Saya baru bangun tidur ketika Marzuki Mohamad a.k.a Kill The DJ, musisi yang tidak ada hubungan famili dengan Goenawan Mohamad itu, atau yang biasa saya sapa dengan panggilan Mas Juki, menghubungi saya via Whatsapp.
Tiap kali mendengar nama Mas Juki, di kepala saya selalu muncul tokoh penting di novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang banyak dilupakan orang: Marjuki. Ya, kusir pribadi Nyi Ontosoroh yang sering mengantar dan menjemput Minke dalam berbagai kisah suka dan duka. Tanpa Marjuki, mobilitas Minke pastilah terhambat.
Duh, malah kepanjangan nulis soal Mas Juki. Intinya, beliau menawari saya undangan menghadiri ‘Red Carpet Gala Premiere AADC 2’.
Tentu saja saya menolak. Ealah, tak lama kemudian penolakan saya muncul melalui cuitan di Twitter. Beliau bilang, saya menolak undangan tersebut karena grogi.
Ini harusnya jadi berita; kepala suku @mojokdotco sdr @Puthutea menolak undangan red karpet gala premiere #AADC2 dikarenakan beliau “grogi”
— Marzuki Mohamad (@killthedj) April 22, 2016
Karena cuitan tersebut sudah kadung muncul di publik, tentu saya harus memberikan klarifikasi. Lewat media apa? Ya tentu saja lewat media yang punya power besar seperti Mojok ini. Sebagai Kepala Suku, pastilah tulisan saya dimuat. Kalau Mas Juki atau Dian Sastro nanti memberi tanggapan, tinggal saya bilang saja ke pihak Redaktur agar tidak memuat. Lho, tapi ngomong-ngomong kenapa sampai ada Dian Sastro? Apa urusan dia dalam kaitan antara Mas Juki, saya, dan Gala Premiere AADC 2? Maaf ya, nama itu nyelonong begitu saja.
Jadi begini. Saya sebetulnya mau saja menghadiri acara tersebut, tapi setelah saya renungkan, hal itu akan mengurangi kenikmatan saya dalam menonton AADC 2. Kalian pasti bisa membayangkan kalau misalnya saya dapat kursi di dekat Dian Sastro. Sepanjang pemutaran film itu, pastilah saya tak jenak. Merasa diawasi, diperhatikan, dicuri-curi pandang. Gak enak banget, kan? Kalau berani, ayo beradu pandang. Bersitatap. Sekalian yang lama…
Kalau diperhatikan diam-diam macam begitu, saya yang susah. Pas saya lihat nanti dia pura-pura enggak melihat. Begitu saya menonton lagi, dia memperhatikan saya. Kan saya jadi serbasalah. Hampir bisa dipastikan saya tak bakal bisa khusyuk menikmati AADC 2, padahal film ini sudah saya tunggu jauh hari sebelum ide AADC 2 hinggap di benak sutradara dan produser film. Visi saya tajam sekali, bukan?
Bagi saya, film Indonesia sementara ini hanya ada 3: Naga Bonar (tidak pakai 2), AADC, dan film Indonesia lain. Setelah AADC 2 muncul, bagi saya, film Indonesia ada 4. Sekalipun ketika tulisan ini saya buat, saya belum menonton AADC 2, tapi saya yakin AADC 2 bagus. Kalau jelek pastilah itu salah Mas Juki. Eh…
Maka dari itu, tentu tidak mungkin saya mau mengikhlaskan diri mengurangi kekhusyukan menonton AADC 2 hanya dengan iming-iming ‘Red Carpet’-lah, ‘Gala Premiere’-lah… Apalagi cuma diiming-imingi ketemu Dian Sastro.
Jadi, ingat ya Mas Juki, bahwa saya tidak grogi. Kalaupun grogi ya sedikit, lah. Manusiawi. Namanya juga cinta pertama, eh pertemuan pertama maksud saya. Sekali lagi, itu hanya soal saya tidak mau mengurangi kadar fokus dan khusyuk dalam menonton film yang sudah bukan hanya puluhan purnama, melainkan ratusan purnama saya tunggu. Ini bukti bahwa saya bukan sembarang penonton AADC. Saya penonton AADC garis keras, yang berdiri di barisan pelopor paling depan, dan hanya dibekali satu prinsip: negosiasi gagal, bentrok!
Ibarat suporter, saya adalah suporter garis keras yang duduknya di Curva Sud. Rela kecapekan, rela berteriak sampai hilang suara, bahkan kalau perlu harus rela bersitegang dan berkelahi dengan suporter lawan. Kalau bukan saya, atau orang-orang sejenis saya, terus siapa lagi? Kami, yakni saya dan para suporter garis keras AADC inilah yang menjadi pelantang, diseminator, penyampai pesan ke khalayak luas tanpa peduli strategi pemasaran dan gimmick yang dipakai pihak produser untuk memperkenalkan AADC 2 ke publik. Biarlah itu menjadi urusan mereka. Urusan kami hanya satu: menonton.
Menonton AADC 2 bagi orang-orang seperti kami, adalah suatu momentum sakral. Di saat seperti itu, gedung bioskop menjelma menjadi kuil suci. Red Carpet yang digelar di Gala Premiere, tak akan bisa menandingi keagungan tempat ibadah bernama gedung bioskop itu, yang belum mungkin kami alami sepuluh atau dua puluh tahun sekali.
Kami datang laiknya Romanisti yang beranggapan AS Roma adalah AS Roma. Sementara Barca, MU, Juventus, Chelsea, termasuk Napoli dll itu hanyalah klub sepakbola. Tempat kami di stadion adalah di Curva Sud. Bukan di tribun VIP.
AADC adalah AADC. Bukan yang lain. Titik. AADC 2 adalah AADC 2. Bukan yang lain. Titik. Kalau perlu dalam sehari kami menonton 3 kali, selama 5 hari berturut-turut. Bahkan kalau perlu kami duduki gedung bioskop dan kami dirikan tenda di halamannya.
Kami tak akan peduli semua teori perfilman, tak butuh mendengar dan membaca para kritikus film, dan sekian analisis yang membuat film AADC menjadi sangat profan. Sangat ilmiah. Mencoba memotong rantai psikologis yang mengikat kami dengan Dian Sastro, eh dengan film itu. Kami tak peduli dengan semua puja-puji atau caci-maki soal film itu. Termasuk seremonial-seremonial yang bagi pihak pembuat film penting, tapi bagi kami sama sekali tak penting dan tak berguna. Diadakan atau tidak, tak ada pengaruhnya buat kami. Hal yang paling penting bagi kami hanyalah menonton AADC 2 sepuas kami, dan merayakannya sesuai dengan cara dan gaya kami.
Jadi Mas Juki, istilah grogi itu tidak tepat. Sebab yang tepat adalah istilah gentar. Hal yang susah dideskripsikan. Emosi yang sudah campur aduk tak karuan, karena sudah lama kami menunggu sampai lumut tumbuh di dinding waktu.
Jadi Mas Juki, ini bukan soal Dian Sastro. Urusan saya dengan dia sudah lama kelar. Saya sudah punya anak dan istri. Dia juga sudah punya anak dan suami. Kami berdua sudah sama-sama bahagia dengan keluarga kami masing-masing. Terlebih, kami berdua tak saling kenal. Jangan berlebihan.
Jadi Mas Juki, ini soal AADC 2. Bahwa dalam film yang entah kenapa makin ditunggu malah makin mendebarkan itu ada Dian Sastro, ya pastilah. Harus. AADC 2 tanpa Dian Sastro ibarat orang kelaparan di tengah malam, malas keluar karena hujan turun lebat dengan petir menggelegar, dan stok mie instan habis.
Kalau cuma soal ‘Red Carpet’ itu, terlalu duniawi buat saya. Karena AADC 2 ini sudah menyentuh dimensi spiritual. Sudah seperti membersihkan karpet masjid sebelum bulan Ramadan tiba.
Paham Sampeyan wahai, Mas Juki? Nek ora paham, tak tabrak sisan lho…