Bjorka Cap Celeng: Bermain-main dengan “Hantu” Madiun

Saya hanya ingin bilang, Jong Madioners, kalian keren! “Nu, saluut!” sahut si Bjorka. Eh, bukan, maksud saya si para Madioner.

Bjorka Cap Celeng: Bermain-main dengan “Hantu” Madiun MOJOK.CO

Ilustrasi Bjorka Cap Celeng: Bermain-main dengan “Hantu” Madiun. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKarakter Bjorka dan anak muda Madiun makin mirip saja. Terutama, saat keduanya menempatkan posisi dan sama-sama muak dengan para penjilat.

Tiga hari jelang “sejarah kelam”-nya di bulan September, pemerintah Republik Indonesia menyebut kembali nama kawasan ini, Madiun. Tidak hanya disebut selewatnya, melainkan datang dengan kekuatan penuh mengepung “hantu” bernama Bjorka.

Pada September ini, hantu bernama Bjorka ini membikin gaduh pemangku Republik. Lihat, yang ditakutkan pemerintah nyatanya bukan ribuan demonstran mahasiswa pemrotes kenaikan harga minyak di banyak kota, melainkan hantu.

Bjorka itu hantu. Bekerja dalam gelap sembari membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, allażii yuwaswisu fii sudurin-naas. Dan, hantu itu dikepung dengan kekuatan penuh oleh Republik di Madiun. 

Bjorka itu, bagi pemerintah, adalah kejahatan selevel subversif dan karena itu membekuknya mestilah dengan satu kekuatan penuh. Sebuah tim khusus yang dibikin presiden yang terdiri dari Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN), Kominfo, Polri, dan BIN.

Bayangkan si Bjorka itu seperti hantu Musso yang diteriaki Sukarno dari corong radio ibu kota Republik di Yogyakarta sehari setelah Musso memerahkan Madiun, 19 September 1948: “PKI-Musso mengadakan coup, merampas kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Musso.”

Seperti Musso, pemerintahan yang berkedudukan di ibu kota Republik di Jakarta menganggap Bjorka ini hendak “merobohkan” tatanan Republik karena itu dia diuber, ditangkap, hidup atau mati.

Oleh tim pembekuk hantu, Bjorka diendus berkitar-kitar di Madiun. Polisi meralat, yang ditangkap di Madiun bukan Bjorka si Hantu, melainkan sahabatnya si Hantu. Anak Rakyat di perdesaan. Konon, kata ibunya, dia tak punya koleksi komputer. Polisi sudah menjadikan pemuda penjual es ini tersangka. Eh, nggak jadi. Si anak buruh tani sudah dipulangkan. 

Lihat, makin mendekati “Hari Hantu 18 September”, makin menyimpang makin menyiur. Simpang siur. Amatir betul.

Memang, berhadapan dengan hantu, aparatus negara kita seperti ditakdirkan sangat culun. Bukan hanya berhadapan dengan hantu, tetapi melawan kejahatan dalam dirinya sendiri tiba-tiba tampak pandir dan amatiran. Dalam istilah Bjorka, idiot.

Madiun seperti sudah digariskan nasib sebagai noktah hitam bagi Republik. Kawasan terkutuk bersemayamnya hantu-hantu pengganggu kenyamanan. 

Madiun adalah daerah pedalaman yang menyumbang satu peristiwa yang oleh banyak orang ditekuk dalam satu parafrase “Pemberontakan PKI”. Parafrase ini terus diawetkan dalam berbagai cara dan metode. Yang paling genetis dan didaktis adalah dengan metode memasukannya sebagai narasi memedi dalam kurikulum sekolah untuk sejarah Indonesia merdeka, dalam Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Dalam perwujudannya, Bjorka dan Madiun memiliki tipe yang sama. Sama-sama diburu dengan dalih “peretas keamanan negara”.

Sampai di sini Bjorka pun menjadi Jong Madioner. Dielukkan, sekaligus diburu. Memedi.

Lalu, saya pun kembali mengingat jurnal yang pernah saya tuliskan di blog pribadi secara on the spot kala memasuki Madiun pada September satu dekade silam dalam lawatan yang saya beri hestek #SyawalMerah. Ingatan tentang kata aneh “Madioner”, si penulis hantu di koran yang dihelat Marco Kartodikromo pada 1914, Doenia Bergerak (DB). 

Kata “Madioner” itu mirip “New Yorker” untuk menyebut orang-orang New York (Amerika Serikat), “Londoner” untuk warga kota London (Inggris), dan “Parisian” untuk penduduk kota Paris (Perancis). Terkesan dari kata “Madioner” itu terdapat keinginan kuat menjadikan orang Madiun sebagai kota masa depan yang khas, kosmopolit. Tak usah terlalu wah seperti New Yorker atau Londoner, cukup setara saja dengan Bataviasche, untuk menyebut orang-orang Batavia. Kota Batavia yang kini menjadi ibukota RI, selain sebagai pusat dagang VOC dan pemerintahan kolonial, juga menjadi kota yang diangankan serupa Manhattan di Amerika Serikat.

“Madioner”, sekali lagi, nama yang diciptakan koran mingguan Doenia Bergerak atau DB ini nyaris saban edisi muncul di Doenia Bergerak bertarikh 1914. Artikel-artikel si Madioner ini umumnya menyangkut hubungan asimetris antara orang Jawa kecil dengan para penjabat pemerintahan, baik penjabat berdarah pribumi maupun kolonial. Tulisannya juga khas “laporan daerah” di seputar Karesidenan Madiun, termasuk Kedu dan bahkan hingga Denpasar dan Malang.

Baca DB No. 5, “Menjamboet karangan Toean-toean Sambermata dan Wisanggeni”. 

Pembuka karangan ini menunjukkan bagaimana si Jong Madioner berbahasa dan si Jawa macam apa yang dibelanya: lugas tanpa basa-basi: “Setelah kita batja karangan Toean-toean terseboet jang beralamat nasib tjilaka dan penjakit loemboeng desa, sesaklah dada kita, hati amat doekatjita mengeloearkan airmata karena belas kesihan merasakan nasib si Djawa”.

Si Djawa yang dimaksud Jong Madioner adalah si Djawa yang diisap penguasa lokal yang berzirah seperti malaikat keadilan. Si Jong Madioner mengingatkan manusia busuk yang berkolaborasi dengan Kapitalisten macam begini dengan menulis: “Ada seorang Regent mengakoe kaoem moeda, betoel-betoel aken membantoe orang ketjil membela kebenaran anak boehnja dan memegang adil. Kebetulan pada kaboepatennja hendak didirikan oleh Kapitalisten seboeh fabriek goela, waktoe itoe Kandjeng Regent tiada moefakat dan menjangkal keras akan berdirinja fabriek: apalagi menerangkan pandjang lebar betapa kesoesahan orang ketjil kalau disitoe ada seboeah fabriek, sebab sawah orang ketjil soedah terlaloe sempit. Dari ini dan itoe sampai maoe dibatalkan maksoed Toen Fabriek itoe. Akan tetapi dari pengaroehnja wang koewasanja harta moeloet telinga dan matanja Kandjeng Regent itoe, laloe ditoetoep dengan seboeah kereta motor (automobiel) djeboel mak kelekep si Regent-Rakoes tiada ambil keberatan sedikitpoen….”

Telak betul artikel ini untuk mengingatkan penguasa kabupaten yang rakus dan menindas rakyatnya sendiri demi uang si pemodal. 

Para pemilik modal yang disokong penguasa suka-suka saja bikin pabrik yang menghancurkan sawah-sawah si Jawa Kecil. Model bangsa seperti itu disebut si Jong Madioner” sebagai “Bangsa Tjeleng”.

Komentar-komentar pedas si Jong Madioner yang dimuat DB No. 7, 9 Mei 1914, masuk dalam genre satire saat dia menyebut dirinya sendiri sebagai si Tjeleng. Tahu celeng, ‘kan? Betul, celeng itu babi, Sodara! B.A.B.I. Si Jong Madioner ini menamai dirinya si Tjeleng: “Wel neen heeren! Biarpoen saja diseboet manoesia klas I, tetapi saja seneng sekali pakai ta’biat tjeleng, sifat manoesia ati tjeleng. Koerang pertjaja? Batjalah perdjalanan saja jang soedah saja lakoekan ini: 

  1. “Saja tida perloe toeloeng sesama manusia. Sebab, apakah perloenja? Saja ini manoesia klas I, kalau saja soeka toeloeng manoesia klas II nanti ta’oeroeng si klas II bisa djadi klas I, laloe sama dengan saja; itoe saja tida senang sekali. Bisa saja diseboet pinter itoe, lantaran ta’ada jang sama dengan saja. Djadi kalau manoesia klas II naik di klas I barang pasti, saja djadi orang loemrah sadja. Ha, itoe saja tida senang, mengerti?”
  2. “Lagi, kalau jang djadi manoesia klas II tadi sebangsa dengab saja (bangsa sendiri lo, bangsa sendiri, djangan kliroe batja). Itoelah saja ada lebih tida soeka sama sekali kalau bisa sama dengan saja….”

Karakter Bjorka dan Jong Madioner makin ke sini makin sama saja. Terutama, saat keduanya menempatkan posisi dan sama-sama muak dengan para penjilat (baca: buzzeRp). 

Madioner adalah si kecil yang terus-menerus berteriak betapa “si toekang pendjilat” bukanlah teman, melainkan musuh. Mereka yang mau menjadi modern ala Eropa dengan cara-cara menjilat pantat. Inlanders yang payah yang mudah betul merendahkan bangsanya sendiri, namun kepada Eropa dia adalah penghamba dan penjilat pantat, kehilangan keberanian dan nyali sama sekali. Si Madioner ini menulis di DB No. 10, 30 Mei 1914, “Toekang Pendjilat Pantat”: 

“Tengoklah, bangsa sendiri dilarang bersepatoe, sedang bangsa pendatang ta’dilarangnja, bagoes; inilah namanja ‘Tjinta Bangsa’; jaaa??? Kita bandingkan begini sadja, oempama seorang Ass Wedana datang kehadepan Regent, bagaimanakah ia? Tentoe djongkok; bagaimanakah kalau seorang Tjina, bangsa particulier? Oempama datang kehadapan Regent itoe, tentoe dapat doedoek dikoersi atau berdiri, boekan? Djadi, njatalah jang merendahkan bangsa kami itoe, ialah bangsa kami sendiri joega. Oleh karena itoe bilamanakah lagi bangsa kami, Indiers, akan dipandang moelia oleh bangsa2 jang moesafir ke NOI….”

Saat Madiun jelang “Hari Hantu 18 September” dinarasikan dengan isu baru makna lama, yang saya ingat adalah anak-anak muda Madiun sebagaimana karakter si Jong Madioner. Modern, kosmopolit, dan maju dalam berpikir, tapi juga berangasan, pemarah, kritis, dan pemberani ketika berhadapan dengan pribumi penindas yang berkolaborasi dengan Kapitalisten. 

Sampai di sini, saya hanya ingin bilang, Jong Madioners, kalian keren!

Nu, saluut!” sahut si Bjorka. Eh, bukan, maksud saya si para Madioner.

BACA JUGA Bjorka Sukses Telanjangi Kebobrokan Sistem Siber Indonesia dan Kita Semua Menikmatinya dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version