Apa Jadi Perempuan Mandiri yang Bekerja itu Menyalahi Kodrat?

MOJOK.COUngkapan perempuan merupakan madrasah pertama bagi anaknya memang benar. Lalu bagaimana jika kami tidak maksimal melakukannya karena harus kerja di luar?

Antrean baru sampai di nomor A145 ketika saya mengambil nomor antrean baru dan mendapatkan A292. Setelah saya bolak-balik dari lobi stasiun, bagian tengah stasiun, depan loket, membaca buku, memerhatikan orang-orang yang buru-buru hingga anak kecil yang menumpahkan satu cangkir es coklat di Dunkin Donuts, kursi di sebelah saya diduduki seorang ibu.

Perkiraan saya, usianya sekitar enam puluh tahun. Setelah sempat berbasa-basi sejenak, ibu ini bercerita panjang. Kira-kira isinya begini:

Suami saya dulu seorang guru, sudah PNS, ditugaskan di Bobotsari, Purbalingga. Gajinya sangat tidak mencukupi bahkan untuk makan. Hanya 75 rupiah, Mbak. Waktu itu tahun 1962.

Padahal itu wilayahnya di gunung (yang seharusnya apa-apa murah), tapi tetap saja tidak cukup. Saya lalu bilang sama Bapak, “Wis, Pak. Pokoke aku ameh metu bakulan. Mbuh bakulan opo sing penting tak jajal sik. (Sudah, Pak. Saya coba berjualan. Entah jualan apa yang penting dicoba dulu).”

Pertama saya mencoba berjualan telur. Ternyata rugi karena banyak yang busuk jika tidak laku. Lalu saya jualan kelapa, lebih susah lagi. Sebab tidak bisa membawanya sendiri, harus sewa kendaraan. Modalnya makin mahal, lakunya tidak seberapa.

Sampai akhirnya saya berjualan pisang sampai tundunan itu, Mbak. Ya lumayan lah. Harganya bagus, kalau tidak laku, dibawa ke rumah bisa dimakan sendiri.

Mau bagaimana lagi? Lha wong gaji Bapak untuk makan saja susah. Pernah suatu kali Bapak bilang, “Kalau begini lebih baik bikin bubur saja, Bu.”

Eh, ternyata Bapak malah tidak bisa tidur kalau makan bubur. Kadang kurang kenyang, kadang malah diare. Hahahaha. Dari berjualan itu saya belajar menjadi seorang yang lebih berani. Sampai akhirnya Bapak pindah tugas ke Sragen, saya masih jualan terus.

Saya baru berhenti berjualan dua tahun yang lalu. Puji Tuhan, anak-anak saya bisa sampai kuliah semuanya. Anak saya ada dua. Kalau saya nggak bakulan, ya nggak tahu bagaimana nasib anak-anak saya itu.

Saya berani lho, Mbak, naik bus dari Sragen sampai Slawi, bolak-balik, sendirian. Bapak pernah tanya, “Naik bus apa?”

“Naik bus patas.”

“Wah gaya nih!”

Soalnya saya sebelumnya memang nggak berani kalau naik bus biasa.

Semakin ke sini makin berani ke mana-mana sendiri. Apalagi sejak Bapak tiada, tahun 1990. Dulu waktu (Bapak) masih ada, dikit-dikit Bapak, apa-apa Bapak. Ya gitulah, Mbak.

Saya memberanikan diri menanyakan tahun kelahiran ibu ini. Ternyata, dia lahir tiga tahun sebelum Indonesia merdeka. Ya, silakan berhitung sendiri. Jangan malas.

Saat di stasiun itu, ibu ini bersama anak dan cucu laki-lakinya, hendak ke Slawi. Poin dari cerita tersebut yang saya tangkap adalah, jika ibu ini tidak go out of her way untuk berjualan, mungkin anak-anaknya tidak akan sampai ke bangku kuliah.

Bayangkan jika seandainya sang ibu hidup di masa sekarang, dengan propaganda masif belakangan ini bahwa “Perempuan harus kembali ke kodratnya, ke rumah, menjadi madrasah bagi anak-anaknya.”

Apa anak-anaknya akan bisa duduk di bangku perguruan tinggi? Dengan asumsi gaji bapaknya untuk makan saja susah? Nggak, kan?

Selang sehari kemudian, saya dihubungi kakak saya lewat whatsapp agar segera pulang. Meninggalkan pekerjaan saya sebagai Pekerja Teks Komersial di tanah rantau. Lalu menjadi perempuan baik-baik di kampung halaman.

Saya tahu, perdebatan akan berputar-putar di situ saja: bahwa saya mestinya kerja di kampung halaman, menyudahi mimpi-mimpi saya yang nggak kelihatan progresnya, menjadi “seperti orang biasa saja”. Yah, ini mah sudah jadi perdebatan rutin.

Saya punya alasan untuk tidak bekerja di kampung halaman. Salah satunya karena tidak pernah menemukan lowongan pekerjaan yang cocok, salah duanya karena ingin bekerja dan memboyong ibu saya untuk bisa tinggal di Jogja.

Saya juga tahu bahwa perdebatan kami akan sia-sia, sebab standar kesenangan, kesuksesan, dan “hidup ideal” bagi saya dan kakak juga sudah berbeda. Nggak ketemu. Bagi dia, standar hidup dan target saya ramashok. Begitu juga sebaliknya.

Perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, memang ungkapan yang benar. Tapi, apa ya harus diikuti dengan nganggur dan momong anak saja di rumah? Lalu jika bekerja di luar rumah dianggap menyalahi kodratnya?

Ya belum tentu, tergantung kondisi keluarga bagaimana. Tapi kan nanti Allah memberi jalan dan rezeki jika kamu kembali ke kodrat dan fitrah sebagai perempuan? Lha, yang saya tahu, Allah tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali ia berusaha.

Memangnya uang bisa datang begitu saja tanpa kita cari? Kecuali memang prinsipnya sudah begitu, lalu secara ekonomi memang sudah mapan tanpa si perempuan harus bekerja dan perempuan ini memang setuju untuk di rumah saja, ya silakan. Itu pilihan masing-masing. Tapi nggak perlulah bikin ajakan sampai menyalah-nyalahkan perempuan yang bekerja.

Begitu pula dengan kakak saya. Lha wong saya juga nggak pernah memaksanya untuk berbuat begini begitu yang menurut saya “benar dan ideal” kok.

Kenapa harus memaksa adiknya untuk ikut masuk ke dalam standar benar dan idealnya, padahal kami sejak awal tahu bahwa sifat kami berbeda seperti air dan minyak? Kan malah capek sendiri. Saya dibilangin juga tetap nggak setuju, pol-polan akan nggih-nggih mboten kepanggih aja agar kakak saya diam.

Nah, di zaman kita hidup sekarang ini, ada banyak sekali orang-orang yang merasa seolah hidup kita adalah juga tanggung jawabnya. Media sosial dan teknologi punya andil besar dalam hal ini. Makanya, sering terdengar kalimat jempol netizen lebih tajam dari pisau belati. Semacam itulah, intinya netizen maha benar dengan segala ketikannya.

Jangan begini, nanti begitu, lebih baik begini daripada begitu, dan lain-lain.

Padahal, seringkali manusia ketika menasihati manusia lainnya, sebenarnya ia sedang memberi nasihat kepada dirinya di masa lalu. Penyesalan dan kekecewaannya di masa lalu itu dilampiaskan dengan memberi nasihat kepada orang lain dengan tujuan tidak menjadi seperti dirinya.

Padahal, setiap orang punya jalan masing-masing. Punya timing masing-masing. Oke, ini sangat klise dan agak bullshit juga. Tapi benar, lho, waktu seseorang menuju kesuksesan itu beda-beda. Dan kesuksesan seperti apa yang ia inginkan, bisa jadi bukan seperti yang kamu pikirkan.

Kalau tiap orang menyadari hal ini, tentu jumlah perselisihan, perdebatan, pertengkaran di dunia ini bakal berkurang banyak. Sadarilah bahwa ukuran benar/salah, ideal, sampai sukses berbeda satu sama lain.

Jadi nggak usah repot-repot mencampuri urusan hidup orang lain. Memangnya kamu segitu nggak punya urusannya? Bukannya ngurusi urusan sendiri aja udah capek?

Mending hemat energi aja mulai sekarang. Caranya gampang kok, berhenti mencampuri urusan hidup orang lain. Terutama bagi perempuan-perempuan yang memang bisa mandiri lalu diprovokasi agar “sadar” kembali ke kodratnya.

Sayangnya, hidup kurang seru kalau nggak ada perselisihan, perdebatan, pertengkaran, dan drama.

Exit mobile version