Bu Khofifah Perlu Belajar Agama kepada Orang Rimba

khofifah-orang-rimba-jambi-mojok

khofifah-orang-rimba-jambi-mojok

[MOJOK.CO] “Siapa bilang Orang Rimba tak kenal Tuhan? Ngaco nih, Bu Khofifah.”

Pada pertengahan 2011, di Kota Bangko, Jambi, Mijak mengajak saya berbicara serius. Sepekan dalam sebulan, saya dan Mijak dan beberapa anak-anak rimba lainnya rutin meninggalkan hutan tempat kami belajar bersama anak-anak rimba untuk mengerjakan laporan bulanan dan belanja bahan kebutuhan makanan guna bekal mengajar pada bulan berikutnya.

“Guding, tiga hari lagi aku mau disunat. Setelah luka sunat sembuh, aku mau baca syahadat, mau masuk Islam,” ujar Mijak kepada saya.

“Serius, Guding?” Saya terkejut.

“Iya, serius.”

“Sudah dipikirkan baik-baik?”

“Sudah!” jawab Mijak tegas.

Selanjutnya, Mijak menjelaskan kepada saya alasannya masuk Islam. Itu ia lakukan agar ia bisa berjuang untuk membantu komunitasnya mempertahankan tanah tumpah darah mereka, wilayah hidup dan keyakinan yang mereka anut. Karena jika tidak melakukan itu, hukum adat Orang Rimba tidak mengizinkan laki-laki yang sudah menikah meninggalkan rimba dalam waktu yang cukup lama.

Alasan Mijak tersebut kembali ia ungkapkan saat diwawancara oleh Rebecca Henschke, wartawan BBC yang meliput Orang Rimba beberapa waktu lalu. 

Menurut saya, liputan BBC tersebut cukup berimbang. Namun, ada beberapa komentar dari narasumber yang bagi saya, sebagai orang yang sejak 2008 berkegiatan bersama Orang Rimba, sangat serampangan dan sekadar sok tahu, termasuk pernyataan Ibu Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa yang akhirnya dijadikan judul pada berita tersebut.

Saya akan coba menjabarkan di sini bentuk keserampangan dan sok tahu mereka berdasarkan apa yang saya lihat pada keseharian Orang Rimba dan informasi yang saya terima langsung dari Orang Rimba, dari kepala adat, tumenggung, wakil tumenggung, tetua-tetua adat, dan dari beberapa Orang Rimba lainnya. Jadi ini bukan pendapat saya. Saya sekadar menulis ulang apa yang pernah saya dengar dan saya catat sejak 2008 hingga kini.

Yang pertama, tentang anggapan yang disampaikan oleh Ustadz Reyhan pada liputan BBC itu. Ia bilang setelah berpindah agama, kini Orang Rimba punya makna dan tujuan hidup. Lalu, apakah sebelumnya tidak? Apakah mereka hidup tanpa makna dan tujuan? Betul-betul serampangan.

Begini ya, jika hidup mereka tanpa makna dan tujuan, saat ini tidak akan pernah ada Taman Nasional Bukit Dua Belas seluas 60.500 hektare itu. Ya, tujuan hidup mereka begitu bersinergi dengan alam dan lingkungan mereka. Mereka menjaga hutan dan sungai beserta isinya dengan begitu baik. Perampasan lahan oleh kolonial Belanda, rezim Soeharto lewat HPH dan proyek transmigrasinya, serta penyerobotan lahan untuk perkebunan sawit skala besar oleh perusahaan-perusahaan silih berganti mengganggu wilayah hidup Orang Rimba.

Tentu saja ada yang berhasil dirampas dengan semena-mena, namun 60.500 hektare yang kini berhasil mereka pertahankan bukanlah angka yang kecil dengan gangguan yang begitu kompleks. Jadi, omong kosong belaka jika Orang Rimba dianggap tidak memiliki makna dan tujuan hidup.

Selanjutnya Ustadz Reyhan bilang kini Orang Rimba mengenal akhirat setelah berpindah agama. Lalu, apakah keyakinan agama Orang Rimba sebelumnya tidak mengenal konsep akhirat? Tidak memiliki keyakinan tentang kehidupan setelah kematian?

“Setelah meninggal dan ditaruh di pasoron (makam dalam konsep Orang Rimba), mereka akan menuju hentew (sebutan untuk alam tempat hidup setelah di bumi). Orang-orang yang semasa hidup berbuat baik, mereka akan ditempatkan di tempat yang terbaik di hentew. Sebaliknya, mereka yang semasa hidupnya jahat, akan di tempatkan di tempat yang buruk. Anak-anak yang masih suci, akan langsung menuju tempat yang baik di hentew,” ujar Ngandun, Kepala Adat Orang Rimba rombong Makekal Hulu sekali waktu kepada saya.

Lihatlah, begitu jelas dan terang benderang konsep akhirat dalam kepercayaan yang dijalankan Orang Rimba. Lalu, dari sisi mana mereka beranggapan Orang Rimba tidak mengenal akhirat selain sekadar bualan belaka?

Salah seorang polisi yang menjadi narasumber pada liputan BBC tersebut juga mengeluarkan pernyataan yang menjijikkan tentang Orang Rimba. Menurutnya, Orang Rimba tidak mengenal konsep mencuri. Tai ledig, Pak!

Bagaimana mungkin Orang Rimba yang puluhan tahun tanah dan wilayah hidupnya dirampas secara semena-mena tidak mengenal konsep mencuri? Mereka berjuang kini justru karena tanah dan wilayah hidup mereka dicuri secara terang-terangan dan mereka terus-menerus melawan semua itu.

Bapak tahu tidak betapa besarnya denda bagi seseorang yang mencuri buah durian yang masih ada di atas pohon? Mereka hanya membolehkan buah durian dan beberapa buah-buahan lainnya diambil saat buah itu sudah jatuh ke tanah, bahkan oleh pemiliknya sekalipun. Menuduh Orang Rimba tidak mengenal konsep mencuri sembari terus-menerus mencuri tanah dan hasil alam mereka adalah bentuk kekejian yang sulit dinalar, Pak!

Selama saya hidup dan tinggal bersama Orang Rimba, dan berkali-kali mengamati interaksi antara Orang Rimba dengan komunitas di sekitar mereka, saya menemukan betapa kejamnya stigma yang dialamatkan kepada Orang Rimba. Orang Rimba disebut sebagai Suku Kubu yang memiliki konotasi buruk semisal: “kotor“, “tidak beradab“, “jorok”, “bau”, “kafir”, dan berbagai macam definisi buruk lainnya.

Lihatlah salah satu keterangan dari narasumber pada liputan BBC tersebut yang sedari kecil, Ia sudah dijejali pengetahuan sesat tentang Orang Rimba. Ia menganggap Orang Rimba bukan manusia hingga akhirnya Ia menyadari kekeliruan itu saat ada tetangganya yang membunuh seorang anak rimba karena dituduh mencuri buah. Bukan lagi sekadar stigma buruk, bahkan Orang Rimba dianggap bukan lagi manusia. Betapa menyakitkannya anggapan ini.

Alasan ini pulalah yang selalu dijadikan legitimasi untuk “mengagamakan” Orang Rimba, menjadi Islam atau Kristen atau agama lainnya seakan-akan Orang Rimba tidak memiliki agama dan kepercayaannya sendiri. Hingga akhirnya mengundang komentar serampangan dari Ibu Khofifah yang menyatakan bahwa kini Orang Rimba sudah mengenal Tuhan setelah berpindah agama. Menyakitkan, Bu, sungguh menyakitkan.

“Ada bunga ada rimba, ada rimba ada dewa,” ujar Tumenggung Celitai, Tumenggung Orang Rimba rombong Makekal Hulu. Celitai yang saya kutip di sini berbeda dengan Celitai yang menjadi narasumber BBC. Saya menduga Celitai yang menjadi narasumber BBC adalah Celitai Orang Rimba rombong Kejasung yang pada 2011 saya temui dan memang sudah berencana pindah agama dan tinggal di desa.

Apa yang dikatakan Celitai di atas adalah konsep kepercayaan yang dianut Orang Rimba, hutan sebagai tempat tinggal dewa-dewa yang mereka yakini. Selain itu, bagi Orang Rimba, sungai menjadi jalur perlintasan dewa. Dua konsep ini membikin Orang Rimba begitu tekun menjaga kelestarian hutan mereka dan menjaga kebersihan sungai mereka. Dewa-dewa yang mereka yakini mereka anggap sebagai penghubung antara Orang Rimba dengan Tuhan yang dalam istilah Orang Rimba disebut “Tuhan Kuasa”.

Lihatlah, Bu Khofifah, betapa indah konsep mereka dalam beragama. Betapa agama mereka begitu menuntut keselarasan hidup dengan alam. Lalu, dari sisi mana anggapan bahwa Orang Rimba tidak mengenal Tuhan? Betul-betul serampangan.

Maka, ingatlah wahai Orang Rimba, tiada paksaan dalam beragama, kecuali kepada kalian dan orang-orang seperti kalian, agar kalian punya KTP, akta kelahiran, surat nikah, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan bermacam hak mendasar kalian lainnya. Betul begitu kan, Bu Khofifah? Bahkan setelah negara mengizinkan para penganut agama semacam agama Orang Rimba mencantumkan kepercayaan mereka dalam kartu identitas sekalipun.

Exit mobile version