MOJOK.CO – Hiruk pikuk kota mengantarkan orang-orangnya mencari oase ke dalam pelukan agama. Sayangnya, semarak muslim kota ini hanya semarak di permukaan, tapi terasa rapuh kedalamannya.
Di antara ingar-bingar jagat urban, perkara religiusitas (Islam) tampak makin menggeliat gayeng betul di depan mata. Masjid-masjid bertumbuhan, gamis-gamis bertebaran, jubah-jubah berlebaran, jilbab-jilbab berhamparan, pengajian-pengajian bermekaran.
Tak ketinggalan, pastinya, postingan-postingan takbir, tahmid, tahlil, hijrah yang berserakan di kekepsenan foto-foto gaul yang unyu, ayu, tsakep, keren, bermerek, dan melet-melet serta njedir-njedir. Sungguh panorama rohani yang kaffah yang mencerminkan betapa semaraknya semesta Islam kota hari ini. Ini jelas fenomena “teologi kota” yang membahagiakan, patut disyukuri. Alhamdulillah.
Teologi kota itu mencerminkan makin rembesnya Air Rohani para penghuni kota di antara jejalan rutinitas, kesibukan tanpa ujung, pergulatan bisnis, lalu-lalang target dan omset, taring sekularisme dan kapitalisme, plus kemacetan yang melelahkan, yang menghantar mereka bersimpuh tunduk di hadapan keagungan-Nya.
Mereka lelah dengan hiruk-pikuk duniawi yang kemrungsung; mereka rindu khittah ketenangan jiwa, lalu masuklah mereka ke lingkaran-lingkaran spiritualitas Islam yang terdekat-terjangkau-termudah. Ya grup wasap, ya liqa’, ya kajian, ya pengajian, ya majelis zikir, ya status-status fesbuk, ya kultwet, ya yutub, ya tivi. Oh ya, satu lagi ding, ya demo. Bahkan sampai berjilid-jilid.
Panggilan rohani yang berdenyar dalam karakter terdekat-terjangkau-termudah itu—ingat mereka tetaplah orang-orang kota yang sibuk—ditangkap dengan jeniyes oleh (dalam istilah Mikhail Bakunin) “para pemuka agama yang tercerahkan dan memberikan pengaruh” melalui wadah-wadah pengajaran Islam yang aksesable. Sosial media dijadikan garda depan. Yutub dikuasasi dengan bernas. Daftar halaman pertama Google dipesan dengan gencar.
Klop lah dengan pola hidup kita kini yang berada di ujung jari cum gejet, pesantren pun dipindah ke ujung jari cum gejet. Belajar Islam tak lagi perlu makan waktu lama dengan fasilitas ala kadarnya khas pesantren tradisional. Tak perlu lagi ngerti kaidah faala yaf’ulu fa’lan, kenapa setelah huruf jar harus dibaca kasrah, kenapa setelah ada inna isimnya harus dibaca fathah dan khabarnya dibaca dhammah, yang kebalik dengan kana. Buang-buang waktu saja.
Sampeyan cukup sedia kuota, pencet keyword yang diinginkan, tersedialah segala apa yang sampeyan cari. Cukup follow akun-akun yang kondang, Islam terhampar di depan mata. Btw, follower Ustadz Felix Siauw ternyata jauh lebih bejibun lho ketimbang follower-nya Gus Ulil Abshar-Abdalla. Lalu ngajilah. Dari fiqh hingga tasawuf, dari ayat hingga qaul mujtahid, dari tafsir hingga khilafiyahnya, dari tawaran wacana hingga doktrin berharga pasti.
“Ya ndak masalah dong pola belajar Islam bergeser begitu rupa sesuai dinamika zaman dan kemajuan teknologi, ya kan?” Ya iya, tak masalah, tapi tricky alias rawan.
“Rawan apa?”
Rawan menjadi muslim berkacamata kuda.
Ini dilemanya, dan dampak-dampaknya telah melimpas luar biasa dalam kehidupan kita sehari-hari.
Muslim berkacamata kuda punya gaya begini: “Memandang suatu hukum, suatu tafsir, suatu paham, suatu mazhab, suatu ijtihad (dll) dalam bentuk hitam-putih belaka.” Kuda dengan kacamatanya hanya memungkinkannya memandang apa-apa yang ada di depan. Yang di samping, kanan, kiri, belakang, atas, bawah, tak terjangkau. Segala apa yang tak ada di depannya lalu dianggap tak berharga. Yang tak berharga lalu dianggap menyimpang dari Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya. Maka harus dilawan, ditentang, dimusnahkan. Pelakunya ya dikafirkan! Lha wong sesat kok.
Kerawanan begini terjadi lantaran mekanisme ta’lim-muta’allim (ada guru yang mengawal murid secara intensif dalam waktu lama) tak tersedia di kanal-kanal sosmed dan media. Sampeyan hanya ngeklik tautan yang KEBETULAN terakses, menontonnya, manggut-manggut, sontak menjelma plek begitu jugalah pandangan sampeyan tentang A atau B. Selainnya dianggap tak benar. Dianggap menyimpang, sesat. Pelakunya ya dikafirkan! Sesat kok.
Padahal, jika dirunut dengan sabar, sampeyan akan menemukan petunjuk-petunjuk sejarah betapa khazanah syariah Islam beserta limpahan khilafiyah pemikirannya merupakan hal yang telah diakomodir oleh Islam sejak masa hidup Rasulullah Saw. Bukan hal yang baru tiga Jumat lalu terjadi seiring baru ngertinya sampeyan atas kewajiban berjilbab.
Sampeyan juga akan bisa memahami betapa kemajemukan tafsir, paham, aliran, dan mazhab dalam sejarah Islam dipengaruhi dengan signifikan oleh realitas sosial-budaya-politik yang rumit dan kompleks.
Sampeyan juga akan memaklumi betapa Wahabi tidaklah jatuh dari langit di malam Lailatul Qadar, sebagaimana pula NU, Muhammadiyah, Persis, Jamaah Tabligh, IM, dan apalagi PKS. Semuanya punya konteks sejarahnya, tendensi-tendensi sosial-budaya-politik yang melandasinya, sehingga alamiah bangunan-bangunan mazhabnya sangat dipengaruhi olehnya.
Begitu pula tautan-tautan Islam yang sampeyan klik, pantengin, lalu angguk-anggukin membenarkan. Sejatinya, ia hanyalah satu paham, mazhab, dari jubelan paham/mazhab yang sungguh tak terbatas jumlahnya, variannya, sehingga tak masuk akallah untuk menjedulkan tautan yang sampeyan kebetulan baca dan cocoki sebagai kebenaran mutlak bagi tafsir Al-Quran dan sabda Rasulullah Saw.
Coba saja sampeyan bandingkan pandangan-pandangan keislaman Ustaz Khalid Basalamah yang Salafi-Wahabi dengan Gus Muwafuq yang Nahdliyyin. Keduanya fasih menukil Al-Quran dan hadits. Namun, karena world view-nya berjarak jauh, penyimpulan-penyimpulannya pun berbeda telak.
“Kenapa bisa begitu sih?”
Ya karena memang begitulah khittah dasar pemikiran manusia yang relatif, termasuk dalam menakwil ayat-ayat Allah dan hadis-hadis Rasul-Nya. Ya karena memang setiap tafsir dan pemikiran niscaya berbalut latar belakang, kompetensi, lingkungan, kepentingan, hingga kebijaksanaannya.
“Lalu yang mana yang benar dong?”
Pada dasarnya semua benar, semua sahih, bebas saja diikuti, ASALKAN gathuk dengan lingkungan sosial tempat sampeyan mukim agar tak menimbulkan kekacauan sosial. Ini dia clue-nya buat semua pengikut macam kita: bahwa tujuan terbesar diturunkannya Islam melalui Rasulullah Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak karimah di antara kita sesuai dengan hakikat Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Sayangnya, ya sayang seribu sayang, kita hidup di zaman akhir jelang kiamat. Di antara cirinya ialah merajalelanya kemunafikan. Menyatakan diri die hard Rasulullah Saw hingga ke soal pakaian dan jenis makanannya, tapi akhlak sosialnya remuk-remukan. Menyatakan diri hijrah demi taqarrub pada-Nya, tapi kok masih umukan mamerin kemewahan suapaya dapat panen pujian.
Menyatakan diri bagian mutlak dari ahlus sunnah wal jamaah, tapi profesinya kok mengkafir-kafirkan sesama muslim yang berbeda mazhab. Menyatakan diri pecinta Al-Quran sampai tahu bahwa hanya surat At-Taubah yang tidak diawali dengan basmalah, tapi juara memutlakkan kebenaran pandangannya sendiri sembari mengerek bendera auto-kafir pada kelompok lain.
Menyatakan diri membela marwah Islam yang adiluhung, tapi bikin demo yang bikin gerah dan sengak persaudaraan bangsa ini sampai berjilid-jilid. Menyatakan diri pembela ulama sebagai warastatul anbiya’, tapi bikin kongres ulama kok ndak rampung-rampung ngalahin jadwal rutin bahtsul masail gegara ekspektasi politiknya ndak sesuai kenyataan.
Iki kepiye to yo?
Alam keislaman kita kini memang semarak betul di permukaan, tapi terasa rapuh kedalamannya. Yang dibesarkan bukanlah iman dan tauhid lagi, namun khilafiyah yang memicu perselisihan. Furu’iyah kok dibombastiskan, sampai ushuliyah-nya kelupaan dirawat. Macam abegeh aja. Tapi kok ya terus-terusan menjadi abegeh juga.
Belum lagi pentas para “pamong Islam” yang ahli betul menguarkan takbir, tahlil, hingga doa mandi junub dirapalkan, namun membikin puyeng umat dengan fatwa-fatwa isuk dele sore tempe. Masak iya tafsir dan fiqh yang beneran lillahi ta’ala tergantung pada angin politik? Masa iya pangkat santri disematkan begitu saja karena tamvan dan nyumbangan?
Btw, ya, btw aja sih, di surat Ali Imran 77-78, ada ayat yang ditujukan kepada orang-orang yang kelewat berani mendustakan Allah dengan cara menggadaikan sampai menjual marwah Islam. Menukil ayat dan hadis, memekikkan nama Allah dan Rasul-Nya, tapi jebul hanya sarapan pagi yang penuh dusta, demi ngeduk simpatisan massa agar gemuk politik elektoralnya.
Yang kelewat berani begitu-begitu itu, seolah Allah bukan lagi Maha Mengetahui, pasti bukan para pembela ulama. Ya, pasti bukan.
Alhamdulillahnya, di negeri kita, di kota-kota kita, tak ada muslim yang begituan, sebab yang ada hanyalah para pembela Islam cum ulama. Itu artinya tak ada itu para munafik di sini. Ungkapan saya sebanyak ini tadi kan cuma andai.