MOJOK.CO – Esai panjang “Islam Sebagai Dasar Negara” ini disampaikan Mohammad Natsir pertama kali di mimbar Sidang Konstituante pada 1956 dan dimuat kembali dalam risalah dan staatblad berjudul Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante (1958, Buku I, hlm111—141).
Mohmmad Natsir merupakan Perdana Menteri Ke-5 RI yang juga dikenal sebagai politikus sekaligus ulama, pendiri Partai Masyumi.
Islam sebagai Dasar Negara
Oleh Mohammad Natsir
Sebelum kita membahas masalah dasar negara, marilah kita mulai dengan pertanyaan, apakah negara itu?
Orang-orang komunis mengharap agar negara itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai. Orang-orang anarkis ingin menghapuskan negara selekas mungkin. Kita umat Islam berpendirian harus memelihara negara selama manusia ada di dunia.
Apa, yang dimaksud dengan “negara’, atau yang dalam bahasa Inggris disebut “state”? Ibnu Chaldun, Machiavelli, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen, bahkan Plato, Agustinus, Hobbes dan Rousseau, dan yang lain-lain, mempunyai pandangan yang bermacam-macam tentang negara.
Mengingat banyaknya tafsiran tentang negara, maka perlu terlebih dahulu memberi batasan dalam menjelaskan arti “negara”, itu dengan mengemukakan sifat-sifat ataupun elemen-elemen yang terkandung dalam satu negara.
Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution dalam pengertian umum adalah suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh umum.
Sebagai contoh, adalah institution perkawinan kita. Pada waktu melakukan perkawinan, kita mempunyai perlengkapan dan kepanitiaan untuk melaksanakan perkawinan kita. Selain itu, kita mempunyai alat-alat material seperti gedung, Masjid, alat-alat administrasi, dan lain-lain. Kita juga mempunyai sarana-sarana lain untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang akan diundang dalam pernikahan itu. Selain dari itu, tujuan dari perkawinan itu adalah berdasarkan atas paham hidup tertentu. Semua itu merupakan apa yang dimaksudkan dengan “institution”.
Dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institution, seperti institution pendidikan, ekonomi, agama, politik, keluarga, lingkungan pergaulan, perdagangan dan lain sebagainya. Singkatnya, institution ini merupakan bagian organisasi-organisasi hidup dalam rangka badan hidup yang besar. Tetapi institution itu mempunyai daerah gerak tertentu, mempunyai keanggotaan, dan mempunyai kedaulatan atas anggotanya. Ada nilai-nilai atau norma-norma institution tersebut yang dianggap berdaulat oleh anggota-anggotanya, walaupun tidak tertulis. Pelanggaran terhadap norma-norma ini ada kalanya diikuti oleh sangsi-sangsi tertentu.
Institution adalah suatu badan atau organisasi-organisasi yang mempunyai syarat-syarat, a) bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di bidang jasmani maupun rohani, b) diakui oleh masyarakat, c) mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan, d) mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu, e) berdasarkan atas faham hidup, f) mempunyai kedaulatan atas anggotanya, i) memberikan hukuman terhadap setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.
Oleh karena itu, negara sebagai institution, juga mempunyai: wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan dan undang-undang dasar atau sumber hukum dan aturan-aturan lain yang tidak tertulis.
Dengan kedudukannya itu, maka institution memiliki cakupan sebagai berikut: 1) meliputi seluruh masyarakat dan segala institution yang terdapat di dalamnya, 2) mengikat ataupun mempersatukan institution-institution itu dalam suatu peraturan hukum, 3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat, 4) memiliki hak untuk memaksa anggotanya mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ditentukan olehnya, 5) mempunyai tujuan untuk memimpin, memberi bimbingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka benar dan tepat apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa arti negara bagi masyarakat, seperti bentuk (form) terhadap benda (matter) atau jauhar, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan.
Nyatalah bagi kita bahwa negara itu harus memiliki akar yang tertanam kuat dalam masyarakat. Oleh karena itu dasar negara pun harus suatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang jelas dan dapat dipahami. Pendek kata, yang menyusun hidup sehari-hari bagi rakyat, baik secara perorangan maupun secara kolektif.
Dengan demikian, maka dalam menyusun sebuah undang-undang dasar bagi negara kita, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlu bertolak dari pokok-pokok pikiran yang pasti, yaitu bahwa undang-undang dasar negara kita harus bisa menjamin bahwa negara kita memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat yang hidup di dalamnya. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negara kita.
Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terumbang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang kokoh.
Alasan yang Melanggar Prinsip Demokrasi
Apabila kita mempelajari hasil pekerjaan Komisi I tentang dasar negara dalam PPK yang sudah kita miliki bersama, dengan sepintas lalu saja sudah jelas terdapat hal yang menggembirakan, yaitu bahwa semua golongan dan aliran, tanpa kecuali, menghendaki berdirinya negara kita di atas dasar demokrasi.
Demokrasi merupakan dasar hidup yang kuat dalam hati seluruh bangsa Indonesia. Ini patut kita syukuri.
Ada tiga dasar yang telah dikemukakan oleh Komisi I, yang diajukan sebagai dasar negara, yaitu Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi.
Kewajiban saya dan kawan-kawan dari Fraksi Masyumi adalah untuk menyampaikan pendirian kami ke depan sidang pleno yang terhormat, dengan cara lebih luas dan mendalam dari apa yang sudah kami sampaikan dalam komisi dan PPK, yakni bahwa keinginan kami, sebagaimana telah diketahui bersama, supaya negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam, Negara demokrasi berdasarkan Islam.
Sebelum saya menguraikan pendirian kami tersebut, izinkanlah terlebih dahulu saya menguraikan satu dasar berpikir dan argumentasi dari pihak-pihak yang berlainan pendapat dengan kami, yakni yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara.
Tidak pelak lagi, bahwa landasan berpikir yang dipakai oleh pihak yang mengajukan dasar negara Pancasila dengan demokrasi. Tapi argumentasi yang dikemukakan, kalau dicermati lebih dalam, ternyata tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Di sini kita berhadapan dengan semacam paradoks. Perlu juga saya kemukakan sebagai contoh.
Diantara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal adalah bahwa golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (mayority), kemudian golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari mayority dijamin hak-haknya dalam masyarakat.
Konsekuensi dari prinsip demokrasi itu, jika dipakai untuk membentuk suatu negara, tidak bisa lain adalah bahwa negara itu harus mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup, terutama falsafah hidup sebagian besar rakyatnya. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut juga memberi ruang hidup bagi golongan yang memiliki pendapat berbeda dengan mayoritas.
Kedua prinsip tersebut saling berkaitan, yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain, sehingga apabila hanya satu saja yang dipakai, baik yang pertama maupun yang kedua, maka itu bukan demokrasi lagi, tetapi diktator, atau tirani, atau oligarki.
Anehnya selama ini banyak orang yang mengecam Islam seolah-olah Islam bertentangan dengan demokrasi.
“Jangan dipakai Islam sebagai dasar negara, sebab Islam itu dalam satu paham-hidup yang didukung hanya oleh satu golongan di Indonesia ini. Sedangkan di Indonesia ada pula golongan lain yang bukan Islam.” Demikian inti dari alasan-alasan yang sering dikemukakan itu.
Penolakan itu didasarkan, bukan kepada penilaian isi dan paham hidup Islam. Bukan pula didasarkan kepada masalah berakar atau tidaknya paham hidup itu dalam jiwa rakyat yang terbentang yang diakuinya sebagai mayoritas masyarakat Indonesia. Akan tetapi penilaian itu didasarkan karena paham itu hanya dimiliki oleh satu golongan, tidak dimiliki oleh semua golongan.
Kami berpendapat bahwa alasan penolakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Alasan tersebut juga tidak akan efektif. Sebab, bagaimana seandainya pihak Islam yang paham hidupnya ditolak untuk dijadikan dasar negara itu menjawab: Apa alasannya umat Islam harus menerima Pancasila yang sesungguhnya juga hanya dimiliki satu golongan saja, yang tidak mewakili golongan-golongan lain yang ada di Indonesia ini? Sebab, paham hidup kami, umat Islam tidak dijamin oleh Pancasila.
Dengan demikian perdebatan sebenarnya sudah cukup berhenti sampai di situ, dan tidak membuahkan hasil yang dikehendaki.
Begitulah, jika kita lebih suka mengelak dari persoalan, ketimbang berusaha memecahkannya. Jika kita “tidak mau repot”, maka alasan untuk mengemukakan Pancasila sebagai dasar negara itu adalah bahwa Pancasila dianggap sebagai “titik pertemuan” untuk semua golongan, yang aneka warna filsafat hidupnya, yang ateis maupun yang bukan ateis.
Selanjutnya saya bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “titik pertemuan” itu? Sebab, titik pertemuan di dalam urusan dasar negara, bukan sembarang titik pertemuan. Tetapi satu titik pertemuan di dalam meletakkan sendi-sendi bagi kehidupan negara dan bangsa. Bukan pula sekadar untuk beberapa waktu, akan tetapi untuk tempat duduk dan hidup bernaungnya anak cucu kita secara turun-temurun.
Maka apakah titik temu berupa Pancasila itu tidak hanya merupakan titik temu dalam kata-kata dan rumusan-rumusan ide belaka? Dan apakah orang-orang yang bertemu dalam Pancasila itu harus menerima sebagian-sebagian. Sebab, saya melihat ada golongan yang terang-terangan menolak sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi bersedia menerima Pancasila.
Apabila salah satu pihak, umpamanya pihak Islam, menolak ajakan untuk menerima Pancasila itu dengan alasan sebagaimana yang dipakai orang untuk menolak paham hidupnya, seringkali mereka dituduh “tidak mau bersatu”.
Saya khawatir bahwa dalam rangka menegakkan Pancasila sebagai “titik pertemuan” itu, bukan hanya prinsip demokrasi saja yang dikorbankan, tetapi juga mengorbankan salah satu paham hidup dari satu golongan yang terbesar di Indonesia ini, yaitu paham hidup yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, serta kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tidak diperhitungkan sama sekali rupanya berapa besar pengorbanan dari pihak yang diharuskan mengesampingkan pandangan hidup yang menjadi bagian seluruh jiwa raganya, dan menjadi sumber kekuatan dari mereka? Lalu itu semua harus diganti dengan suatu alternatif berupa perumusan dari serangkai ide-ide yang bisa ditafsirkan menurut kehendak masing-masing. Sedangkan bila mereka, umat Islam, membandingkan dengan ideologi yang sudah semenjak berpuluh-puluh keturunan menjadi pegangan hidup mereka, serangkaian ide yang ada dalam Pancasila tentu dirasakan hampa, tidak memiliki arti apa-apa bagi jiwa mereka. Orang yang memiliki ideologi yang satu tentu akan merasakan yang demikian itu.
Tiap-tiap ideologi itu bukan suatu rangkaian pikiran dan ide-ide, tetapi juga merupakan suatu perpaduan antara ide dan aliran-perasaan dengan gelombang-gelombang tertentu. Bahkan bukan hanya ideologi saja, pendapat biasa pun sudah mengandung dua unsur tadi (thought and attitude), yaitu unsur pikiran (fikrah) dan unsur sikap jiwa (aqidah) yang ada di belakangnya.
Hanya orang-orang yang tidak pernah merasakan satu ideologi dalam jiwa raganyalah yang tidak mampu menilai seberapa besar pengorbanan yang harus diberikannya.
Saudara-saudara, perlu saya jelaskan: Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia, yang menjadi alasan mengapa kami mengajukan Islam sebagai dasar negara.
Akan tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam tentang ketatanegaraan dan sosial masyarakat mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keragaman atas saling menghargai antar berbagai golongan dalam negara.
“Kalaupun besar tidak akan melanda. Kalaupun tinggi malah akan melindungi.”
Pancasila yang Sekular, Tanpa Agama
Di Indonesia, faham hidup yang menggerakkan jiwa rakyat Indonesia adalah agama. Dengan sendirinya asas negara kita harus berdasar agama, bukan suatu rangkaian berupa ide yang dianggap oleh masyarakat umum, sebagai Pancasila. Pancasila tidak dipercaya sebagai agama. Meskipun di dalamnya terumus “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” sumbernya adalah sekuler, la-diniyah, tanpa agama.
Sekuler, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Soekarno, bukan bersumber kepada salah satu wahyu Ilahi. Ia adalah, dan ternyata, hasil penggalian dari masyarakat Indonesia. Ia bukan satu pengakuan akan kedaulatan Tuhan dengan segala konsekuensinya atas yang mengakui dengan bentuk ketaatan kepada Hukum Ilahi yang positif. Ia hanyalah “rasa adanya Tuhan” tanpa wahyu, tanpa konsekuensi. Rasa adanya Tuhan, sebagai ciptaan manusia yang relatif, yang berganti-ganti.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas dari masalah tempatnya dalam urutan perumusan keima sila itu, yang sudah pasti ia tidak dianggap sebagai sumber dari empat sila yang lain. Ia tidak menjadi point of reference, tidak berkedudukan yang menentukan isi dari empat sila yang lain, karena ia sendiri tidak memiliki isi yang jelas. Ia relatif, boleh begini, boleh begitu, menurut selera masing-masing orang yang mau mengisinya, menurut ciptaan manusia berganti-ganti. Hubungannya dengan sila-sila yang lain, sebagaimana juga dengan hubungan antara sila yang satu dengan sila yang lainnya, tidak jelas. Lahirnya sila-sila itu pun tidak serentak, tetapi konon, satu demi satu, dan sila Ketuhanan datang menumpang paling belakang.
Bagaimana Pancasila itu akan mendapat tenaga penggerak jiwa bagi rakyat Indonesia yang juga sudah memiliki ideologi agama yang jelas dan meliputi jiwanya itu?
Ia tidak berkata-kata apa-apa terhadap jiwa rakyat beragama.
Ia tidak dapat mencerminkan apa yang hidup bergelora dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Maka, negara yang didasarkan kepada Pancasila yang jelas sudah demikian sifatnya itu, tidaklah dapat menjadi negara yang betul-betul mencukupi kebutuhan hidup rakyat Indonesia, tidak akan menjadi suatu negara yang dapat menjalankan fungsi yang sebenarnya, tidak akan menjadi negara sebagai satu institution, yang akar-akarnya nyata terhujan dalam sanubari bangsa Indonesia.
Oleh pendukungnya sendiri Pancasila itu dianggap tidak lebih dari “titik pertemuan” atau “gemene-deler”.
Lalu apa sebenarnya wujud Pancasila itu? Sebagaimana dikemukakan oleh pelopornya yang pertama, Presiden Soekarno, Pancasila adalah lima dasar, ataupun idenn, yang dianggap tersebar di antara golongan-golongan yang terdapat di Indonesia. Idenn ini, dianggap oleh pendukungnya, terdapat di tiap-tiap golongan. Aliran Komunis, misalnya, tidak percaya dengan Tuhan walaupun mereka menerima Pancasila itu sebagai asas negara. Ini merupakan suatu kelemahan yang prinsipil.
Tiap-tiap ide, tiap-tiap faham, tiap-tiap tujuan, jika dijadikan dasar hidup, adalah suatu hal yang amat penting, yang harus dipercaya, ditaati, diresapkan betul-betul dalam sanubari bangsa kita, terutama yang menerima dan berusaha mendukung untuk dijadikan dasar negara. Jika tidak demikian, ini berarti kita tidak jujur terhadap asas dasar negara kita. Menurut aliran Komunis, Tuhan itu tidak ada. Bagaimana mereka menerima suatu dasar yang di dalamnya ada bagian yang tidak mereka percayai?
Bahwa yang demikian itu terjadi disebabkan oleh karena Pancasila itu hanya lima ide yang dikemukakan sebagai titik pertemuan. Tidak dikemukakan sebagai “volgorde” dari sila yang lima ini. Tidak dikemukakan yang mana dari sila yang lima itu sumber-sumber asal dari yang lain. Atau sila-sila yang lima itu memiliki lima sumber pula? Tidak pula diterangkan apa norma-norma yang mengisi tiap-tiap sila tadi. Dengan kata lain, di kalangan pendukung Pancasila sendiri belum dan tidak ada kesepakatan tentang apa Pancasila itu sebenarnya.
Memang tidak bisa disangkal; bahwa dalam Pancasila itu terdapat ide-ide yang baik. Tetapi keterangan-keterangan yang kita dapat dari pendukung Pancasila itu sendiri, menunjukkan bahwa mereka itu sendiri tidak dapat menentukan apa isi yang sebenarnya, apa urutannya (volgordenja), apa asalnya, apa intinya (nucleusnya) dan apa hubungannya satu sama lain. Karena tidak jelas, maka kesulitan-kesulitan akan berkembang. Oleh karena asas negara kita itu harus jelas dan tegas, maka sulit bagi kami menerima sesuatu yang tidak jelas.
Dalam posisinya sebagai dasar negara, Pancasila akan diposisikan dengan sikap netral yang berdiri di semua ideologi yang ada. Berdiri netral, demikian tinggi di atas segala-galanya, di atas semua yang bergelora dalam sanubari manusia Indonesia, sehingga ia tidak mendapat akar sama sekali dalam kalbu rakyat Indonesia.
Karena Pancasila itu netral dan tidak akan meninggalkan posisi kenetralannya, maka ia tidak mau menerima salah satu substansi yang positif. Ia akan berdiri sendiri sebagai pure consept. Sebagai pure consept yang berdiri sendiri, ia tidak merupakan satu realitas di alam positif. Sehingga Pancasila tidak berwujud apa-apa. Inilah satu tragedi Pancasila yang sekuler (la-diniyah) dan netral.
Jika demikian, bagaimana Pancasila itu dapat dijadikan sebagai dasar negara. Itulah sebabnya, sebagaimana yang saya katakan dalam permulaan keterangan ini, Pancasila sebagai falsafah negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang jelas, terang, dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.
Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vakum, tak berhawa. Betul, demikianlah ibaratnya.
Seruan Kepada Pendukung Pancasila
Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara yang mendukung Pancasila.
Sila yang saudara maksud ada terdapat dalam Islam. Bukan sebagai pure concepts yang steril, tetapi sebagai nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, saudara-saudara pendukung Pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila maupun sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh state-philosophy yang hidup berjiwa, berisi tegas, dan mengandung kekuatan.
Tidak satupun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu, yang akan luput atau gugur, apabila Saudara menerima Islam sebagai dasar negara.
Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah yang pasti, dimana pure consept dari sila yang lima itu mendapat substansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.
Kepada saudara-saudara yang mengajukan Sosial-Ekonomi sebagai dasar negara, saya berseru, dalam Islam saudara-saudara pasti akan bertemu dengan konsep sosial-ekonomi yang progresif.
***
Penulis: Muhammad Natsir
Editor: Agung Purwandono
Sumber: Warung Arsip