Marco Kartodikromo: Sama Rasa dan Sama Rata

Marco Kartodikromo Sama Rasa dan Sama Rata

Mas Marco Kartodikromo

Mas Marco Kartodikromo adalah jurnalis dan penulis yang lewat karya-karyanya menyerang pemerintah kolonial Belanda. Ia belajar menjadi jurnalis dari RM Tirto Adhi Soerjo. Tulisannya yang keras membuatnya beberapa kali masuk bui. 

Salah satu esai legendarisnya Sama Rasa dan Sama Rata disalahpahami Orba sebagai kepunyaan kaum komunis. Padahal esai tersebut merupakan ungkapan realitas sosial saat itu. Karya Sama Rasa dan Sama Rata, ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo dalam tiga serial, ada yang berbentuk syair ada yang berbentuk esai. Berikut kami muat karyanya yang dalam bentuk esai. Selamat membaca. 

 

Sama Rasa dan Sama Rata

Oleh: Mas Marco Kartodikromo

 

Zuit rij nog langer ons vertrappen.

Uw h rt vereelien door het geld,

En, doof voor de elsch van recht en rede,

De zachtheld tergen toi geweld?

Dan zij d buff’I ons te………….. voor beeld,

Die aarreens me de hoornen wet,

Den wreeden oiijver in de lucht werpt

En met zijn lompen poot verplet.

Dan schroele de oorlogavlam Uw velden,

Dan roll’ de wraak langs berg en dal,

Dan stijg’ de rook uit Uw paleizen,

Dan iriil’ de lucht van’t moordgeschal. 

Tulisan di atas itu saya kutip dari buku-buku Max Havelaar, yaitu nasihatnya Sentot Alibasah Prawirodirjo kepa­da Belanda. Tentu tuan pembaca sudah banyak yang mengetahui, siapakah Sentot itu? Yaitu jagonya Pangeran Diponegoro waktu melawan Belanda. Kurang lebih tulisannya itu begini: 

“Apakah kamu masih terus menginjak kita? Sebab kamu sudah tidak memikirkan keadilan karena kamu memuaskan hawa nafsumu buat menuang, sudah barang tentu adat itu yang harus berganti menjadi kasar, dan akhirnya kita akan memaksa kepada kamu.” 

Kita kuhandaikan menjadi kerbau, kamu yang menjadi pengembalanya, dari sebab tabiatmu yang keji kamu lakukan kepada kita orang itu, tentu kamu kita kasih ma­kanan sungu (tanduk) kita, dan kita lemparkan ke atas. Kalau kamu sudah jatuh kita kasih makanan pula dengan kaki kita. 

Disitulah waktunya api peperangan menjalar, di gunung-gunung dan desa-desa orang melawan kamu dengan mati-matian ini api akan membakar rumahmu juga, sudah tentu bermiliun-miliun orang yang akan bekeiat mati-matian.” 

Tidak saja ini waktu hati kita Bumiputra sama merasa panas lantaran laku SAWENANG-WENANG yang dijalankan oleh bangsa Belanda, tetapi zaman dulu waktu saya belum terlahir di dunia, darahnya bangsa kita sudah lama mendidih. Cuma saya ada berlainan sedikit, dulunya orang-orang bangsa kita masih sama mempunyai kemanusiaan, tetapi orang sekarang itu kemanusia’annya tak habis dimakan wedon. 

Kalau saya pikir, cepama dulu SENTOT tidak berani perang guna merebut keadilan, tentu dia juga sudah mati, tetapi kematian serupa itu boleh dikata mati yang tidak berarti, yaitu seperti kematiannya yang ter­lalu bagus sayapnya, dan saban hari makan madu dari bunga-bunga yang harum-harum, serenta dia sudah ma­ti, nyawanya telanjang tidak keruan, badannya dimakan semut atau dimakan ayam. 

Ingatlah saudara-saudara kita yang sana hidup didalam abad yang kedua puluh ini tentu tidak bisa mengetahui tahun 2000. Apakah yang mesti kita orang kerjakan di antara tahun 1918 sampai tahun 2000 itu? Apakah kita orang mesti hidup seperti kupu yang saya sehat di atas itu? Kesal!

Ini waktu kita masih disebut orang di Jawa, tetapi kalau kita tidak menjaga betul tanah dan bangsa kita, boleh jadi itu sesenoetan orang Jawa tidak bisa dipakai cucu kita karena itulah sudah sama pergi ke lain negeri buat mencari nasi sesuap guna mengisi perutnya, alias masuk orang kuntract ke Amerika (Suriname) enz. 

Kalau betul bahaya ini menyerang di tanah kita, sudah tentu tidak bangsa kaum desa saja yang terserang, tetapi kaum Ning­rat akan terserang juga, lantaran kaum Kromo dan kaum Ningrat itu sudah sama hilang dari tanah airnya, sudah tentu orang-orang asing yang sama menduduki tanah kita ini, dari itu kalau kita menjaga, supaya anak cucu kita tidak diserang itu, seharusnya kita orang Bumiputra dari kaum Kromo sampai kaum Ningrat sama bersatu hati, bersama-sama menuju ke tempat yang orang maksudkan dan enz.

Kalau kita bisa melakukan hal-hal itu, tentu akhirnya apabila kita sudah masuk di liang kubur, tentor anak cucu kita tiap-tiap hari raya atau hari yang baik, mereka itu sama datang di kubur kita buat menyebar bunga-bu­nga yang harum baunya atau membakar dupa, yaitu buat tanda kecintaannya kepada kita orang, tetapi kalau kita sekarang ini tidak awas, dan tidak berani melawan penjakit-penjakit yang berbahaya itu, anak cucu kita akhirnya mencaci maki kepada kita orang, seban dia orang hidupnya cuma jadi orang kontract yang tidak mempunyai tanah lagi. 

Ingatlah saudara-saudara: PERCAYA dan BERANI itulah senjata kita.

 

Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di koran Sinar Hindia, 23 Mei 1918, Taon ke-19. Dimuat kembali di buku yang dikompilasi Agung Dwi Hartanto, Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo: Pemikiran, Tindakan, dan Perlawanan (I:BOEKOE, 2008, hlm. 636-638)

 

Penulis: Mas Marco Kartodikromo

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA H.O.S Tjokroaminoto Soroti Peran Kepala Desa 106 Tahun yang Lalu dan Arsip lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version