Mengutip (secara payah) truisme (dengan perubahan) dalam salah satu cerpen Mas Dea di Bakat Menggonggong: sebuah imajinasi adalah sebuah imajinasi adalah sebuah imajinasi, dan sebuah impian adalah sebuah impian adalah sebuah impian. Tetapi akhir Februari lalu, sebuah impian adalah sebuah imajinasi adalah sebuah impian imajinatif yang tetap menjadi imajinasi; pernyataan itu tetaplah sebuah truisme lantaran alasan sederhana: situs Mojok tutup. Pertanyaannya sekarang: apa tujuan dari intro bertele-tele di atas jika pada akhirnya hanya menyatakan sebuah pernyataan yang nyata-nyata sudah dinyatakan banyak orang?
Jawabannya: tidak ada.
Duh, mempertanyakan isi hati orang yang patah hati memang sia-sia.
Patah hati sendiri tidaklah benar jika hanya diaosi … disaosi … disasosi … dias … ah, maksud saya, patah hati bukan milik orang yang jatuh cinta saja. Sering kali patah hati paling hebat yang pernah dirasakan seseorang adalah karena alasan lain: dikhianati keluarga, doa tidak dikabulkan, dan tentu saja ketika impian-impiannya hanya menjadi imajinasi semata.
Orang-orang seperti ini kadang kala bisa melakukan hal yang jauh lebih bodoh dibandingkan mereka yang patah hati karena cinta. Beberapa contoh tindakan bodoh itu, antara lain mengutip secara payah sebuah truisme di sebuah buku kumcer bagus tanpa memahami apa pun tentang truisme dan sok-sokan tidak bisa mengetik diasosiasikan, dan menyebalkannya lagi, salah ketiknya itu bukannya dihapus dengan backspace, malah dibiarkan saja.
Saya adalah salah satu dari orang-orang patah hati yang ada di kategori terakhir itu; impian-impiannya kandas menjadi imajinasi. Namun, syukur alhamdulillah, saya belum melakukan hal-hal bodoh yang saya sebutkan tadi. Tapi saya tetap patah hati. Toh, patah hati adalah hak segala bangsa. Dan saya yakin, sebagai sebuah bagian mikroskopis dari jutaan lebih pembaca Mojok (dan 200 lebih penulis Mojok), hak patah hati saya adalah sah-sah saja sifatnya.
Impian, pada asasnya, adalah sebuah imajinasi. Tetapi karena faktor waktu, impian adalah 50% imajinasi dan 50% kenyataan tergantung dengan probabilitas dan segala macam usaha subjek-subjek yang terkait dengannya. Dan begitulah impian-impian saya tentang Mojok. Tentu, hak saya untuk bermimpi (yang imajinatif tentunya) terhadap situs yang sedikit nakal banyak maunya ini sama sahnya dengan hak patah hati saya.
Baik, tanpa menambahkan lebih banyak nonsens, berikut saya paparkan impian-impian saya kepada Mojok.
1. #BertamuSeru dengan Jonru
Bahwa tulisan pertama saya di situs ini adalah sebuah tanggapan terhadap artikel pertama pada salah satu rubriknya, yaitu #BertamuSeru, mungkin merupakan sebuah kebetulan. Namun keberadaan rubrik tersebut tentu saja bukan sebuah kebetulan. Tentu, karena itu, ekspektasi saya terhadap hal-hal menarik yang akan datang pada rubrik ini pun bukanlah sebuah kebetulan.
Salah satu ekspektasi saya adalah adanya diskusi ciamik antara pentolan-pentolan Mojok dengan Abangnda Jonru. Ekspektasi tersebut tentu saja bukannya tanpa dasar: narasumber pertama pada rubrik tersebut adalah, secara teknis, seorang anak presiden. Walau namanya tidak sebesar si-itu-yang-bapaknya-suka-curhat-di-Twitter, tetapi seorang anak presiden adalah seorang anak presiden adalah … ah, sudahlah. Lagi pula, salah satu angan-angan yang dibicarakan adalah meletakkan si anak presiden dalam satu panggung dengan Jonru, dengan Mojok sebagai fasilitatornya. Demi Allah, ini akan menjadi kontestasi yang jauh lebih keren ketimbang Spongebob vs Nyonya Puff.
Tapi ya begitu, lagi-lagi ini hanya angan-angan. Selain Abangnda Jonru kini nampaknya sudah kalah massa dan suara dengan bintang internet lainnya seperti Ustadz Abu Janda, Denny Siregar, atau Ade Armando, rubrik #BertamuSeru hanya muncul ke permukaan sekali hingga kabar Mojok tutup itu tiba. Hiks.
2. Ekspansi, Variasi, dan Kompilasi Komik Mojok
Sebagai salah satu penikmat komik didikan Hokage ketujuh, melihat rubrik komik ada di Mojok tentu meningkatkan nafsu saya. Nafsu untuk membaca komik strip khas koran-koran, maksudnya. Artikel yang saya baca pertama kali di Mojok (atau lebih tepatnya, pertemuan pertama saya dengan situs tersebut) adalah tentang icip-icip tragedi Paris yang saya sudah lupa kapan terjadinya, dan dari artikel tersebut, saya sedikit banyaknya bisa menilai secara subjektif bagaimana Mojok itu sebenarnya, dan komik jenis apa yang mungkin ada di dalamnya.
Saya tidak kecewa, tentu saja. Beberapa komik yang ada di dalamnya mengingatkan saya pada kenangan manis membaca komik strip Benny & Mice di harian Kompas ketika saya masih di Indonesia dulu. Lalu, rubrik komik sempat terhenti hingga caturwulan terakhir 2016, sebuah komik yang judulnya kalau tidak salah Para Lelaky muncul. Menarik, saya kira, dan saya sempat berimpian Mojok terus melebarkan sayapnya selain di dunia tulisan juga di dunia perkomikan. Tapi, Mojok memang rajanya PHP.
3. Mojok Abroad
Ini merupakan impian imajinatif saya yang paling binal tentang Mojok. Ketika lima atau sepuluh tahun ke depan Mojok sudah menjadi media opini alternatif paling femes di Indonesia (dan saya, sebagai salah satu penulis Mojok yang bermukim di luar negeri, sudah mencapai kualitas dan kuantitas setidaknya seperdelapan atau seperempat Mas IAD yang juga bermukim di luar negeri), Mojok akan memiliki cukup dana untuk memanggil dan memfasilitasi para penulis Mojok di luar negeri untuk membicarakan tentang bagaimana kancah Mojok bisa diperlebar hingga ke mancanegara—minimal ke kalangan WNI-nya. Siapa tahu kan, saya juga diundang dan didudukkan sejajar dengan orang-orang kece seperti Mas IAD atau Mas Normanda. Cihuy.
4. Artikel Meme Terbaik 2017
Katanya kan mau ada harapan turun artikel semacam begini. Tapi belum tamat 2017, Mojok sudah kukut. Sebagai seorang penggemar meme, harapan saya untuk melihat meme kekalahan AHY dan Sandiaga Uno di Mojok pun kandas. Sedih.