Prinsip pokok
Hal lain yang membedakan angkringan ala Jakarta dengan Jogja adalah cara pelanggan menikmati hidangan yang memang pada awalnya didasarkan pada dua prinsip pokok itu, yaitu murah dan merakyat. Angkringan di Jakarta kurang memungkinkan kita makan sambil nangkring, yaitu menaikan satu kaki di kursi. Wong kursinya kursi plastik, kalau naik satu kaki akan selalu kepleset.Â
Selain itu, angkringan ala Jakarta juga menyediakan tempat lesehan dengan menggelar terpal dan meja pendek. Ini sudah fusion antara angkringan dan lesehan; apa orang Jogja rela? Ini seperti mencampur soto dengan brongkos; mungkin enak tapi tidak estetik sama sekali; tidak setia pada pakemnya.
Nah, ciri angkringan ala Jakarta berikut sungguh mengkhianati versi Jogja yang dianggap asli, yaitu penjual sangat sibuk melayani sampai tidak sempat bercakap-cakap dengan pembeli.Â
Padahal, ciri khas dari angkringan Jogja, dan merupakan salah satu pilar penyangga keberlangsungan angkringan adalah kemerakyatan yang diwujudkan dalam njagong bersama; ngobrol ngalor-ngidul!Â
Hanya dengan ngobrol ngalor-ngidul itu, kopi pahit terasa bersahabat; hidup pahit pun terasa tidak terlalu berat! Padahal penjual angkringan ala Jakarta biasanya tidak satu orang, tapi ada 2 atau 3 asisten chef yang mendampingi! Tapi kok masih terasa kurang, kelihatan sibuk, kurang hospitable, kurang ramah.Â
Apakah angkringan ala Jakarta sudah kerasukan roh efisiensi, sehingga yang penting pelayanan cepat, pembeli puas? Sehingga kehilangan filosofi slow life; kehilangan sentuhan manusiawinya? Atau memang karakter pembeli di Jakarta yang maunya cepat, sat-set, nggak usah nunggu, nggak usah diromantisasi? Padahal, kadang romantisasi itu perlu je sehingga hidup nggak flat dan monokrom.
Apakah Jakarta mau mengambil angkringan dari Jogja?
Beberapa waktu lalu Mojok menampilkan artikel tentang angkringan palsu yang jualannya kopi sasetan dan sate sosis. Saya setuju itu bukan lagi angkringan Jogja yang saya kenal; sudah keluar dari pakemnya.Â
Entah alasan menyesuaikan diri dengan pasar atau bagaimana, bagi saya setiap jualan ada segmennya. Kenapa tidak sekalian saja mengganti namanya menjadi nongkrongan misalnya, supaya terkesan Jakarta banget; yaitu tempat nongkrong, sambil nge-vape dan main HP.Â
Nggak perlu lagi ngobrol ngalor-ngidul. Toh angkringan ala-ala ini tidak mencirikan nangkring-nya lagi; duduk tidak di bangku kayu panjang, tapi di terpal.
Nah, angkringan ala-ala ini sudah banyak menyebar di beberapa tempat di Jakarta. Selain yang saya tahu di daerah Cipinang, saya menemukan setidaknya 3-5 angkringan ala-ala di daerah Jl. Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat.Â
Angkringan ala-ala ini juga muncul di Jalan. Percetakan Negara, Rawamangun, dan mungkin tempat-tempat lain. Tentu saja tidak salah, toh yang jualan juga orang-orang dari daerah Jawa Tengah dan Jogja.Â
Namun, jika merunut balik, angkringan muncul dari situasi masyarakat Jogja yang khas. Masyarakatnya suka berkumpul, ngobrol ngalor-ngidul, dan menjadi lebih akrab, mendapat teman baru, kolega baru.Â
Angkringan di Jogja didatangi orang dari kalangan tukang becak hingga dosen; customer-nya sangat terdiferensiasi. Nah, apa hal serupa akan terjadi di Jakarta yang punya latar belakang masyarakat berbeda? Saya tidak tahu.Â
Atau ini adalah peluang yang dilihat orang-orang di Jakarta bahwa banyak orang yang ingin bernostalgia dengan Jogja? Entah itu karena mereka asli Jogja, pernah kuliah dan tinggal di sana, atau pernah setidaknya mengunjunginya!
Jadi apa? Angkringan ala Jakarta ini mau menggarisbawahi nostalgia, atau efisiensi, atau kearifan lokal? Mungkin sambil menyediakan kue pancong? Wallahualam.
Penulis: Titus Angga Restuaji
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tour d’Angkringan: Melihat Realita dan Belajar Ilmu Ikhlas dari Tenda Lusuh Angkringan di Jogja dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.