Beban Ganda Jadi Pengangguran saat Musim Hujan

Pengangguran itu bukan soal benar-benar nggak kerja, tapi soal status. Apalagi kalau kamu sarjana cumlaude.

Beban Ganda Jadi Pengangguran saat Musim Hujan. (Mojok.co/Ega Fansuri).

MOJOK.COSudah lulusan cumlaude, tapi malah terjebak sama status pengangguran di kampung. Berat. Beraaat.

Sebut saja namanya Hesti. Fresh graduate yang baru lulus 4 bulan dari sebuah universitas ternama di Yogyakarta.

Awalnya Hesti merasa kalau hidupnya akan baik-baik saja usai menjadi lulusan berpredikat cumlaude. Nyatanya beberapa surat lamaran yang dikirim ke HRD perusahaan juga belum mendapatkan titik terang. Tak ada satu pun yang ngajakin interview.

Sebagai fresh graduate yang merasa nggak punya passion yang bisa dijual, Hesti masih bingung ke depannya mau menjadi apa. Antara mau wirausaha, kerja di perusahaan seperti teman-temannya, atau fokus jadi pengangguran dengan embel-embel cumlaude saja.

Jadi pengangguran tentu jadi jalan yang pada mulanya tak mau dipilih Hesti. Namun apa daya, karena tumpukan email lamarannya tidak mendapat kepastian, Hesti mulai memutar otak untuk setidaknya kalau jadi pengangguran dia tak perlu merepotkan orang tuanya. Sebuah cita-cita mulia dari seorang anak yang terjebak pada situasi nganggur.

Sebagai pengangguran berstatus cumlaude, Hesti tinggal bersama orang tuanya di Temanggung. Sebuah daerah pertanian. Karena tinggal bersama petani-petani setidaknya Hesti bisa membantu meringankan pekerjaan orang tuanya di kebun sambil mengisi waktu penganggurannya yang penuh atas kekosongan setiap hari.

Naasnya curah hujan yang tinggi menjadi kendala kegiatan bertani Hesti. Sebagai orang yang masih amatiran dalam dunia pertanian, Hesti hanya mampu membantu menyebar pupuk kandang, sesekali membabat rumput, atau menggunting tunas baru pada pohon kopi, itu pun sebentar-sebentar istirahat karena ngos-ngosan.

Maklum, sebagai pengangguran profesional, hal yang begitu-begitu itungannya sudah kerja lembur.

Januari ini menjadi bulan terberat pasca-kelulusannya, bayangkan saja setiap kali Hesti sudah mengumpulkan niat dan bergegas menuju kebun, eh lah kok hujan datang tiba-tiba?

Tanpa ampun. Pagi, pagi menuju siang, dan lebih seringnya siang hingga sore. Hujan terooos. Seolah alam memaksa Hesti untuk benar-benar jadi pengangguran.

Kini Hesti tidak tau lagi apa yang harus dia lakukan sembari menunggu layang lamaran pekerjaannya di-approve.

Meski sudah berbulan-bulan menjadi pengangguran, Hesti tetap bermimpi punya pekerjaan sesuai standar tetangga-tetangganya. Standar tetangga Hesti saat melihat Hesti yang berstatus lulusan cumlaude.

Padahal, apapun kerjaannya Hesti pasti mau. Asalkan halal, nggak berat-berat amat, dan gajinya dua digit. Tidak seperti yang dilakukan Hesti sekarang, aktivitas di kebunnya pun dianggap sebagai bukan pekerjaan, tapi “bantu-bantu orang tua”.

Sudah begitu, bagi Hesti si pengangguran cumlaude, hujan memberikan beban ganda yang cukup menampar hidupnya. Saat di kebun, Hesti merasa bahwa hidupnya tidak muram-muram amat, karena bisa menghabiskan setidaknya 6 jam dalam sehari, tapi bayangkan jika 6 jam itu diisi dengan guyuran air hujan.

Air hujan dari langit itu bikin yang basah bukan cuma CV atau pipi-pipinya Hesti, tapi juga nilai di IPK yang mulai tak dipedulikan, dan kebanggaan lulusan kampus ternama yang akhirnya kelunturan. Habis sudah perasaan Hesti yang kerap ditanyai tetangga.

“Udah lulus cumlaude kok di rumah aja?”

“Katanya lulusan kampus ternama, kok masih pengangguran di rumah aja?”

“Sarjana kok malah di kebun?”

Kadang tetangga emang gitu, niatnya cuma tanya basa-basi, tapi lambe­-nya ngundang anarki.

Meski begitu, saya yakin, Hesti tidak sendirian. Di luar sana, pasti ada Hesti-Hesti lainnya yang juga kena beban ganda akibat curah hujan yang melanda dan sempitnya serapan tenaga kerja.

Sendu di dalam hati tanpa pekerjaan plus cuaca buruk di luar sana yang seolah ngetawain nasib sarjana sebagai pengangguran.

Belum kalau ada masalah genteng bocor, air rob sampai ke rumah, jemuran nggak kering-kering, motor baru dicuci kehujanan lagi, rasanya pengen udahan aja hidupnya tapi kok ya belum siap mati.

Hesti adalah gambaran masyarakat yang tertindas oleh keugal-ugalan yang sistematis. Pekerjaan bagi sarjana, baru dikatakan “kerja” kalau sudah bisa pakai seragam, diundang interview kerja, tempat kerjanya di gedung, atau pindah ke kota besar.

Lalu ketika lebaran, lulusan sarjana ini diharapkan pulang kampung, semua orang merasa pangling, bawa mobil, bawa oleh-oleh yang banyak. Tentu saja diiringi dengan ghibah lezat soal “Hesti-Hesti” lainnya.

BACA JUGA Ketika Status Anak Kuliahan Membuatmu Jadi Alien di Desa atau ESAI lainnya.

Penulis: Istiqomah Rifkha Aghni

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version