialis riset dangdut, menyebut dangdut sebagai budaya rakyat di Indonesia. Posisinya langgeng dan selalu ada di ruang-ruang budaya. Akan tetapi, posisi dangdut ini bisa berubah-ubah seturut perkembangan zaman. Kadang ia berada di tempat asalnya (pinggiran), kadang ke tingkat menengah, dan bahkan menyeruak ke kasta tinggi seperti yang dialami dangdut koplo belakangan ini.
Baca halaman selanjutnya: Perlawanan yang terjadi…
Perlawanan yang terjadi
Perubahan konstelasi budaya pop ini bisa terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya adalah ketika produk tersebut sudah mapan, akan muncul “perlawanan” atau antitesisnya.
Perlawanan yang dimaksud belum tentu berbentuk resistensi atau penolakan keras (antipati). Bisa jadi perlawanan tersebut berbentuk negosiasi halus dalam bentuk evaluasi dan berujung inovasi untuk menemukan pemaknaan baru. Wujudnya bisa berupa temuan baru, atau juga pengulangan bentuk budaya yang pernah ada disertai modifikasi.
Viralnya dangdut lawas dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan (negosiasi) terhadap dangdut koplo yang dianggap sudah menempati “kelas atas”. Dangdut koplo yang lahir dan tumbuh di pinggiran di Jawa Timur, berhasil menerobos sekat-sekat kelas hingga tampil di pusat kekuasaan (ingat Farel di panggung HUT RI di istana), dan berbagai festival musik bergengsi.
Berpijak pada teori perubahan budaya di atas, kemapanan dangdut koplo memunculkan gerakan anti kemapanan. Tujuannya untuk meruntuhkan dan menata ulang tren dangdut sebagai musik rakyat.
Kita juga bisa memasukkan unsur kejenuhan terhadap dangdut koplo sebagai salah satu dorongan dalam memperbarui makna dangdut.
Jenuh terhadap dangdut koplo
Kejenuhan bisa muncul karena sadar maupun tidak. Kuping dan mata masyarakat dangdut jengah dengan produk koplo yang stagnan secara bentuk irama, nuansa musik, dan tema lirik.
Namun, bisa juga dipengaruhi penyebab lain, yakni jarak yang kemudian dirasa muncul akan produk budaya itu. Karena sudah semakin meninggi kelasnya, masyarakat jadi “merasa jauh” dengan dangdut koplo.
Kelas tinggi itu tampak dari tarif manggung grup dangdut koplo yang sekarang mencapai ratusan juta. Tiket nonton koplo juga semakin mahal. Hal itu bisa jadi menimbulkan jarak.
Pada awalnya masyarakat merasa menjadi bagian dari koplo pinggiran. Mereka bisa nonton dengan murah dan dekat. Sekarang kalau mau nanggap musik koplo harus menyediakan dana besar, kontrak dan riders artis yang ribet, dan lainnya.
Banyak artis dangdut koplo yang awalnya berasal dari kaum pinggiran yang “satu kelas” dengan penikmatnya telah bertransformasi menjadi selebritis papan atas. Lifestyle artis koplo semakin melebarkan gap untuk bisa diikuti penggemarnya.
Fans menyaksikan gaya hidup mewah artis dangdut koplo di medsos. Misal atribut fashion seperti sepatu Air Jordan dan tas branded. Bagaimana masyarakat mengikuti perilaku tersebut? Fans barangkali merasa bahwa pujaannya tak lagi mewakili kehidupan mereka, apalagi di situasi ekonomi yang sulit ini.
Bandingkan tentang atribut fashion ini dengan fenomena OM Lorenza. Setidaknya, dalam video-video yang beredar, personel dan penonton tampak mengenakan atribut fashion yang sama.
Gaya pakaian jadul masih terjangkau rakyat kelas bawah. Mereka bisa berkreasi memadupadankan koleksi lawas fashion yang dimiliki untuk menjadi satu sirkel.
Kalau membeli, atribut jadul tersebut relatif lebih mudah didapatkan di pasar loak (thrift) yang dekat dan murah. Secara tarif, band dangdut lawas masih terjangkau, tidak ribet dengan riders dan MoU, atau teknis pemanggungan.
Skenanya masih berada di “lingkungan asali”, yakni masyarakat pinggiran di panggung kampung dan desa. Rasa senasib sepenanggungan (egaliter) antara pujaan dan penggemar ini barangkali menjadi faktor mengapa dangdut lawas begitu menarik perhatian belakangan ini.
Dangdut lawas lebih santai
Selain faktor di atas, ada komentar netizen bahwa musik dangdut lawas yang cenderung mengalun santai dan pelan dinilai lebih aman dan tidak memunculkan kerusuhan. Mungkin penilaian netizen ini juga dipicu oleh berbagai berita negatif yang beredar di medsos tentang pentas koplo. Misalnya seperti tawuran, kekerasan seksual, pembakaran, serta penjarahan panggung karena artis koplo batal tampil.
Argumen itu diperkuat dengan menilik pengaruh ritme musik terhadap perilaku penonton. Ada kajian yang mengatakan bahwa irama musik cepat dan konstan (seperti irama koplo yang menghentak cepat) dapat memacu adrenalin yang bisa membuat diri kehilangan kendali.
Seperti juga mengapa irama musik jathilan yang cepat dan konstan dapat mengakibatkan kerasukan atau ndadi. Dentuman cepat dan konstan musik disko atau house music dikatakan lebih mudah memacu ketidaksadaran. Kerasnya irama rock, metal, punk, disinyalir memicu agresivitas emosional pendengarnya.
Meskipun, pendapat ini sangat prematur dan gegabah untuk diajukan. Mengingat kita saksikan juga bahwa pertunjukan dangdut aliran apa saja rentan dengan kerusuhan. Dugaan bahwa dangdut lawas lebih kalem juga perlu kita uji dalam perkembangan ke depannya.
Menengok lirik dangdut lawas
Terakhir, ada satu lagi hal yang menarik perhatian saya. Yaitu tentang tema lirik dangdut lawas.
Kebetulan fokus tesis saya mengambil objek tema lirik-lirik dangdut koplo yang hits pasca-pandemi. Ada dugaan bahwa tema patah hati dan ambyar yang tertuang dalam lirik lagu koplo bisa ngehits diterima masyarakat luas karena berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat yang juga sedang “menderita” dihantam pandemi.
Lirik bertema kekalahan dan kenelangsaan itu dianggap mewakili. Khususnya keadaan sebenarnya yang runyam karena selepas pandemi.
Yang saya nantikan adalah bagaimana kelak lirik-lirik dangdut lawas akan berhadapan situasi terkini. Mungkinkah tema patah hati, penderitaan, kenelangsaan (akibat suramnya masa depan ekonomi, perubahan rezim politik) akan mendapatkan pemaknaan baru juga oleh para pencipta dangdut lawas?
Saya baru bisa mengamati satu lirik lagu viral berjudul “Tambal Ban” dari Om Lorenza yang tetap mengisahkan kenelangsaan rakyat kecil. Tapi, ada optimisme dan kejenakanaan dalam lirik tersebut. Seolah meski menderita, tapi hidup tetap disyukuri dan baik-baik saja.
Tema itu agak mirip dengan lirik “Singkong dan Keju” yang viral, patah hati tapi ceria dan jenaka menyikapinya. Tema ini sedikit berbeda dengan tema lirik koplo yang cenderung pesimis dan putus asa menghadapi persaingan asmara dan menyalahkan keadaaan.
Semoga tercipta banyak karya baru aliran dangdut lawas. Atau justru nanti akan kondang lagi lirik-lirik “nelangsa namun optimis” ala dangdut era Orde Baru. Mengingat, situasi politik dan ekonomi rezim ini agak mirip dengan orde baru.
Menanti nasib
Ah, jadi tak sabar menunggu kelak bagaimana nasib dangdut lawas ini. Apakah nanti akan jadi masuk kelas tinggi event musik besar di tanah air? Mengingat belum lama kemarin FSTVLST sudah membawakan dangdut lawas ala OM Lorenza dalam penampilannya di panggung besar di Kota Solo.
Apakah pemain-pemain dangdut lama the real wong lawas akan gantian merasakan gemerlap panggungnya lagi?
Sambil menunggu geliat wong lawas ini, ada baiknya kita mulai memutar dan menghafal lagu-lagu kondang dangdut lawas yang bertema gejolak asmara namun tetap ceria dengan metafora lirik yang unik dan menggelitik. Seperti karya Meggy Z berjudul “Sakit Gigi”, juga “Senyum Membawa Luka” yang mengumpamakan anggur merah sebagai simbol gelora asmara.
Ada juga lagu “Mandi Kembang”- Caca Handika, “Kopi Dangdut”- Fahmi Shahab, “Rambut” yang dipopulerkan Evie Tamala dan Doyok. Atau bisa juga lagu lawas yang didangdutin seperti “Madu dan Racun” karya Bill & Brod.
Lagu “Kugadaikan Cintaku” karya Gombloh juga berisi satir menertawakan kekalahan persaingan asmara. Tak lupa juga playlist dari sang Raja Dangdut Lawas Rhoma Irama. Lagu “Judi” barangkali bisa jadi solusi mencegah judi online dan pinjol.
Dengan tema-tema lirik seperti itu, kita bisa menyikapi derita carut marutnya kondisi bangsa ini sambil joget santai ala dangdut lawas.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pura-pura Menyukai Dangdut Koplo, Salah Satu Cara Bertahan di Pergaulan Masyarakat dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
