Di luar hiruk-pikuk komentar tentang foto Ibu Megawati dan Cucu Bung Karno yang kini jadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, yang nyempil di tengah para kepala negara dalam napak tilas Konferensi Asia Afrika di Bandung pekan lalu, sebenarnya ada kabar kurang asik buat para pecinta musik asli Indonesia. Raja Dangdut—yang sukses membawa dawai-dawai asmara berkelana hingga dibuatkan museum khusus di Washington DC—dijadikan obyek euforia politik untuk kesekian kalinya.
Mungkin kalau darah muda sang Ksatria Bergitar itu masih bergolak, dia bakal begadang ke Binaria memainkan melodi cinta sambil teriak “Sungguh ter-la-lu!” lantaran di-PHP untuk kesekian kalinya oleh para politis negeri ini. Iya, beliau pernah gigit jari karena gagal menggapai matahari setelah digadang-gadang Cak Imin jadi Capres Partai Kebangkitan Bangsa. Habis mutung beliau lalu dijanjikan jatah menteri oleh Capres-cawapres Prabowo-Hatta, sampai-sampai bikin lagu khusus buat pasangan gagah itu. Sialnya, (atau malah untung? Siapa tahu?) pasangan calon yang didukungnya akhirnya kalah di ajang pilpres.
Pekan lalu, seolah dianggap “kurang garam” dalam berpolitik, Bang Haji Raden Oma Irama dijual diusung pula jadi Calon Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Sungguh sebuah pengorbanan yang luar biasa dari Bang Haji. Pengabdian si Jaka Swara dengan nada dan dakwah yang telah dilakukannya sejak zaman Orkes Melayu sampai era pelarangan mirasantika seakan dianggap nihil, cuma dijadikan ajang promosi partai belaka. Para bujangan yang suka begadang seperti Gus Mul mungkin mafhum, bahwa wacana pencalonan Mantan Pacar Ani itu hanya lelucon syahdu belaka. Ibarat bermain judi di taman suram tanpa bunga! Abahnya Ridho itu dibuat penasaran setengah mampus terhadap dunia politik pasca reformasi. Sayang, nalar politik Bang Haji tak setua gitar tuanya.
Punggawa utama grup Soneta itu santai saja masuk arena Muktamar IV PBB, diajak main drama adu domba persaingan dengan pengacara Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie; Yusril Ihza Mahendra. Yah, jadi ketua umum partai politik itu memang setara dengan berpacaran dengan janda kembang—artinya, itu merupakan sebuah hak asasi. Tapi mbok ya Bang Haji sadar diri gitu lhoh: politik itu tak cukup hanya dengan perjuangan dan doa, tapi juga butuh kelihaian buat tipu-tipu.
Pengalaman pernah dijanjikan jadi calon presiden, diiming-imingi jadi menteri seharusnya jadi pelajaran penting. Biar gak mirip gali lobang tutup lobang, terperosok melulu di lobang yang sama. Sebab sebagian besar politisi di negara tercinta ini bukanlah pengamal doktrin platonik yang memaknai demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kehendak penyejahteraan rakyat, melainkan penganut ajaran Imam Nicollo Machiavelli yang menganjurkan penghalalan segala cara demi meraih kuasa.
Sebagai simbol kemachoan lelaki nusantara, yang dipuja-puja para bunga desa dengan kemilau cinta di langit jingga, tak selayaknya peraih gelar Profesor Honoris Causa dalam bidang musik dari Northern California Global University dan American University of Hawaii itu harus kehilangan tongkat kharismanya sehingga jadi bahan meme-meme lucu di setiap momen pemilu. Ah, politik memang kejam, Bang Haji. Sudah lagunya diwakafkan buat para pengamen dan penyanyi organ di seluruh pelosok negeri tanpa royalti yang jelas, namanya pun dicatut berkali-kali di ranah politik.
Bahkan menjelang Pemilukada serentak sepanjang 2015 sampai 2017 nanti, nama si empunya terajana itu sudah dijual oleh pengacara Eyang Subur—yang konon mau nyalon gubernur DKI Jakarta. Mungkin Bang Haji perlu kembali merenung dalam nada agar bisa merebut rekor pencipta seribu lagu fenomenal. Percayalah, kami selalu setia menanti melodi cinta Bang Haji yang tak pernah gagal menghadirkan malam-malam gembira tanpa harus terjebak dalam dosa-dosa yang haram. Saya kuatir, kalau idolanya terus-terusan dieksploitasi, dibohongi, lama-lama para fanboy Bang Haji macam Muhidin M Dahlan dan Mahfud Ikhwan bisa stres seperti ratusan caleg gagal. Stres? Obatnya iman dan taqwa.