Batu pun Enggan Jadi Manusia

Batu pun Enggan Jadi Manusia

Batu pun Enggan Jadi Manusia

Gus Mut harus pulang ke kampungnya di Jawa Timur. Dia akan berlebaran di sana dan akan mengabarkan pada keluarga di sana bahwa Romlah, istri Nody, kakaknya, akan melahirkan menjelang Lebaran. Malam, sehabis tarawaih, dia berpamitan pada Pak RT, Pak Lurah, Warkono, Busairi dan yang lainnya. Selama tinggal hampir tiga minggu, Gus Mut memang mengenal banyak orang warga kampung. Sebagian malah sudah akrab dengan Gus Mut.

Paginya, selepas subuh, dia berpamitan dengan Mat Piti, Romlah dan Nody, dan Cak Dlahom. “Saya pamit Cak…”

Gus Mut mengulurkan tangan meraih tangan Cak Dlahom.

“Salam kagem ibu-bapak dan semua sanak di sana.”

“Saya masih boleh kan, Cak, ke mari lagi?”

“Siapa yang bisa melarang orang punya kehendak, Gus?”

“Terima kasih, Cak…”

Gus Mut sumringah. Dia datang ke kampung itu dengan niat hendak bertemu dengan kakaknya dan untuk melihat kondisi kandungan iparnya tapi kemudian mengenal banyak orang dan dia disambut dengan tangan terbuka. Dia betah tapi harus pulang untuk menemani orang tuanya berlebaran di kampung.

“Sudah siap berangkat ,Gus?”

Terdengar suara Mat Piti. Dia kuatir Gus Mut akan kesiangan sehingga sampai ke kota menjelang sore dan tidak ada lagi bus yang akan mengangkutnya. Kampung tempat tinggal Cak Dlahom dan Mat Piti memang berjarak cukup jauh dari kota. Dari kota, kampung itu bisa dicapai dengan menumpang angkot dua kali dan naik ojek sekali. Melintasi perbukitan, sawah dan hutan.

Dulu ketika tidak ada angkot dan ojek, orang-orang di kampung jarang pergi ke kota. Mereka mencukupi semua kebutuhan dari kampung. Tak ada sabun. Tak deterjen. Atau kalau mereka pergi ke kota, mereka akan berjalan kaki sehari penuh. Menginap di masjid kecamatan, lalu meneruskan berjalan kaki setengah hari ke kota.

“Gus Mut mau berangkat, Cak.”

“Iya aku tahu, Mat. Aku akan mengantarnya.”

“Sampean mau mengantar ke mana?”

“Ke perbatasan desa saja…”

Cak Dlahom segera berdiri. Gus Mut ikut berdiri. Mat Piti dan Nody dan beberapa orang yang menunggu di teras rumah Mat Piti juga bersiap mengantar Gus Mut. Di tengah jalan yang berbatu dan berdebu, yang menjauh dari pinggir kampung, beberapa orang sibuk menanyai Gus Mut. Hingga mereka mulai menapaki jalan yang menuju ke hutan kampung di sebelah sungai yang cukup besar, mereka tidak menyadari keberadaan Cak Dlahom.

Sejak dari rumah Mat Piti, dia memang berjalan paling belakang sambil seperti biasanya, cekikikan sendirian. “Loh Cak Dlahom mana?” seseorang berteriak ketika menyadari ketiadaan Cak Dlahom.

Orang-orang berhenti berjalan. Mat Piti segera berlari kecil ke belakang. Gus Mut dan Nody mengikutinya. Orang-orang akhirnya juga mengikuti. Mereka menemukan Cak Dlahom kira-kira 500 meter dari tempat mereka berhenti. Duduk bersila di depan batu besar di pinggir kali.

“Waduh, Cak, sampean tak kira ke mana?” Mat Piti menegur Cak Dlahom.

“Aku di sini, Mat.”

“Ya saya tahu, tapi kita kan mau mengantar Gus Mut?”

“Iya aku tahu. Aku juga mau mengantarnya.”

“Lah terus kenapa sampean berhenti di sini? Masih jauh loh, Cak.”

“Aku diberhentkan oleh batu ini, Mat.”

“Oalah, Cak, batu itu kan sudah ada sejak dulu.”

Batu besar yang ditunjuk Cak Dlahom adalah batu yang terkenal di kampung. Batu kali besar berwarna hitam pekat. Ukurannya lebih besar dari gubuk yang pernah ditinggali Cak Dlahom. Posisinya berada setengah di kali, setengah di jalan. Orang-orang kampung menyebutnya sebagai batu setengah.

“Aku tahu, Mat, batu ini sudah ada sejak dulu…”

“Lah, iya, terus kenapa sampean berdiri di situ?”

“Batu itu yang minta aku berhenti.”

“Sampean itu loh gitu terus… Batu ya batu, Cak, masak bisa ngomong?”

Cak Dlahom diam. Selama berbicara dengan Mat Piti, dia tak menoleh ke arah Mat Piti dan orang-orang yang mengelilinginya. Pandangannya terus ke batu . Gus Mut yang penasaran memberanikan bertanya.

“Apa kata batu itu, Cak?”

Cak Dlahom menoleh pada Gus Mut. Dia tersenyum. Senyum Cak Dlahom paling manis yang pernah dilihat Gus Mut.

“Batu ini tadi bertanya, aku hendak ke mana. Aku menjawab, hendak mengantarmu pulang.”

“Terus, Cak?” Busairi, penjaga masjid mulai berani bertanya.

“Batu itu menjawab, enak jadi manusia. Bisa jalan-jalan. Sementara dia hanya terus terpantek, menjaga sungai.”

“Sampean lalu jawab apa, Cak?” Warkono, rekan Busairi di masjid, yang mendengar Busairi berani bertanya, ikut-ikutan bertanya.

“Ya aku jawab, ‘ya jadilah kamu manusia batu’, tapi ia tak mau. Kata batu, ‘Maafkan aku manusia, aku tak mampu jadi manusia. Aku tak sanggup. Aku memang batu, tapi aku kalah keras dibanding hatimu’.”

Mendadak suasana menjadi sepi. Tak ada lagi orang yang bertanya. Cak Dlahom yang semula mesam-mesem juga mulai terlihat dengan wajah serius. Satu-dua buliran air tampak keluar dari sudut-sudut di matanya. Dia terisak.

“Aku malu sama batu ini, Mat. Dia setia jadi batu. Menjaga amanat Allah di pinggir kali. Sementara aku…”

“Lah iya masak batu harus jadi manusia, Cak?”

“Memang tidak mungkin, Mat. Karena itu, aku bilang batu ini setia. Konsisten. Istikamah sebagai batu. Justru manusia yang tidak konsisten, karena bahkan hatinya kemudian mereka ubah menjadi batu. Menjadi keras.”

“Keras gimana, Cak?”

“Ya keras, Mat. Dan kerasnya hati manusia bisa lebih keras dari kerasnya batu.”

Cak Dlahom masih terus terisak. Gus Mut mencoba bertanya.

“Kenapa hati manusia bisa jadi keras, Cak?”

“Karena sering berdusta dan tidak amanat. Pendendam dan jarang meminta maaf. Dengki dan kikir.”

Cak Dlahom masih terus terisak. Mat Piti berinisiatif menyuruh orang-orang agar segera mengantar Gus Mut sementara dia akan menemani Cak Dlahom, tapi Gus Mut menolak. Dia bahkan setuju untuk tidak pulang kampung. Orang-orang juga setuju.

“Maaf, Gus, aku merepotkanmu…” kata Cak Dlahom.

“Tidak, Cak, saya yang merepotkan. Saya minta maaf.”

“Aku hanya bisa memberimu ini…”

Cak Dlahom memberikan batu kecil pada Gus Mut. Orang-orang yang melihat agak sedikit kaget tapi Gus Mut menerima batu itu dan mengantonginya.

“Mudah-mudahan kamu selalu ingat, bahwa bahkan batu tak sanggup jadi manusia karena merasa kalah keras dibanding hati manusia.”

Hari itu, Gus Mut tak jadi berangkat pulang kampung. Dia dan orang-orang kampung yang hendak mengantarnya, pagi itu malah ikut duduk bersila di dekat Cak Dlahom. Mereka memandangi batu batu yang posisinya berada setengah di kali, setengah di jalan. Batu hitam itu memang sungguh besar.

Exit mobile version