Mochtar Lubis, Manusia, Pengarang, dan Hati Nurani Bangsa

Mochtar Lubis, manusia, pengarang dan hati nurani bangsa

Mochtar Lubis, Manusia Pengarang, dan Hati Nurani Bangsa.

MOJOK.CO – Mochtar Lubis, pengarang cum jurnalis melalui esainya ini menuliskan tentang bagaimana pengarang yang bukan sekadar sebagai pengarang, tapi juga sebagai manusia yang bebas. Pengarang adalah gambaran dari hati nurani sebuah bangsa. Ia menyoroti negara-negara yang memenjarakan pengarang karena mempertahankan kebenaran dalam karya-karynya. Tulisan karya Mochtar Lubis ini dimuat di Horison No 04 Tahun I Oktober 1966.

Pengarang Sebagai Hati Nurani Bangsa

Oleh Mochtar Lubis

 

Boris Pasternak, pengarang Rusia yang hidup di Soviet Rusia dengan bukunya Dr Zhivago dan dengan perkembangan penerimaan dan penolakan Hadiah Nobelnya kembali, yang disusul dengan kutukan-kutukan terhadap dirinya oleh badan resmi totaliter komunis di seluruh dunia, merupakan sebuah contoh yang jelas, betapa sepi dan sunyinya kedudukan pengarang atau seniman yang sungguh-sunguh hendak mempertahankan kebebasan seninya.

Pengarang yang mempertahankan kebenaran, dan dengan mempertahankan kebenaran, ia berarti mempertahankan kemanusiaannya, dan dengan mempertahankan kemanusiaannya dia berarti bukan mempertahankan dirinya sendiri sebagai manusia, akan tetapi dia juga mempertahankan seluruh manusia lain, baik manusia-manusia yang termasuk ke dalam kelompok bangsanya, maupun manusia-manusia lain yang tersebar di seluruh dunia ini.

Karena seorang manusia tidak dapat hidup bermartabat sebagai manusia, kecuali kalau juga manusia-manusia lain dapat dengan martabat manusia. Manusia yang memperbudak manusia lain, yang melanggar hak-hak dan martabat manusia, adalah hakekatnya memperkosa kemanusiaan dirinya sendiri.

Dan jika dia terus berbuat ini, dan tidak merasakannya, malahan merasakan semacam kebanggaan diri atas perbuatannya ini, maka pada hakikatnya ia telah kehilangan kemanusiaannya. Ia tidak lagi dapat merasakan kehilangan kemanusiannya, karena ia telah berubah dari seorang manusia menjadi hewan yang hanya tubuhnya saja yang berwujud manusia.

 

“Pada hari pertama,

Timbul hasrat

Untuk bertemu dalam tjahaja matahari

Jang terakhir ditengah malam

Untuk berbitjara lama, lama sekali

Untuk achirnya berbitjara dengan terus terang

Tanpa bisik-bisik berahasia:

Tak ada jang buruk dapat terjadi !

Karena hasrat pada kebenaran

Dan pikiran jang djudjur”.

 

Dan sajak ini terus menjerit memberi peringatan pada:

 

“Djangan ada pikiran timbul,

Jang tidak diperintahkan setjara resmi

“Sebuah kebohongan, bertopeng sebagai hati, didjual

dengan kurang adjar

Kepada orang ramai, jang menjerah kepada kepalsuan…”

 

Sajak Kirsano ini, diterbitkan di dalam Novy Mir, sebelum pengawasan atas hasil-hasil kesusasteraan diperkeras kembali, menunjukkan dengan tegasnya, betapa di bawah resim yang paling totaliter sekalipun, pengarang ada yang tidak dapat menutup hati nuraninya sebagai manusia, dan yang juga merupakan hati nurani bangsanya.

Daftar pengarang-pengarang yang dengan segala risiko bangun menjadi hati nurani bangsa dalam masa perkosaan-perkosaan terhadap hak-hak dan nilai-nilai kemanusiaan oleh perkosaan-perkosaan totaliter yang kejam sekali dapat dibuat amat panjangnya.

Pengarang Tibor Dery, yang telah berusia 62 tahun, dan kini dipenjarakan seumur hidup oleh resim komunis Hongaria, pengarang cerita sandiwara Gyula Hay, penyair Zoltan Zelk, dan begitu banyak lagi yang lain, kini berada di dalam penjara, karena mereka tidak dapat dan tidak mau mendiamkan jeritan hati nurani bangsa dan menulis manusia yang berkobar di dalam dada mereka.

Pengarang-pengarang Ting Ling di RRT, pengarang roman yang masih muda, Wang Meng, termasuk di antara “beratus-ratus bunga yang dibiarkan berkembang” oleh Mao-Tse-tung dan yang kemudian harus dienyahkan dari kebun totaliter.

Pengarang-pengarang yang berhimpun di sekitar Po Prostu di Polandia yang menuntut lebih dihormatinya martabat manusia.

Berkata Marek Hlasko, salah seorang pengarang muda Polandia yang terkemuka, “Adalah suatu hal yang amat normal dalam dunia kaum politik dan pengarang di dalam negeri-negeri totaliter, bahwa kedudukan mereka adalah pada kutub-kutub yang bertentangan”.

Dan ketika ditanya, apakah menurut pikirannya sebuah negeri totaliter maka dia menjawab, “sebagai yang aku lihat sebuah negeri totaliter, melaksanakan sebuah ideologi tanpa hati nurani mengenai cara-cara dan jalan-jalannya.”

Daftar pengarang-pengarang yang mendukung hati nurani bangsanya masih dapat disambung lagi dengan nama-nama pengarang Spanyol dan Amerika Selatan yang sepanjang sejarah bangkit membongkar kepalsuan-kepalsuan penipu-penipu bangsa dan manusia.

Sebagai di negeri kita juga, maka di mana-mana di seluruh dunia kini impian manusia yang berlaku, ialah bahwa manusia berhak hidup bebas, berhak  hidup bermartabat manusia, berhak bebas dari kelaparan dan ketakutan, berhak bebas beragama, berhak bebas berpikir dan menyatakan pendapatnya, mempunyai kebebasan memilih, nilai-nilai dan hak-hak kemanusiaannya harus dihormati.

Negeri yang paling totaliter sekalipun mengakui prinsip-prinsip ini, tak ubahnya sebagai negeri-negeri liberal atau kapitalis, negeri-negeri yang berdasarkan agama, negeri-negeri demokrasi rakyat, negeri-negeri demokrasi terpimpin atau tidak terpimpin, semuanya dengan tidak ada kecualinya mengakui semua prinsip-prinsip yang mulia ini.

Akan tetapi tentu dalam prakteknya juga kelihatan perbedaan-perbedaannya. Dan di mana cara-cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut telah memperkosa hakiki tujuan-tujuan itu sendiri, atau di mana tujuan-tujuan tersebut hanya dipakai kedok untuk tujuan-tujuan yang lain sama sekali, maka pengarang dan seniman, sebagai pelopor pengucapan kebenaran masyarakatlah yang pertama-tama menjadi korban pertarungan dalam diri: antara tenaga yang merangsangnya untuk meneruskan pencarian kebenarannya, dengan daya “self-preservation-nya” (naluri menyelamatkan diri sendiri yang ada di dalam diri setiap manusia).

Jika daya perangsang mencari Kebenaran yang menang, maka pengarang memenuhi dharmanya sebagai manusia dan seniman, dan dia mungkin jadi pahlawan dan dapat mengecap kepahlawanannya, atau dia mungkin naik ketiang gantungan akan tetapi apapun juga yang tejadi dengan dirinya, dia telah memenangkan Kemanusiaannya, Seninya dan Kebenarannya, yang merupakan Kebenaran Manusia.

Jika yang kedua yang menang, maka biarpun Si Pengarang umpamanya mendapat hadiah-hadiah kedudukan yang terhormat, menjadi anggota majelis-majels yang tinggi-tinggi, mendapat rumah-rumah besar dan bitang-bintang kehormatan; ia pada hakikatanya telah kehilangan segala-galanya, bukan saja ia kehilangan seninya, kehilangan kebenaran manusianya, akan tetapi ia telah kehilangan Manusia-nya, karena ia telah menjual dirinya dan bersedia Manusianya diganti oleh yang berkuasa menjadi satu alat; ia lebih hina dari seorang perempuan lacur (yang masih dapat merasakan duka nestapa  manusia); tentang pengarang serupa ini orang tidak lagi dapat berkata sesuatu apa !

Pengarang-pengarang  di negeri-negeri yang berkata hendak membangun sosialisme di dunia kita kini, seperti pengarang-pengarang Rusia, Hongaria, Polandia, dan sebagainya, itu bangun, dan membayangkan jeritan hati nurani bangsanya, karena melihat bahwa cara-cara yang dipakai mencapai tujuan tidak dapat dipisahkan satau dari yang lain.

Mereka melihat dan mengalami, baghwa sesuatu konsepsi totalitor tidak dapat dibatasi pada satu atau beberapa bidang penghidupan manusia dan bangsa saja. Sikap jiwa totaliter tak ubahnya sebagai raksasa yang laparnya tidak dapat dikenyangkan , dan harus menelan semuanya, dan akhirnya juga dirinya sendiri.

Sia-sialah untuk berpikir, bahwa bidang ekonomi dapat diatur secara totaliter, dan bahwa disamping ini dapat dijamin kebebasan pers, kebebasan bidang seni atau ilmu. Selangkah demi selangkah rahang raksasa pikiran-pikiran totaliter akan harus menelan dan menghancurkan kemerdekaan pers, kebebasan pengarang, kebebasan pelukis, kebebasan penyair, karena kebebasan-kebebasan ini selalu merupakan ancaman terhadap kekuasaan totaliter dan terhadap mitos-mitos palsu yang mesti dibangunkannya dan disebarkannya untuk mengelabui mata karya mengenai cara-cara dan tujuan-tujuannya supaya dia dapat berkuasa terus.

Semua ini telah terbukti. Tito harus memenjarakan Milovan Djilas, Mao Tse Tung terpaksa mengubah “kebun bunganya di mana ratusan bunga, dapat berkembang” dan hanya memanam ratusan bunga, tetapi satu jenis saja..

Vladimir Dedijer dai Yugoslavia telah menulis “……Sosialisme adalah sebuah masyarakat di mana tidak ada pemerasan manusia oleh manusia, di mana seorang individu bebas dari rantai negara, diaman dia sepenuhnya menikmati semua kebebasan ekonomi, sosial dan politik….”

Dan John Dewey dalam bukunya “Freedom and Culture” menulis:

“Jika ada suatu kesimpulan yang dapat diambil dari pengalaman manusia, maka kesimpulan itu ialah bahwa tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan bahwa pemakaian prosedur-prosedur besar-besaran secara paksa adalah penghianatan tehadap kebebasan manusia…….”

Sosialisme tak dapat dibina tanpa kebebasan Manusia, tanpa demokrasi sejati, tanpa persetujuan dan ikut sertanya rakyat dengan bebas.

“Tutuplah mulutmu”: engkau tidak menakuti aku lagi

Djangan terikakan lagi semboyan-semboyanmu.

Dan janji-janji bohongmu atas nama abad kita

Dan kembali engkau memakai cara-cara kekerasanmu

Dan menutup mukamu dengan kain buruk semboyan-semboyan tua

Engkau mencoba menghancurkan apa yang kami coba bangkunkan.

Sajak ini ditulis oleh penyair Gevork Emin, yang dimuat di dalam “Soviet Guakanutian,” majalan Persatuan Pengarang Republik Soviet Armenia, dan ditujukan kepada “seorang anggota tua partai”. Sebagai pengucapan hati nurani bangsanya, penyair ini patut dihormati keberaniannya dan kebenarannya.

Kebudayaan meliputi seluruh penghidupan manusia, seluruh bidang-bidang hidup jasmaniah dan rohaninya, dan pengarang menduduki tempat yang “perasa” sekali di dalam penghidupan kebudayaan ini.

Dimana pengarang telah menyerahkan diri pada teror, menjadi tidak perduli, dan mendukung sikap masa bodoh, dan apalagi jika dikuasai oleh daya perangsang menyelamatkan diri sendiri, maka kiranya tiba waktunya untuk membacakan “talkin” bagi bagsa yang ditimpa kemalangan dan nasib buruk itu.

Penulis: Mochtar Lubis

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Soemitro Djojohadikoesoemo: Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Asia Tenggara dan tulisannya di Rubrik ESAI.

Exit mobile version