MOJOK.CO – Selama menjadi penumpang KRL Jogja Solo, saya menemukan perbedaan antara penumpang lama dan penumpang baru. Inilah dia.
Sejauh pengamatan saya, KRL Jogja Solo sudah menjadi top of mind sebagai moda transportasi dua wilayah. Masyarakat juga lebih suka menggunakan moda ini untuk mencapai wilayah di antara Jogja dan Solo. Perkembangannya sejak era Prambanan Ekspress (Prameks) hingga KRL terjadi dengan cepat.
KRL Jogja Solo sangat diminati para pekerja. Mereka disebut penglaju. Mereka, biasanya bekerja atau sekolah di dua wilayah yang berbeda, biasanya jauh, dan perjalanannya ditempuh di hari yang sama. Biasanya mereka adalah penumpang lama yang selalu setia dengan KRL.
Selain kategori di atas, ada juga tipe penumpang baru. Mereka adalah penumpang dengan keperluan insidental. Biasanya untuk tujuan rekreasi. KRL Jogja Solo dipilih sebagai moda rekreasi karena murah dan jarak tempuhnya terbilang dekat.
Saya sendiri sudah lama menggunakan moda transportasi ini, khususnya untuk berangkat dan pulang kerja. Selama menikmati KRL Jogja Solo, saya berhasil melakukan pengamatan. Hasilnya, saya menemukan perbedaan antara penumpang lama dan baru.
Inilah dia.
#1 Kedatangan
Orang Indonesia terkenal tidak tepat waktu, salah satunya ketika naik KRL. Sudah begitu, gagap membaca jadwal. Penumpang baru biasaya seperti ini. Mereka sering ketinggalan kereta.
Biasanya skenarionya begini. Ada sebuah rombongan merencanakan untuk main ke Jogja atau Solo. Mereka belum pernah naik KRL Jogja Solo sebelumnya. Kemudian, mereka janjian untuk menentukan hari, jam, dan tempat kumpul.
Yang terjadi kemudian adalah dua hal. Pertama, kebiasaan tidak tepat waktu. Kedua, kebiasaan saling menunggu. Biasanya ada tuh, di antara rombongan pertemanan, ada saja satu atau dua orang yang selalu ngaret. Akhirnya, mereka ketinggalan kereta. Apa mereka nggak sadar ya kalau kereta itu nggak bakal nunggu penumpang.
Alhasil mereka tiba di stasiun mungkin kurang dua menit sebelum KRL berangkat. Setelah turun dari kendaraan. mereka berlari tergopoh-gopoh menuju peron. Ada yang lari cepat mungkin, ada sudah pasrah jalan kaki saja daripada capek.
Sesampainya di pintu masuk, biasanya akan terdengar koor, “Yaaah!”. Ada juga yang menertawakan diri sendiri. Ada yang menyalahkan temannya yang datang terlambat. Banyak yang kecewa lalu pulang.
#2 Masuk gate KRL Jogja Solo
Berbeda dengan Prameks, KRL Jogja solo sudah menggunakan sistem tempel kartu (tap in) dari Kartu Multi Trip (KMT). Penumpang baru akan terlihat dari cara mereka masuk gate KRL. Pasti ada saja yang bermasalah dan harus dihampiri oleh petugas. Entah salah menempelkan kartu KMT sehingga gate tidak mau terbuka. Bisa juga gate sudah terbuka, tapi bingung masuknya.
Sementara, kalau menggunakan aplikasi Link Aja, biasanya akan lama dalam proses scan. Selain itu, sudah antre panjang, begitu sampai depan gate, ternyata salah memilih gate karena ada beberapa gate yang tidak bisa untuk scan barcode. Bahkan, ada juga yang ketika sudah akan di depan gate belum memiliki kartu KMT.
Penumpang lama pastinya sudah beradaptasi. Mereka sudah menyiapkan aksesoris pendukung seperti lanyard atau tas kecil di depan. Ini memudahkan kalau akan mengambil kartu KMT tanpa harus buka-buka tas ransel.
#3 Memilih gerbong
Saat ini, KRL Jogja solo menggunakan dua rangkaian kereta dengan total ada delapan gerbong. Dua rangkaian cukup panjang dan memakan peron stasiun.
Penumpang yang sudah berhasil melewati gate selanjutnya bisa menuju gerbong kereta. Penumpang baru akan memilih gerbong terdekat dari arah gate KRL. Oleh sebab itu, biasanya, gerbong paling dekat dengan gate akan paling cepat terisi. Ketika mereka sampai di gerbong yang sudah terisi, mau tidak mau, harus berdiri.
Sementara, kalau penumpang lama pasti berusaha mencari gerbong kosong agak di belakang. Kalau ada yang rela berjalan agak ke belakang, biasanya mereka penumpang lama dan wajahnya tuh terlihat akrab karena saking seringnya ketemu di KRL Jogja Solo.
Satu detail kecil berhasil saya tangkap. Penumpang lama tidak akan sungkan untuk meminta penumpang yang duduk untuk lebih rapat. Sehingga mereka bisa duduk. Penumpang baru biasanya pasrah saja berdiri. Kalau sedikit beruntung, baru mau duduk dengan kaki yang pegal.
#4 Memilih tempat duduk
Setelah memasuki gerbong dan mendapati ada beberapa kursi kosong, penumpang baru biasanya akan langsung duduk saja. Sementara itu, penumpang lama KRL Jogja Solo biasanya pilih-pilih. Kecuali, kalau memang sudah penuh dan hanya tersisa satu atau dua kursi.
Selain itu, penumpang lama cenderung lebih memilih posisi kursi yang memiliki sandaran. Tunggu dulu, emang KRL Jogja Solo ada sandarannya? Tentu tidak ada. Namun, kalau kita perhatikan, dalam satu rangkaian kursi panjang KRL itu terdapat tiga buah jendela.
Nah, di antara jendela terdapat sekat pemisah. Itulah yang saya maksud “sandaran kursi” tadi. Duduk pas di sekat pemisah jendela membuat kepala kita bisa nyender. Jadi lebih lebih nyaman.
Sementara itu, kalau tidak pas di sekat pemisah jendela, kepala kita akan menempel di kaca jendela yang lebih menjorok sehingga tidak nyaman di kepala. Kalau belum ngeh coba saja deh dan rasakan bedanya.
Bahkan, penumpang lama bisa tahu deretan kursi yang nanti akan kesorot sinar matahari dan lebih panas. Sehingga, mereka akan memilih deret kursi sebaliknya. Coba deh tips ini biar perjalanan kamu lebih nyaman.
#5 Foto
Penumpang baru pasti akan sangat excited karena baru kali pertama naik KRL Jogja Solo. Biasanya, dari mulai masuk stasiun sudah mulai jepret sana jepret sini. Setelah masuk gerbong pasti juga menyempatkan mengambil foto. Video ketika kereta mulai berangkat, timelapse dari jendela, selfie bersama teman-teman, siap meluncur di beranda media sosial.
Penumpang lama tentu masih ada yang foto juga. Tapi ya cuma sekadar kalau pas ada momen bagus atau mengabari orang rumah kalau sudah berada di kereta.
Nah, itulah detail kecil yang saya temukan dari penumpang lama dan baru KRL Jogja Solo. Kamu, sebagai penumpang lama, menemukan perbedaan apa?
BACA JUGA Kenangan Naik KRL di Stasiun Manggarai dan Stasiun Tebet yang Kini Terasa Jauh dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Tendra Istanabi
Editor: Yamadipati Seno