MOJOK.CO – Gara-gara pidato Bahasa Inggris Jokowi, bukan tidak mungkin suatu saat nanti muncul istilah Javanese English untuk gaya Bahasa Inggris yang medok abis.
Kalau Anda pulang kantor—kalau tidak berkantor, sempatkanlah berkeliling atau googling saja—perhatikan spanduk dan baliho iklan kursus-kursus Bahasa Inggris. Akan Anda temui, mereka umumnya memakai gambar native speaker (penutur asli) alias bule.
Itu lho, mereka yang hidungnya mancung, rambutnya pirang, kulitnya putih. Yah tidak salah sih untuk menarik peminat. Sampul buku teks Bahasa Inggris pada zaman SD sampai kuliah pun selalu disertai dengan gambar bule atau gambar bendera Inggris atau Amrik.
Semuanya sah-sah saja sebagai strategi marketing. Yang keliru kalau mengukur Bahasa Inggris seseorang dengan standar nativelike. Apalagi menjadikan Bahasa Inggris sebagai indikator kualitas seorang presiden atau seorang capres/cawapres. Duh, bukan cuma ketahuan kalau kurang baca undang-undang tentang syarat-syarat capres dan cawapres tetapi juga tidak mengikuti tren Bahasa Inggris.
Ya harus diakui memang, Bahasa Inggris selalu punya gengsi dalam masyarakat global, terutama di Indonesia. Bahasa Inggris yang menjadi salah satu bahasa utama internasional seturut tak lepas dari kolonialisme pada masa lalu. Bahasa Inggris menyebar dan menjadi lingua franca (bahasa perantara) karena pengaruh politik terutama setelah Inggris dan Amrik menang pada Perang Dunia II.
Seandainya saja Jerman yang menang Perang Dunia II dan telah menjelajah sambil menjajah ke berbagai belahan lebih dahulu daripada Inggris, bisa jadi Bahasa Jerman yang jadi bahasa utama internasional. Yah, secara kebetulan saja Bahasa Inggris jadi bahasa internasional karena dosa sejarah masa lalu mereka.
Seiring dengan realitas tersebut, Bahasa Inggris berkembang dan diajarkan secara sistematis dan terstruktur melalui pendidikan. Tetapi toh pendidikan juga tak pernah lepas dari agenda politik. Dalam perkembangannya Bahasa Inggris diajarkan dengan beberapa metode. Metode mula-mula tak lepas dari pengaruh—lagi-lagi—Perang Dunia II. Dipengaruhi oleh kebutuhan militer, berkembanglah Grammar-Translation Method (GTM)—bukan CTM yah, itu mah obat gatal lokal.
Pada metode ini, Bahasa Inggris diajarkan dengan fokus pada struktur kalimat sesuai standar American English. Grammar atau tata bahasanya harus sempurna. Jika grammar-nya salah, maka akan diketawain. Anggapan pengajaran Bahasa Inggris seperti ini masih terpelihara sampai ini. Masih banyak guru Bahasa Inggris yang sibuk mencecoki siswa dengan 16 rumus tenses. Siswa sibuk menghafal 16 jenis rumus S+V+O+C dan bla-bla-bla lainnya.
Selama ini, penekanan secara ketat pada grammar juga berlaku pada pengucapan alias pronunciation. Standar pengucapan didasarkan pada aksen American English, British English, atau Australian English.
Siswa atau mereka yang salah pengucapan akan menjadi bahan tertawaan. Tak sedikit siswa yang sebenarnya antusias belajar Bahasa Inggris tetapi malu jika pengucapannya tidak tepat alias tidak seperti penutur asli.
Hal ini ternyata terjadi juga dengan Jokowi yang pronunciation–nya jelas-jelas tidak seperti penutur asli dan selalu jadi bahan olok-olokan netizen yang mahapintar. Apalagi akhir-akhir ini tersebar juga video Sandiaga Uno yang sedang berbicara dalam Bahasa Inggris dengan lancar. Ya maklum sih, S1 dan S2-nya Bang Sandi kan di Amrik, bakalan aneh tentu kalau beliau tidak lancar berbahasa Inggris. Tentu ini poin bagus dan nilai lebih dari sosok Bang Sandi.
Hanya saja beberapa orang membandingkan dan mengukur seorang pemimpin negara dari kecapakan berbahasa Inggris. Video Jokowi saat Bahasa Inggris pun sering disandingkan dengan Sandiaga Uno atau Prabowo. Tujuannya? Ya untuk menjatuhkan orang-orang yang nggak jago Bahasa Inggris kayak Jokowi tentu saja.
Bahasa Inggris Jokowi harus diakui tidak selancar Prabowo-Sandi, dan ini adalah fakta yang kemudian jadi bahan ejekan yang oke punya. Ditambah dengan ketidaksempurnaan pronunciation–nya yang ada aksen Jawa-nya. Wah, makin komplet sudah kesalahannya.
Bukan bermaksud membela Jokowi sebenarnya, tapi saya pikir pada zaman sekarang tidaklah lagi relevan mengukur kapasitas seorang pemimpin hanya cukup dari kecapakan Bahasa Inggris saja—apalagi hanya bersandar pada pronunciation–nya yang ambyar.
Jadi siapa saja, mau itu Habib Rizieq atau Mardani Ali Sera, kalau pronunciation Bahasa Inggrisnya jelek dan disangkutpautkan dengan kemampuan mereka di bidang lain, saya tidak akan sungkan untuk membela juga.
Persoalannya, yang belakangan ini muncul adalah video-video pidato Jokowi dalam Bahasa Inggris yang sudah diedit dan disebar melalui jagat maya. Penyebaran yang bertujuan untuk menunjukkan betapa nggak mahirnya Bahasa Inggris seorang Presiden. Oke deh, harus diakui, pronunciation-nya Jokowi memang kebanyakan izhar. Dibaca terlalu jelas. Nggak terlalu oke di telinga orang-orang yang sehari-hari nonton film-film barat.
Netizen memang tidak salah-salah amat juga sih. Apalagi jika mereka adalah produk sistem pengajaran Bahasa Inggris zaman old dengan Metode GTM misalnya. Tetapi jika yang mem-bully adalah anak jaman now, saya jadi heran kenapa pikirannya masih zaman old? Apalagi jika yang bersangkutan merupakan seorang mahasiswa atau alumni Jurusan Bahasa Inggris.
Bahasa Inggris pada perkembangannya saat ini, tidak lagi dapat disandarkan secara sepenuhnya pada standar ini dan itu. Standar Amrik atau British. Standarisasi Bahasa Inggris kini bukan lagi pakem satu dua negara itu saja. Pada zaman sekarang, Bahasa Inggris sebagai bahasa global adalah milik mereka yang menuturkannya tanpa harus terjebak pada standar tanah kelahiran bahasa aslinya
Tidak mengherankan jika kini ada Singlish (Singapore English), India English, Malaysia English, dan Japanese English. Bahasa Inggris dipakai dengan dipengaruhi bahasa dan kebudayaan tempat bahasa itu dituturkan. Sebab, ya Bahasa Inggris sekarang sudah jadi milik dunia, milik semuanya, milik mereka yang menggunakannya. Bahkan mungkin—gara-gara Jokowi—muncul juga nanti suatu saat Javanese English.
Dalam praktiknya, Bahasa Inggris tidak harus seperti orang Amrik atau Inggris yang dari oroknya sudah terbiasa dengan Bahasa Inggris. Seorang anak Bojonegoro yang berbahasa Inggris tak lagi harus nativelike. Prof. Usha Lakshmanan, seorang Profesor Psikologi dan Linguistik di kampus saya, malah menyebut tak perlu mengajari anak Bahasa Inggris sejak dini hanya agar terlihat nativelike sementara bahasa daerahnya dibiarkan punah.
Douglas Brown, salah seorang Profesor TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) di San Fransisco State University, juga menekankan yang terpenting adalah pengucapan yang tidak ambigu dalam fonologi Bahasa Inggris. Pengucapannya jelas dan tidak bermakna ganda. Selebihnya tak perlu harus sempurna seperti penutur asli. Apalagi toh memang bukan penutur asli (non-native speaker).
Bahasa Inggris dalam fungsinya sebagai alat komunikasi juga tidak lagi menekankan pada sempurnanya grammar dan pengucapan. Penutur asli pun sering kali tidak sempurna kok grammar-nya. Sama halnya orang Indonesia yang kalimatnya tidak baku. Apalagi jika digabungkan dengan bahasa daerah. Seperti Makassar misalnya, yang merupakan bahasa ibu saya, yang kaya dengan sempilan seperti -na, -mi, -ki, dan seterusnya.
“Pergi mi makan.”
“Jangan ki lama.”
Sejak kapan ada Bahasa Indonesia standar seperti itu? Mau cari di kamus manapun tidak akan ada.
Pada poin ini, akhirnya yang terpenting adalah audiens mengerti dengan maksud pembicara. Apalagi di forum-forum internasional. Ada alat penerjemah dan interpreter jika maksudnya kurang jelas.
Oleh karena itu, saya pikir, mereka yang beranggapan berbahasa Inggris harus nativelike adalah mereka yang sudah ketinggalan zaman dan tidak mengikuti tren perkembangan Bahasa Inggris kekinian.
Bahasa Inggris kini tak lagi harus ikut dengan pronunciation orang Amrik atau Inggris agar jadi standar. Cukuplah muka kita saja yang standar, otak jangan sampai ikut-ikutan standar ya?