Begitu Susahnya Berhubungan Baik Dengan Mantan

mantan

Sejak dirilisnya MV Last Dance sebagai momen perpisahan Big Bang dalam rangka wajib militer Desember kemarin, saya mengisi penuh playlist nostalgia saya dengan artis-artis YG Entertainment, termasuk 2NE1.

Lalu sebagaimana kebiasaan netizen kalau sudah bernostalgia via Youtube, niat awal hanya ingin melihat MV I’m The Best pun berlanjut pada kunjungan situs-situs gosip K-Pop. Sampai akhirnya perselancaran itu membawa saya pada berita yang menampar kesadaran saya: 2NE1 bubar!

Omooo… jinjayo? weyo? Ottokee…

Padahal kan mereka girlband yang penuh spirit emansipasi. Mengampanyekan para perempuan untuk percaya diri dengan tampilan asli tanpa operasi. Juga harus tetap kuat dan kemaki sekalipun ditinggal pergi lelaki. Pesona mereka memang berbeda dengan girlband Korea yang cantik nan aduhai pada umumnya. Mereka ini keren sekali, ya Tuhan, kenapa harus bubar? Kenapa?

Jujur, sekalipun bukan Blackjack, saya sedih. Tapi saya hormati keputusan 2NE1 dengan tetap mendukung karya mereka selanjutnya, baik sebagai grup maupun solo. Perpisahan kan memang sunatullah. Jangankan pada hubungan yang hanya berdasar kontrak rekaman, yang katanya kontrak sehidup semati saja bisa pisah kalau sudah “merasa tidak cocok”.

Meski begitu, ada jenis fans yang suka memaksakan kehendak. Beberapa fans menganggap mereka yang memisahkan diri tidak lagi mencintai grup. Beberapa yang lain bahkan kemudian memusuhi mereka yang keluar dari grup. Dianggap tidak loyal bahkan berkhianat, maka patut dibenci.

Padahal, sebagaimana kata Imam Besar The Panasdalam, justru pada lahirnya rasa benci itu lah perpisahan menjadi menyakitkan. Juga menjadi menyedihkan, bila habis itu saling lupa. Bahwa kita pernah selalu bersama-sama, lalu kita sadar bahwa kita harus berpisah…

Saya lalu teringat pada teman yang memutuskan berpisah dengan grup keagamaannya. Ketika visi misinya sudah tidak lagi sejalan dengan organisasi dan memutuskan keluar jamaah, dia langsung dibenci kawan sepengajiannya. Dianggap berkhianat. Berbahaya. Mereka yang dekat-dekat dengan si pengkhianat dianggap juga berkhianat. Bahkan dalam skenario paling ekstrim, darahnya halal.

Padahal dia nggak murtad alias keluar dari agamanya. Hanya berganti perspektif komunal. Masih menganggap teman-teman mantan lembaganya sebagai saudara. Tapi dia bisa apa kalau mereka tidak lagi mau dianggap saudara?

Ketika ada teman yang ingin keluar dari pengajian ukhti saya, biasanya saya bertanya: kenapa? Barangkali selama ini saya lah penyebab ketidaknyamanan yang membuat saudari saya memilih memisahkan diri. Mau dibilang GR juga silakan, tapi seringnya memang begitu kan. Orang tidak mau berada dalam sebuah kelompok bukan karena tidak meyakini visi misinya, tapi karena wajah-wajah dalam kelompok itu yang bikin tidak betah.

Sedihnya lagi, dia yang sudah terlanjur bersama dan kemudian tidak nyaman, sebenarnya sudah memberi kode. Tapi kita yang enggak peka. Dia sudah memberi tahu, setidaknya dengan isyarat. Tidak seperti doi yang tiba-tiba menghilang ketika bosan itu, tuh.

Sayangnya seringkali kita tidak cukup peka untuk membaca kode itu. Begitu resmi berpisah, bukannya bertanya untuk tabayyun, kita lebih hobi berspekulasi yang tidak-tidak. Sudah begitu, setelah berpisah lantas tidak berhubungan dengan baik. Apakah kita memang tidak bisa bersaudara dengan mantan? Padahal sebagai manusia terbaik, Nabi kita memberikan teladan bersaudara dengan mantan melalui hubungannya dengan Abu Thalib.

Dalam perspektif Nabi Muhammad, Abu Thalib adalah seorang yang kafir (ingkar) pada ajaran yang dibawanya. Sementara dalam perspektif Abu Thalib, Muhammad SAW adalah mantan saudara seiman yang murtad (keluar) dari ajaran nenek moyang mereka. Tapi keduanya tetap menjaga hubungan persaudaraan. Bahkan, dengan murah hatinya Abu Thalib membantu perjuangan penyebaran ajaran baru yang dibawa keponakannya itu.

Saya yakin, dalam kondisi seperti itu, Nabi Muhammad tidak menjadi menyebalkan dengan terus bertanya, “Om yakin nih, nggak kepingin masuk Islam?” atau “Om ini baik sekali, lho. Sayang, masih kafir.”

Kalau Rasulullah ditanya, keinginan berada dalam keyakinan yang sama dengan orang yang mendukung perjuangannya itu pasti ada. Tapi setelah memaksimalkan dakwahnya, beliau lantas menyimpan harapan itu dalam hati, dan mengungkapkan hanya pada Tuhan-Nya, sebaik-baik pengabul harapan. Sementara itu, hubungan persaudaraannya dengan Abu Thalib tetap berjalan harmonis. Sebuah teladan interfaith paling mutakhir dalam tarikh Islam.

Rasulullah memang spesial, tidak seperti kita yang lebih sering mengutamakan nafsu dalam berdakwah. Tujuan dakwah Rasul bukan cuma banyak-banyakan jumlah jamaah tapi lalu hilang dihempas ombak, seperti buih di lautan. Kualitas di atas kuantitas. Sebab memaksakan jumlah yang banyak tapi fatamorgana itu bukan hanya nggak keren, tapi juga menyakitkan. Kayak dia yang menjalin hubungannya bersamamu tapi hatinya bersama yang lain. Kan, sedih. Kalau memang nggak suka, ya sudah pergi saja. Kalau memang tidak bisa bersama, ya sudah berpisah saja.

Tapi mungkin kita memang tidak pernah (ber)siap dengan perpisahan. Suka memaksanya yang berbeda untuk tetap bersama meskipun terluka. Lalu ketika dia benar-benar memutuskan pergi, kita lantas membenci.

Terkadang kita tetap menjalin persaudaraan dengannya. Siapa tahu bisa menariknya untuk kembali bersama. Kita jadi sangsi, apakah hubungan ini benar-benar persaudaraan atas dasar ingin bersama meskipun tak lagi sejalan, atau ada maksud-maksud lain di baliknya.

Terkesan modus sih, tapi mau dikata apa. Move on memang sulit, kak.

Exit mobile version