Belajar Jadi Wartawan kepada Rusdi Mathari

MOJOK.CO “Life offers you a thousand chances, Querer. All you have to do is take one,” tulis Rusdi Mathari di bio Instagramnya. Satu yang diambil Rusdi itu adalah jalan wartawan.

“Aku mau ambil ijazah ini ke IISIP. Kamu kapan, Fan?” tanya Rusdi Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Rusdi Mathari saat saya mengantarkannya ke Stasiun Cikini dari kantor kami di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, pada 2014.

Saya tahu, ia menyindir saya yang nggak kelar-kelar studi S-2 Jurnalistik di IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), alma maternya dahulu. Ketika saya diterima sebagai reporter di media online yang baru berdiri akhir 2013 itu, The GeoTimes, saya sudah tak bisa membagi waktu lagi. Saya pun merasa, bersama Cak Rusdi di kantor itu, saya sudah mendapatkan banyak pelajaran jurnalistik, teori maupun praktik, dibanding di bangku kelas yang hanya berkutat pada teori. Digaji pula.

Selama bekerja bersama Cak Rusdi, saya memperoleh banyak sekali pelajaran berharga. Beberapa kisah ini adalah di antaranya.

Menulis yang Baik

Suatu pagi saya sedang sendirian di beranda belakang kantor yang menghadap kolam renang. Laptop sudah saya nyalakan. Beberapa hari belakangan, saya sedang terserang flu berat.

Cak Rusdi datang, mengapit laptopnya. Ia lantas duduk di kursi tak jauh dari saya dan menegur.

“Fan, sini sebentar,” katanya. “Ini kamu gimana? Nulis kok narasumbernya cuma satu. Humas lagi yang diwawancara. Nggak ada yang lain? Sudah, kamu balik lagi ke lokasi, kamu reportase saja. Lalu, kamu coba hubungi ketuanya, dong.”

Cak Rusdi menegur saya perihal tulisan soal taman di bawah jembatan layang yang kala itu sedang diperbincangkan dan menggarap berita soal komunitas Indonesia Berkebun. Dengan tubuh yang masih agak demam, saya bergegas ke luar kantor dan kembali lagi ke beberapa lokasi taman bawah jembatan layang.

Selain soal jumlah narasumber, ia pun pernah mengomentari tulisan saya yang menggunakan istilah tak umum.

“Tulisan kamu itu dibaca tukang becak, kuli, dan sebagainya. Jangan pakai istilah yang kamu sendiri nggak ngerti artinya,” katanya.

Pria kurus berambut gondrong itu juga mengatakan, kalau sedang menulis ya menulis saja. Jangan membuat judul dahulu. Tulis saja sampai beres, edit, baru sematkan judul. Masalah reportase, sebagai kekayaan tulisan feature, ia pernah berkata, “Kamu ke lokasi rasakan apa yang orang-orang rasakan, lihat apa yang kamu lihat, dan dengar apa yang kamu dengar. Lalu tulis!”

Militansi

“Kamu pernah disiram air comberan sama satpam? Pernah kamu dipopor senjata?”

Saya belum pernah merasakan hal itu selama menjadi wartawan. Cak Rusdi lalu menceritakan pengalamannya saat bertugas di lapangan. Jiwa militan, menurutnya, mutlak ada di dalam diri wartawan. Saya diajari agar tidak takut menghadapi hal paling pedih sekalipun saat menjalani tugas jurnalistik.

Pernah saya kena semprot beliau lantaran belum juga memperoleh keterangan dari Rhoma Irama. Ketika itu, saya dapat tugas wawancara Rhoma Irama tentang dangdut di Amerika. Kebetulan seorang kawan juga mendapat tugas ke Bang Haji dengan tujuan meminta keterangan soal pencalonan dirinya sebagai presiden.

“Mana Rhoma Irama? Belum dapat juga? Dari kemarin aku bilang, jangan ngandalin telepon atau SMS!” ia murka.

Namun, saat malam saya belum pulang, saya diberi tahu jika Rhoma Irama berdomisili di sebuah perumahan di Depok.

“Kamu besok ke sana Subuh. Dia (Rhoma) biasa jadi imam di masjid kompleks. Coba kamu ke sana,” katanya.

Sebelum Subuh saya pergi menggunakan sepeda motor. Saya ingat ketika itu masih pukul setengah tiga pagi. Sesampainya di sana tentu saja kompleks masih sepi. Hanya ada dua tiga satpam bersiaga.

Saya masuk kompleks dengan percaya diri. Setibanya di depan masjid, jamaah belum datang. Tentu saja masih sepi, ini masih pukul empat. Tiba-tiba seorang satpam kompleks yang mengayuh sepeda menghampiri saya.

“Mau ke mana, Mas?” katanya.

Tampaknya ia curiga saya maling yang biasa beroperasi di perumahan.

“Lagi nyari Rhoma Irama, Pak. Saya ngefans.”

Jamaah berangsur-angsur datang ke masjid. Saya ambil wudu dan duduk persis di belakang imam. Usai salat dan imam menengok ke belakang, ternyata ia bukan Rhoma yang saya cari.

Pencarian saya alihkan lagi ke Jakarta. Saya berusaha mencari alamat rumah Rhoma di internet dan dapat! Sebuah alamat di bilangan Jatipadang, Jakarta Selatan.

Sesampainya di rumah itu, hari sudah siang. Matahari sudah tepat berada di atas kepala. Saya berusaha menggiring sang penghuni rumah untuk keluar. Menemui saya. Seorang asisten rumah tangga muncul. Lalu saya disuruh menunggu di luar pagar rumah. Saya menunggu hingga hampir tiga jam. Setelah itu asisten rumah tangga keluar dan memberi tahu untuk menghubunginya beberapa hari ke depan karena sang raja dangdut tengah sakit.

Pencarian saya untuk mewawancarai Rhoma itu saya anggap masih sepele dibandingkan contoh-contoh militansi wartawan yang pernah Cak Rusdi alami dahulu.

Kejujuran

“Jangan pernah kamu terima jale (uang dari narasumber). Kalau ketahuan, langsung SP3. Kecuali ya kamu dapat amplop Rp1 miliar. Kamu keluar dari sini dan bikin saja usaha,” katanya suatu hari.

Tentu saja ia sedang berkelakar. Namun, kalimat awalnya itu memang serius. Kami diajari untuk tidak menerima amplop dari narasumber. Cak Rusdi pernah berkata, ia bisa menerka tulisan yang “dibayar” narasumber atau tidak dari “rasa” tulisan itu.

Dari sini saya diajari kejujuran menjadi seorang wartawan.

Disiplin

Suatu hari saya terlambat datang ke kantor yang tengah rapat redaksi. Jadwal rapat dimulai pukul 09.00. Saya sampai di kantor pukul 10.00. Saat itu saya terlambat gara-gara ban sepeda motor saya pecah. Namun, salah saya, saya nggak bilang ke sekretaris redaksi perihal masalah tadi.

Seperti biasa, Cak Rusdi yang memimpin rapat. Wajahnya terlihat ketus memandang saya yang baru datang.

“Orang kalau rapat jam 9 ya datang jam 9. Bukan jam 10.”

Cak Rusdi orang yang sangat disiplin dalam waktu, apalagi deadline. Kalau tulisan melewati tenggat, pastilah kami terkena semprot.

Selera Humor

Tentu semua rindu pada cerita lucu Cak Rusdi. Bukan hanya mahir merangkai kata, ia orang yang lihai bercerita apa pun. Meski terkadang ceritanya diulang-ulang, namun tetap saja nggak membosankan. Mulai dari guyonan soal politik, gosip wartawan, seks, hingga hal-hal remeh-temeh macam bulu hidung dan upil. Ia pandai mengemas kisah-kisah tersebut, membuat siapa pun tergelak, mengakak.

Cerita-cerita lucu itu datang dari pengalamannya bertugas di sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Aceh, Kalimantan, hingga Madura. Salah satunya kisah tentang kerusuhan di Sampang, Madura pada 2012.

Saat itu ia dicurigai salah satu kelompok. Dan bertanyalah salah seorang dari mereka.

“Kamu siapa? Dari mana?”

“Saya wartawan, Cak. Dari Jakarta.”

“Oh, wartawan media apa?”

“Saya wartawan freelance.

“Oh, mana majalah freelance-nya? Saya mau lihat.”

Kami tertawa mendengar cerita itu. Ah, ia memang pendongeng yang hebat. Suatu hari, Cak Rusdi pun pernah berkata, kalau menjadi seorang wartawan selera humor harus tinggi. Dan ia punya banyak sekali stok humor, barangkali nggak akan pernah habis.

Pria Situbondo kelahiran 12 Oktober 1967 itu sudah pulang ke rahmatullah pada 2 Maret 2018 pagi. Semua berduka. Semua pasti rindu. Baik yang kenal baik maupun hanya sekali dua bertemu. Cak Rusdi memang punya kelebihan mampu membuat orang merasa dekat dengan dirinya. Sosoknya perhatian kepada siapa pun yang dikenalnya.

“Aku kalau marah itu artinya aku sayang sama kalian. Kalau aku diam, itu tandanya aku betul-betul marah.”

Ya, Cak Rusdi sering marah. Tapi, ia mengaku marahnya itu adalah bentuk perhatian kepada kami. Bagi saya, ia bukan hanya mantan atasan, tapi juga guru dan bapak yang baik.

Selamat jalan, wartawan tangguh. Banyak yang merindukanmu di sini.

Exit mobile version