Cara Membaca Peta: Ilmu yang Asing Buat 88 Persen Perempuan di Dunia

Sekitar 88 persen perempuan di dunia ini nggak tahu cara membaca peta. Tidak jelas apakah ini takdir atau kutukan.

Cara Membaca Peta: Ilmu yang Asing Buat 88 Persen Perempuan di Dunia MOJOK.CO

Ilustrasi cara membaca peta. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO Wahai kaum perempuan yang sering tersesat dan tidak tahu cara membaca peta, ternyata kita satu server!

Parahnya, selain nggak tahu cara membaca peta, kadang saya juga lupa sudah pernah melewati satu jalan tertentu. Oleh sebab itu, nyetir sendirian menuju sebuah lokasi yang belum pernah saya kunjungi itu susah banget. Bagi saya, semua jalan itu bentuknya sama saja. Sama-sama membingungkan. Tidak semudah jalan menuju ke hatimu.

Barusan saya tahu bahwa konon sekitar 88 persen perempuan di dunia ini nggak tahu cara membaca peta. Tidak jelas apakah ini takdir atau kutukan. Namun memang begitu kenyataannya.

Hanya ada sekitar 12 persen perempuan saja yang sanggup membaca peta. Itu saja karena mereka sudah terbiasa melakukan sebuah perjalanan. Perempuan yang tahu cara membaca peta, biasanya terlihat tomboi. Begitu ungkap dr. Aisyah Dahlan dalam salah satu seminarnya di kanal YouTube-nya. Bukan saya yang bilang, ya.

Jujurly, menyetir itu bukan masalah bagi saya. Asal saya sudah tahu tujuan yang akan saya tempuh. Semua akan lancar tanpa harus membuka GPS dan sibuk mengingat cara membaca peta. Namun, jika lokasi tujuan masih harus mencari-cari, maaf sepuluh ribu maaf, saya angkat tangan.

Google Map memang cukup membantu. Namun, kalau buat saya, bukan gambar petanya yang membantu. Saya lebih terbantu oleh suara si mbak-mbak pengarah jalan itu.

Lalu, apakah saya bisa berkunjung ke tempat yang sama tanpa Google Map? Paling sering tidak. Saya sering kesulitan menghapal jalan dan kebingungan tanpa alat canggih itu.

Bukan hal yang aneh kalau tiba-tiba saya menyadari telah melewati jalan yang sama dua sampai tiga kali. Muter-muter di suatu tempat berkali-kali itu memalukan, Markonah!

Pernah juga saya dan putri saya bingung mencari arah jalan keluar di sebuah mall. Keterlaluan memang. Waktu itu, kami sama-sama menunjuk ke dua arah yang berbeda.

“Tadi lewat sini kayaknya.”

“Bukannya tadi lewat sebelah sana?”

Lalu apa yang terjadi? Ternyata setelah dicoba, kedua arah itu salah!

Arah yang benar baru kami dapatkan berkat petunjuk satpam. Karena kami sama-sama perempuan, kejadian memalukan itu cukup kami tertawai bersama.

Namun, tentu saya tidak bisa tertawa ketika hal yang sama terjadi bersama suami. Waktu itu kami berencana untuk menghadiri sebuah acara.

Kebetulan, tempat acara belum pernah kami datangi sebelumnya. Kami berangkat dengan berbekal peta yang tergambar dalam undangan. Setelah beberapa saat kebingungan karena nggak tahu cara membaca peta, akhirnya saya baru sadar kalau saya memegang peta terbalik. Tentu kali ini saya tidak bisa tertawa, malah ditertawai suami. Duh!

Drama berikutnya terjadi lagi saat suami berusaha memastikan petunjuk ngawur yang saya berikan.

“Yang bener kanan atau kiri?”

“Kiri, aku bilang kiriii….”

“Kiri atau kanan?” Suami bertanya lagi dengan suara yang lebih keras.

Saya akhirnya sadar bahwa mulut saya bilang ke kiri tapi tangan saya menunjuk ke kanan. Bweh!

Sejak saat itu, akhirnya suami tahu bahwa saya benar-benar tidak bisa diandalkan. Nggak tahu cara membaca peta. Jadi, ketika harus mengadakan perjalanan berdua lagi, dia harus berjuang sendiri menyetir sambil mencari arah.

Saya?

Duduk manis saja sampai ke tujuan. Saya bayangkan kalau suami kesal dan menurunkan saya di tengah jalan, pasti saya tidak nggak bisa pulang.

Namun, setelah mendapat beberapa informasi tentang hubungan perempuan dengan kemampuan cara membaca peta, saya tidak lagi merasa minder.

Ternyata, bukan hanya saya yang nggak tahu cara membaca peta. Berikut beberapa penyebab “kutukan” ini harus terjadi

Perbedaan struktur otak lelaki dan perempuan

Konon, kumpulan syaraf yang menghubungkan otak kiri dan otak kanan atau yang disebut corpus callosum pada perempuan lebih tebal daripada milik lelaki. Hal ini membuat perempuan mampu memaksimalkan kedua belah otaknya.

Perempuan sanggup melakukan beberapa pekerjaan sekaligus secara bersamaan. Jadi ingat deh, saya juga sering nungguin cucian, beres-beres rumah sambil nyuapin anak. Eh, kalau ada tetangga yang mampir juga sekalian ngegibahin artis.

Namun, kemampuan multitasking ini membuat kemampuan spasial perempuan jadi lemah. Kemampuan spasial adalah kemampuan menangkap informasi visual. Ini berhubungan dengan kemampuan navigasi. Jadi, paham deh, kenapa muncul asosiasi emak-emak yang hobi belok kanan tapi pasang lampu sein ke kiri.

Pembagian tugas perempuan dan lelaki sudah ada sejak zaman purba

Zaman nenek moyang dulu, perempuan sudah “ditugasi” menjaga gua atau sarang. Sementara itu, kaum lelaki bertugas sebagai pencari nafkah dengan menemukan tempat-tempat baru untuk berburu dan mengumpulkan makanan di luar gua.

Hal ini membuat otak perempuan terlatih dalam navigasi jarak pendek. Sementara itu, lelaki memiliki kemampuan navigasi jarak jauh. Tidak heran jika perempuan sangat hapal letak barang-barang di dalam rumah. Kaum lelaki bahkan sering kesulitan mencari kaos kakinya sendiri.

Menurut Ryu Hasan, spesialis bedah syaraf, menngungkapkan bahwa sebenarnya onderdil otak kita masih sama dengan otak nenek moyang. Cuma, di era digital sekarang ini, otak kita dipaksa beradaptasi.

Anggapan tentang perempuan dan lelaki hebat

Ada anggapan bahwa perempuan yang melakukan tugasnya di rumah dengan baik adalah perempuan hebat. Begitu juga sebaliknya, lelaki yang berhasil menjalankan tugasnya di luar adalah lelaki hebat.

Jadi nggak heran kalau kehebatan perempuan diukur dengan kemampuannya menjadi penguasa rumah. Hal ini membuat perempuan tidak tertarik mencoba hal-hal baru di luar rumah.

Meskipun demikian keadaannya, perempuan tetap bisa mengasah kemampuan spasialnya dengan berlatih. Menurut sebuah studi ilmu syaraf yang dilakukan di University College London, otak manusia itu mirip GPS yang sanggup menambah data base-nya saat menerima informasi baru.

Teori itu terbukti dari hasil penelitian pada beberapa supir taksi di London. Mereka memiliki sistem navigasi dalam otaknya yang lebih baik karena pengalamannya melewati ribuan kali jalanan yang sama. Penelitian lain di McGill University juga menyebutkan bahwa kalau kita terlalu tergantung pada GPS, sistem navigasi pada otak tidak akan berkembang, bahkan menjadi lebih buruk.

Jadi, sampai saya selesai menuliskan ini, masih belum jelas apakah kondisi nggak tahu cara membaca peta yang dialami sebagian besar perempuan merupakan takdir atau “kutukan”. Meskipun begitu, para perempuan mestinya tidak perlu merasa bersalah jika tidak menjadi ahli navigasi.

Nggak tahu cara membaca peta bukan patokan sebuah nilai diri, kok. Kamu semua tetap keren, meski masuk ke dalam 88 persen perempuan yang nggak tahu cara membaca peta. Paling cuma bakal malu saja, ketika bilang belok kiri tapi tangan menunjuk ke kanan. Sama, kayak saya ini. Demikian.

BACA JUGA Klaim Sepihak Inspirator Menu Kremesan Ayam Goreng di Yogyakarta dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Tantrini Andang

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version