Alasan Nggak Ada Pelajaran Bahasa Belanda di Indonesia

tulisan ki hadjar dewantara tentang bahasa belanda

Ki Hadjar Dewantara

Artikel Ki Hadjar Dewantara yang terbit di Mingguan Nasional, 12 Januari 1952 berjudul “Bahasa Belanda” menjawab mengapa nggak ada pelajaran Bahasa Belanda atau Sastra Belanda dalam mimbar pengajaran di Indonesia, mulai dari SMP hingga universitas. Saat ini, di Indonesia hanya ada satu perguruan tinggi yang memiliki Program Studi Sastra Belanda yaitu Universitas Indonesia. Selamat membaca.

Bahasa Belanda

Oleh: Ki Hadjar Dewantara

Mojok.co Soalnya adalah sebagai berikut. Seperti sudah kami kemukakan dalam “Konggres Pendidikan” yang ke-1 pada tahun 1947 di Solo, juga dalam “Rapat Besar Taman Siswa” tahun 1948 di Jogja, maka sebenarnya segala bahasa-bahasa asing yang bernilai dan dapat memajukan perkembangan kebudayaan kita, harus mendapat perhatian yang cukup dari Kementerian P.P. & K. Yaitu harus diberi tempat dalam daftar pelajaran secara sistematis.

Dalam hal ini janganlah dibolehkan anak-anak dapat pelajaran bahasa-bahasa asing sebelum pada tingkatan SMA dan jangan lebih dari dua bahasa, agar tidak memberatkan padanya. Anak-anak harus memilih dua bahasa itu. Ini berhubung dengan niatnya kelak: anak menuntut ilmu apa. Untuk Ketabiban misalnya, cukup bahasa Jerman dan Inggris, untuk Perdagangan cukup bahasa Inggris dan Tionghoa, untuk Kesusasteraan cukup Bahasa Inggris dan Arab atau Urdu atau bahasa Barat lainnya. Jadi bahasa asing disini berarti bahasa-bahasa Barat dan Timur.

Untuk keperluan-keperluan lain, teristimewa bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan atau menambah kecakapan dalam bahasa-bahasa asing, perlu diadakan “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”.

Apabila bahasa Inggris kita kecualikan dan sudah boleh diberikan pada tingkatan SMP, itu karena Bahasa Inggris kini berkedudukan di seluruh dunia sebagai “bahasa internasional”. Juga terpakai di daerah-daerah tetangga kita di Asia. Lain dari pada itu bahasa Inggris kini juga sudah menjadi bahasa ilmu-pengetahuan yang tidak saja dipakai di negeri Inggris, namun pula di Amerika, Australia dan negeri-negeri lain yang berbahasa Inggris.

Kalau kami menganjurkan bahasa Inggris untuk dipentingkan, tidaklah ini berarti bahasa-bahasa itu kita jadikan “tweede moedertaal” atau bahasa nasional yang ke-2 bagi rakyat kita. Sekali-kali tidak. Bahasa Nasional kita tetap bahasa Indonesia, bukan bahasa lain. Janganlah misalnya bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar di perguruan-perguruan tinggi kita, kecuali kalau ada kepentingan yang istimewa, yaitu misalnya untuk menjadi bahasa pengantar seorang mahaguru bangsa asing yang belum dapat berbahasa Indonesia. 

Sekianlah tentang bahasa-bahasa asing pada umumnya. Dalam pada itu janganlah dilupakan bahwa tentang bahasa Belanda kini kita ada dalam keadaan yang luar biasa istimewa. Terhadap bahasa Belanda kita terpaksa menetapkan adanya waktu peralihan yang mengharuskan bahasa itu kita keluarkan dari daftar bahasa-bahasa asing, yang boleh dimasukkan dalam perguruan kita.

Ingatlah masih tetap adanya rasa pertentangan yang kadang-kadang meluap menjadi rasa benci antara bahasa Belanda dan bangsa Indonesia, hal mana sangat kita sesalkan. Dalam pada itu kita mengerti adanya faktor psikologis tadi, yaitu karena kita berpisahan dengan bangsa penjajah kita itu dengan jalan revolusi yang dahsyat serta melalui agresi Belanda (clash I dan II) yang dahsyat pula. Selain itu masih tetap ada suasana serta keadaan-keadaan dalam hubungan Indonesia dan Belanda, yang mengandung faktor-faktor politis. Sekalipun segala Ikatan KMB dapat dihapus, tidaklah itu berarti akan segera lenyapnya  faktor-faktor psikologis dan politis tadi. 

Baca Juga: Bagaimana Kita Diperdaya dengan Hoaks Dijajah Belanda selama 350 Tahun

Itulah kami tetap menganjurkan: janganlah bahasa Belanda dimasukan dalam perguruan-perguruan kita. Jangan pula diperkenankan guru-guru besar di perguruan-perguruan tinggi kita memberi kuliah-kuliahnya dalam bahasa Belanda dan/atau menganjurkan buku-buku yang tertulis dalam bahasa Belanda. Apabila masih perlu kita mendatangkan orang-orang sarjana bangsa Belanda (dan bangsa asing umumnya) hendaknyalah mereka itu dianggap sebagai “sumber ilmu pengetahuan” bagi para asisten kita. Mereka inilah yang harus meneruskan bahan-bahan pelajarannya dalam bahasa Indonesia kepada para mahasiswa. 

Disamping itu hendaknya pemerintah memulai penerjemahan secara besar-besaran segala buku-buku ilmu pengetahuan yang perlu dari bahasa-bahasa Belanda dan bahasa-bahasa asing lainnya ke dalam bahasa Indonesia.

Agar tidak menimbulkan stagnasi (keberhentian sekonyong-konyong) maka tiada keberatannya, apabila mereka yang sudah terlanjur  memakai bahasa Belanda, jika perlu diperbolehkan menggunakan bahasa tersebut, akan tetapi semua mahasiswa baru dan guru-guru besar baru mulai tahun pengajaran yang akan datang ini dengan tegas dan keras diharuskan menggunakan bahasa Indonesia.

Sebagai penutup hendaknya diketahui, bahwa Badan Pertimbangan Kebudayaan dalam sidangnya pada tanggal 4 dan 5 Januari yang lalu di Yogyakarta telah menetapkan akan memajukan usul-usul yang tegas dan konkrit tentang soal bahasa Belanda tadi kepada Menteri P.P. & K agar dalam waktu yang sependek-pendeknya bahasa Belanda tidak diperlukan lagi bagi perguruan-perguruan kita, baik sebagia mata pelajaran di SMA maupun sebagai bahasa pengantar di perguruan-perguruan tinggi kita.

*)Esai Ki Hadjar Dewantara ini terbit di Mingguan Nasional pada Rubrik Kebudayaan Nasional. Sumber Warung Arsip.

Penulis: Ki Hadjar Dewantara

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA  Tumbang Timbulnya Negara  dan Arsip lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version