Tentang Bakar-bakar Buku: Curhat Seorang Mamah Muda

Tentang Bakar-bakar Buku: Curhat Seorang Mamah Muda

Tentang Bakar-bakar Buku: Curhat Seorang Mamah Muda

Halo semua, sudah ngopi? Kalau belum, mbok ngopi dulu. Daripada nanti ngantuk saat rapat, kerekam TV pula, abis itu jadi ketua umum partai deh. Kok enak yaaaa. Ya, namanya orang beruntung memang selalu ada, kamu aja yang sering apes dan menderita.

Selain perihal si Bapak yang beruntung itu, akhir-akhir ini linimasa saya riuh dengan berita dan perbincangan seputar acara bakar-bakar. Kalau yang dibakar sate, atau kenangan mantan yang makin lama makin terlihat mapan dan tampan, saya sih ikhlas. Lha tapi kok ini acara bakar-bakar buku, yang diawali dengan sweeping beberapa toko buku terduga penjual buku-buku beraliran “kiri”.

Sungguh, sampai saat ini pun saya belum paham definisi “kiri” yang dipakai para aparat tersebut. Selama ini saya hanya tahu saat naik motor, sein kiri yang berarti belok kanan, eh, belok kiri. Duh, tolong jangan langsung menghakimi. Kan ibu-ibu rentan lupa. Tuh, nyatanya Bu Nunun Nurbaety aja bisa lupa di persidangan.

Apapun definisi “kiri” menurut bapak-bapak aparat sekalian, menurut saya kok tetap tidak bijak ya membakar buku. Sedih lho, saat peringkat literasi negara tercinta kita ini nomor 60 dari 61 negara yang disurvei, lha kok malah ada acara bakar-bakar buku segala.

Sebagai jamaah Mahmud Abas (Mamah Muda Anak Baru Satu) pemuja Mas Iqbal Aji Daryono, saya tentunya selalu berusaha mengikuti tips-tips parenting dari para pakar. Salah satu tips yang sering digaung-gaungkan adalah bagaimana cara menumbuhkan minat baca anak sedini mungkin. Demi mewujudkan itu, saya dan banyak mahmud Indonesia lainnya rela memotong budget perawatan ke salon agar bisa membelikan buku dan bahan bacaan bermutu bagi anak-anak kami.

Tau nggak sih pak, bu, ada buku lokal yang harga satu set-nya sampai 4 juta? Buku bocah, lho. Itu kan gaji suami sebulan, kalau sudah begitu, solusi terbaik bagi kami ya ikut arisan. Iya, arisan buku, bukan permata, berlian, apalagi arisan berondong. Padahal yang terakhir itu paling menggiurkan, lho. #eh

Alasan menumbuhkan minat baca anak itu juga membuat sebagian dari kami rela diet gadget. Pupus sudah keasyikan stalking akun mantan dan menyinyiri kecantikan mbak Dian Sastro. Kami harus ngumpet-ngumpet juga kalau mau lihat-lihat koleksi terbaru olshop langganan.  Semua demi apa? Sekali lagi, demi membelikan si kecil buku-buku yang bermutu sodara-sodara. Agar anak-anak kami kelak mencintai buku, sebagaimana kami mencintai diskon kosmetik dan aksesoris.

Bagi kami, itu adalah sumbangsih penting para mamah muda untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Mangkanya saya gedek setengah mati kala tahu ada pejabat perpustakaan nasional yang setuju dengan acara bakar-bakar buku. Plincess pucing pak, dengkul nyut-nyutan, udah nggak bisa lagi maju-mundur cantik kayak Teteh Syahrini. Lha gimana nggak gedek coba? Saat kami mencoba berjuang meningkatkan minat baca, Ealah si Pak Pejabat justru enteng saja mendukung pemberangusan buku bacaan. Kan bedebah namanya.

Dan saya juga heran, kenapa bapak-bapak aparat harus takut dengan buku-buku yang dianggap “kiri”. Kata teman-teman saya, buku-buku model begituan tuh njlimet. Bacanya harus pake mikir. Hanya orang-orang heitz sekelas Arman Dhani dan Eddward S. Kennedy yang sanggup membacanya. Lha orang-orang jenis begitu tentu pinter-pinter, kritis, nggak akan menelan bulat-bulat isi buku kalau nggak ada data yang akurat. Mereka pasti bukan golongan pemuda yang diserukan untuk belajar sejarah oleh Tere Liye.

Nah, ketika pemikiran-pemikiran kritis dibatasi, mau ke mana arah selera baca bangsa ini. Saya sudah cukup sedih, melihat rak-rak buku berlabel best seller di toko-toko buku besar diisi oleh buku-buku kumpulan twit galau atau kumpulan cerita lucu yang demi apapun saya tak tahu di mana letak lucunya.

Jadi, Wahai kalian yang mendukung pemberangusan buku, tolong, hargailah buku, karena ia adalah produk peradaban. Jangan asal sikat. Buku apapun itu. Ya silakan saja kalau mau disita atau dibakar, tetapi setidaknya, per eksemplarnya harus tetap dibayar.

Berani bakar tapi nggak berani bayar. Sampaaaaaah.

Exit mobile version