MOJOK.CO – Apa yang dilakukan oleh kristen Gray, yang membuatnya sampai harus dideportasi itu, sejatinya adalah hal yang biasa saja.
Membaca tulisan Mbak Katharina Stogmuller yang menceritakan tentang cuitan seorang wanita Amrik bernama Kristen Gray itu tak bisa tidak membuat saya agak nggreges karena memang, apa yang dilakukan oleh Mbak Gray itu sebenarnya sangat dekat dengan apa yang pernah saya lihat: orang-orang yang mengadu nasib ke negeri lain dengan cara-cara yang patut dipertanyakan.
Jujur saja, bagi saya, apa yang dilakukan oleh Mbak Gray itu sebenarnya nggak ada spesial-spesialnya. Malahan saya berani mempertaruhkan koleksi mainan dinosaurus saya bahwa orang Indonesia jauh lebih hebat dan licin dalam melakukan apa yang Mbak Gray lakukan.
Netizen Indonesia seharusnya tahu bahwa praktik melangkah ke negeri orang lalu menetap di sana dalam jangka waktu yang lama, bahkan sampai beranak-pinak di sana, adalah makanan sehari-hari bagi para TKI di Malaysia. Bagaimana tidak, jarak yang dekat dan akses yang mudah membuat negeri jiran menjadi sasaran empauk bagi mereka yang sudah diempaskan oleh negaranya sendiri. Saya rasa tidak perlu buang-buang waktu untuk memberikan data statistik tentang Malaysia yang mempunyai jumlah TKI terbanyak di antara negara-negara lain.
Sebut saja namanya Pak A, seorang sopir taksi yang berasal dari Sumatera Barat dan sudah merantau secara gelap ke Malaysia sejak tahun 70-80an. Beliau adalah sopir taksi yang selalu dipanggil keluarga saya jika kami ingin berpergian ke mana-mana sebelum maraknya aplikasi Grab. Dari beliaulah saya mendengar cerita tentang bagaimana orang-orang Indonesia berusaha untuk meninggalkan Indonesia dan mencari kehidupan yang layak di negeri jiran. Beliau bahkan menceritakan kepada saya di mana saja tempat-tempat yang bisa digunakan untuk keluar-masuk Malaysia tanpa perlu diendus aparat.
Pada akhirnya, tinggal dan menetap di negeri orang adalah sebuah cara untuk bertahan hidup. Seseorang memiliki hak penuh terhadap kehidupannya, dan mereka juga berhak untuk menentukan standar kenyamanan hidup baginya. Kalau Denny Siregar, misalnya, merasa nyaman untuk hidup dengan pola pikir dan logika sebesar ikan teri, maka itu adalah haknya karena itulah kenyamanan baginya. Begitu juga dengan Mbak Gray, yang baginya standar kenyamanan adalah ritme kehidupan di Bali.
Kendati demikian, saya selalu mengatakan kepada murid-murid saya bahwa yang namanya tindak kejahatan atau kriminal itu tidak akan menjadi tindak kejahatan jika tidak ketahuan. Jika seseorang, misalnya, melakukan tindak kejahatan dan ketahuan, maka orang tersebut boleh jadi sama sekali tidak ada bakat untuk berbuat jahat. Pesan moralnya: kalau memang tidak ada bakat jadi jahat, ya mendingan jangan jadi jahat. Ini saya rasa berlaku untuk Mbak Gray.
Saya yakin bahwa Mbak Gray ini bukanlah orang jahat. Seperti yang saya katakan, tidak ada yang jahat dari seseorang yang ingin mencari kenyamanan hidup menurut standarnya sendiri. Hanya saja ya jangan diumbar-umbar juga.
Bagaimanapun, mengajak orang untuk tinggal ke Bali, mengikuti cara dan gaya hidup yang digunakan untuk survive dengan menumpuk pundi-pundi penghasilan tanpa memberi balik kepada tempat Anda tinggal tentu saja secara tidak etis dan juga tidak fair.
Jauh lebih tidak etis lagi kalau mengundang orang lain agar datang ke negara yang sedang kewalahan menangani pandemi.
Saya jadi ingin menceritakan kisah tentang seorang warga negara Indonesia di Malaysia yang kurang lebih mengalami kasus yang sama dengan Mbak Gray.
Ia adalah seorang mahasiswa di salah satu kampus ternama di Malaysia. Rencana jangka panjangnya sebenarnya cukup ciamik: lulus kuliah tepat waktu dengan IPK yang memuaskan, ambil beasiswa, lalu kerja dan mendapatkan visa jangka panjang supaya bisa menanggung keluarganya di Malaysia.
Si mahasiswa ini memang sudah merasa tidak nyaman dengan negaranya sendiri. Ia dan keluarganya pindah ke Malaysia sudah sejak tahun 2007, bersama ayahnya yang ditugaskan ke sana. Di sepanjang waktu ia di Malaysia, ia merasakan ketenangan dan kenyamanan yang sesuai dengan standar dirinya dan keluarganya. Segala carut-marut di Indonesia memang sudah tidak tahan ia terima.
Tetapi kehidupan berkata lain. Si mahasiswa ini sempat goyang trayek akademiknya, sampai ia harus mengulang beberapa kali untuk menamatkan satu atau dua mata kuliah saja. Pada waktu yang sama, ayahnya juga mulai sakit-sakitan, sehingga ia harus memikirkan cara untuk bisa menggantikan ayahnya mencari nafkah. Singkat cerita, ia pun mendapat sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan kecil yang mau menerima warga asing yang tidak memiliki visa kerja.
Sekadar informasi, Malaysia memang melarang keras mahasiswa yang memegang visa pelajar untuk bekerja. Jadi jelas tindakan si mahasiswa ini secara teknis melanggar undang-undang.
Tetapi apa daya, keadaan membuatnya begitu. Ia pada akhirnya lulus kuliah, tetapi dengan nilai pas-pasan. Perusahaannya tidak mau menanggung pemindahan visanya dari pelajar ke pekerja, tetapi tetap mau menerimanya bekerja dengan syarat: segala risiko terkait izinnya akan ditanggungnya sendiri.
Untuk mencari kerja baru akan memakan waktu. Maka si mahasiswa itu pun memutuskan untuk tetap bertahan di perusahaan itu—sampai akhirnya visanya mati, dan ia pun harus hidup secara sembunyi-sembunyi. Tidak seperti Mbak Kristen Gray, ia tahu betul bahwa ini adalah perjuangan pribadinya, dan tidak ada satu telinga pun yang boleh tahu. Karena jika ada satu orang saja yang tahu, maka tamatlah riwayatnya.
Tentu saja, kisah petualangannya berakhir karena dihantam pandemi. Perusahaannya menamatkan sepihak perjanjian kerjanya lantaran “ingin menjaga keselamatan dan mengurangi tenaga asing”. Ia pun terpaksa pulang ke Indonesia dengan tangan kosong.
Hmm? Apa? Anda ingin tahu siapa orang bodoh itu?
Well, of course I know him. He’s me.
BACA JUGA Cara Orang Minang Menghargai Lauk Kemarin dan tulisan Kurnia Gusti Sawiji lainnya.