Bercita-cita Jadi Dokter Spesialis Tapi Malah Depresi Saat Jadi Residen

MOJOK.CO – Pada saat studi PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis), seorang dokter residen kadang mengalami perundungan selama proses itu. Tidak seberat Ospek Kampus dan Masa Orientasi Sekolah sih, cuma lebih mahal saja.

Jika membayangkan profesi seorang dokter, maka akan ada satu kata ini yang nangkring di kepala saya: kaya.

Untuk itulah saya masih percaya kalau menjadi dokter itu hampir mustahil bagi orang miskin. Ada memang yang bisa karena beasiswa, kadang jadi cerita motivasi malah, tapi ya gitu, yang namanya keajaiban kan munculnya cuma sekali dua kali. Soalnya kalau berkali-kali namanya bukan keajaiban, tapi presensi.

Oleh karena itu sudah jadi rahasia umum bahwa untuk menjadi dokter dibutuhkan biaya tidak sedikit. Tak hanya puluhan juta, bahkan ratusan juta pun harus dikeluarkan demi jadi dokter. Yang tajir aja kadang masih butuh beasiswa juga kok, apalagi yang dari keluarga tidak mampu?

Di Indonesia, hal tersebut tidaklah aneh. Jadi, jangan heran jika lebih banyak dari keluarga miskin yang harus mengubur cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, apalagi sampai jadi dokter spesialis.

Beberapa waktu silam, seorang teman dekat bercerita kepada saya bahwa jadi dokter spesialis tidaklah mudah. Ada banyak tahapan yang perlu dilewati untuk bisa naik tingkat dari sebutan “dokter umum”. Ada tahap yang dinamakan studi PPDS. Katanya, penggemblengan yang sebenarnya akan dialami oleh calon dokter spesialis (residen)  pada saat mengikuti PPDS. Lho?

Jadi begini.

Kebetulan, teman saya ini mengambil spesialis obgyn (obstetrics and gynecology) atau disebut juga sebagai spesialis kandungan. Dialah dokter ahli segala hal yang berkaitan dengan tetek bengek dari proses reproduksi sampai proses melahirkan manusia.

Teman dekat saya itu punya mimpi, yang menurut saya, yah cukup mulia. Pertama, untuk menyelamatkan ibu dan anak. Kedua, mengurangi angka kematian pada ibu. Ketiga, meningkatkan dan memberi semangat kepada ibu agar tenang dalam menjalani proses kelahiran.

Sayangnya, mimpi-mimpi default tapi mulia itu tidak mudah dicapai. Ada banyak proses yang harus dilewati, termasuk proses yang selama ini tidak dia bayangkan sebelumnya. Dari ceritanya saya juga baru tahu, kalau dari semua bidang spesialis kedokteran, spesialis obgyn adalah spesialis kedokteran yang paling banyak terjadi praktik perundungan secara materi.

Menurut ceritanya, seringkali senior minta dibelikan atau disewakan barang-barang. Dari hal sepele yang murah hingga hal aneh-aneh yang mahal. Yang sepele bisa berupa pulsa. Yang besar? Oh, bisa sampai senilai mobil lho.

Hal semacam ini terjadi begitu saja. Dan permintaan ini pun tanpa perlu ada alasan yang jelas. Senior bisa bebas memberinya perintah dan si junior wajib melakukannya.

Yang mengerikan, teman dekat saya dan beberapa temannya ini pernah harus mengeluarkan dana sebanyak (kalau dihitung-hitung) sampai 20 juta setiap bulan hanya untuk memenuhi permintaan aneh-aneh para seniornya tersebut.

Tapi, apakah teman dekat saya ini pernah memberontak? Ingin mengkritik? Oh, tentu pernah.

Jadi, suatu kali, selepas membelikan barang-barang pesanan seniornya tanpa alasan yang jelas, dia pernah memberikan laporan ke atasan. Maksudnya ya kepada dosen yang lebih berkuasa. Tak hanya itu, suatu kali pernah ada seorang dokter residen yang menuliskan tentang perundungan di dunia residen, kemudian viral di media sosial.

Tapi saat itu gaungnya hanya bertahan hitungan minggu. Empati datang tapi hanya sejenak kemudian menghilang. Bahkan, si anak yang koar-koar ini malah didatangi para senior dan ditegur; “Kalo kamu nggak punya modal, ya jangan jadi obgyn!”

Intinya, yang saya tangkap dari cerita teman saya ini. Ada banyak para calon dokter spesialis yang mengalami kejadian serupa. Namun karena sudah dianggap budaya, jadi ya diterima-terima saja, toh kalaupun habis berjuta-juta ketika mengalami proses ini, semuanya akan “balik modal” juga kok.

What the… logika macam apa ini?

Selain itu, karena dianggap sebagai kultur yang sudah turun temurun, hampir mustahil ada calon dokter spesialis (baca: dokter residen) yang protes dan cukup punya keberanian untuk koar-koar ke luar. Mau lewat media massa atau tulisan curhat di media sosial. Jelas saja mereka tidak akan berani, sebab yang jadi taruhan adalah koneksinya sesama dokter spesialis, yang berarti kariernya bakalan jadi rawan posisinya bahkan sebelum dimulai.

Itulah kenapa teman saya tetap menjalani residen obgyn selama beberapa bulan sambil tetap mencoba merelakan diri, tenggelam dalam perundungan. Sebab, dia ingin agar kelak jika dia jadi senior, dia tak ingin berkelakuan seperti pendahulunya.

Katanya kepada saya, “Ya sudahlah. Jadi obgyn mungkin memang harus melakukan pengorbanan macam begini dulu.”

Bagi saya, ini jelas kultur yang sudah aneh. Jika situasi seperti ini masih pada era ketika Ospek Kampus masih ada yang main pukul-pukulan, Masa Orientasi Sekolah sampai ada yang pingsan-pingsan, mungkin saya akan diam meski tidak akan maklum juga. Tapi sekarang sudah 2018, Woy! Menyuruh junior untuk membelikan sesuatu yang tak jelas demi menunjukkan superioritas senior benar-benar praktik yang sudah ketinggalan zaman.

Saya tahu betul teman saya ini sempat mengalami depresi berat. Jadi ya nggak mungkin dong teman saya depresi seperti itu hanya gara-gara diminta seniornya suruh beliin cilok atau cireng tiap hari? Nggak mungkin juga cuma karena disuruh beliin es teh terus cuma dikasih sedotannya doang, ya nggak mungkin dong.

Sebab setelah semakin berat depresi yang dialami teman saya ini, dia sampai beberapa kali mendatangi psikiater dan mendapatkan saran agar segera mengundurkan diri saja. Jadi jelas, perundungan yang terjadi tidak sesepele senior titip beliin cilok sama es teh sama juniornya.

Itu baru satu kasus yang terjadi di salah satu kota di Pulau Jawa, lain halnya di Denpasar. Teman saya yang lain bercerita bahwa setiap malam hampir membelanjakan duit untuk para senior sampai 300 ribu. Itu baru semalam. Hitung sendiri kalau dikalkulasi selama sebulan hanya demi jadi bahan perundungan para seniornya selama sebulan.

Di kota lain bagaimana? Oh, ada, di daerah saya sendiri di Jogja, seorang teman harus menerima perundungan secara fisik. Bahkan sampai baku hantam dengan senior. Dan itu terjadi di residen bedah orthopedi (tulang).

Setiap kali saya mendengar cerita demikian, pertanyaan yang sama akan muncul sejenak setelah mereka bercerita. “Kenapa sih kamu nggak keluar saja?”

Dan entah kenapa semuanya seperti kompak menjawab; “Sudah tahu risikonya.” Jadi apa yang mereka alami seperti sebuah kultur pendidikan yang lumrah dan harus mereka jalani.

Pola ini sebenarnya membuat saya punya kesimpulan sederhana. Pertama, si senior ingin tahu seberapa kuat modal sekaligus mental seorang junior untuk menjalani residen. Kedua, ya jelas ingin balik modal. Iya dong, si senior yang malak ini kan dulunya pernah jadi junior dan hampir pasti pernah mengalami hal serupa.

Meski begitu, saya masih yakin tidak semua senior berkelakuan seperti itu. Jika pun ada, itu hanyalah—semoga ini benar—oknum. Iya, oknum. Kenyataannya di lapangan ada juga seorang teman yang kebetulan menjadi residen anestesi justru diberi pesangon oleh seniornya. Dia pun mengatakan bahwa selama menjadi dokter residen, para senior selalu kooperatif dengan para junior.

Dari keterangan teman-teman saya “yang senior” beberapa memberi informasi kalau sampai ada dokter residen senior “memberi pelajaran” kepada dokter residen junior, itu pasti ada penyebabnya. Tidak bisa digeneralisir ujug-ujug begitu saja. Misal, junior yang sudah bersikap keterlaluan dan bersikap tidak semestinya kepada senior. Selalu suka cari masalah dan bikin keributan, sehingga perlu digembleng dengan hal-hal seperti itu.

Mendengar hal itu saya jadi merasa perlu melindungi nama-nama teman-teman saya (makanya tidak saya tulis secara jelas nama dan di mana mereka menempuh residen) agar tidak dianggap “suka cari masalah dan suka bikin keributan” oleh senior-seniornya sehingga kariernya jadi dokter spesialis bakal bermasalah.

Itu juga yang jadi alasan kenapa saya perlu menuliskan pengalaman teman-teman yang sedang jadi dokter residen ini. Setelah bertahun-tahun saya mendengar kisah-kisah mereka, rasanya berdosa saja jika saya tidak menyampaikannya hanya karena menganggap itu semua adalah hal lumrah karena dianggap tradisi.

Sebab sependek yang saya tahu, perundungan tidak akan jadi sesuatu yang bisa dibenarkan meskipun dilakukan oleh banyak orang dan dipraktikkan secara berulang-ulang. Baik itu di Ospek Kampus, Masa Orientasi Sekolah, maupun masa residen seorang calon dokter spesialis.

Exit mobile version