Alasan Emoji WhatsApp Bisa Redam Lahirnya Perang Dunia Ketiga

Lebih dari separuh perang dalam sejarah terjadi karena manusia gagal berkomunikasi.

MOJOK.COFungsi emoji WhatsApp sebenarnya tidak sesepele itu. Hal yang mungkin tak terbayangkan oleh para ahli komunikasi zaman dulu.

Seorang dosen, dulu, di mata kuliah Komunikasi Antarpribadi, pernah berpesan. Kata beliau, meskipun berbicara lewat telepon, cobalah untuk tersenyum.

Lawan bicaramu memang tidak bisa melihatmu, tapi ia bisa merasakan senyumanmu. Getaran suara yang disertai senyuman beda dengan yang tidak.

Belakangan saya baru tahu kalau ada yang namanya smiley voice, biasanya diajarkan di kelas-kelas Radio Broadcast. Tarikan sudut bibir bisa mempengaruhi efek suara yang keluar.

Konon, beberapa pekerja yang melibatkan layanan suara, misalnya customer service bank, juga dianjurkan untuk tersenyum ketika menerima telepon, meskipun nggak kelihatan.

Lalu bagaimana dengan pesan teks seperti SMS atau WhatsApp? Bisakah orang yang membacanya menangkap emosi di balik teks yang kita tulis?

Izinkan saya bercerita sedikit tentang ini. Istri saya, Desanti, sedang memulai bisnis kuliner. Istri saya membuat warung online dengan nama #bekalochan. Dinamai #bekalochan karena memang awalnya ini postingan cerita di akun medsosnya, tentang bekal makan siang yang dia masak untuk saya setiap berangkat kerja.

Karena menurut saya masakan istri saya sangat enak, saya lalu punya ide bagaimana kalau sekalian dijual saja? Eh, dia setuju.

Jadi, setiap dia bikin bekal untuk saya, dilebihkan beberapa porsi untuk dijual di kompleks. Alhamdulillah keterusan sampai sekarang.

Nah, gara-gara kini istri saya jualan, makanya belakangan kami kerap berkomunikasi dengan orang-orang baru. Dan kebetulan, tempo hari saya merasa tidak enak kepada seorang pelanggan kami.

Si pelanggan memesan “ayam tangkap” (salah satu menu andalan kami) tapi tidak bisa kami penuhi segera. Karena saat ini cuma Desanti yang masak dan saya belum bisa bantu.

Ketika membalas pesan pelanggan itu, Desanti menulis, “Maaf, tukang masaknya cuma satu.”

Pelanggan itu mungkin agak baper dan menulis reply yang saya tangkap seperti, “Ya udah, kalau nggak siap jangan buka order dong.”

Saya bilang ke Desanti, lain kali selalu sertakan emoji WhatsApp senyum (😊) dan salam Thailand (🙏) setiap membalas pesan, apalagi kalau itu orderan dagangan.

Kelihatannya sepele sih, tapi itu bisa memberi kesan baik dan ramah. Supaya orang yang membacanya tahu kamu tersenyum dan tulus. Pesan teks tidak seperti pesan suara yang masih ada kemungkinan orang merasakan emosimu.

Tidak apa ketikan kita terlihat “ramai” gara-gara emoji WhatsApp ini, asalkan pesan diterima dengan baik. Saya ingatkan juga pentingnya komunikasi.

Jangan lupa, lebih dari separuh perang dalam sejarah, terjadi karena manusia gagal berkomunikasi (failure to communicate). Jauh lebih banyak daripada yang disebabkan oleh perebutan tanah dan pemaksaan agama.

Nah, sampai di sini, saya akhirnya merasa perlu menyebut nama Harvey Ball. Harvey Ball (lahir 10 Juli 1921-wafat 12 April 2001) adalah seniman Amerika yang dikenal sebagai perancang gambar bulatan kuning dengan dua titik dan garis lengkung yang kemudian dikenal dengan sebutan smiley. Ikon yang selalu ada di emoji WhatsApp kita.

Ikon ini dipakai di seluruh dunia sebagai simbol keakraban dan keramahan. Harvey sendiri tidak pernah mendaftarkan temuannya ini sebagai merek dagang (trademark) dan membiarkan siapa pun leluasa menggunakannya. Sungguh orang baik. Alfatihah untuk beliau. Eh.

Sebelum era emoji WhatsApp seperti sekarang, ikon smiley dulu biasa digambarkan dengan mengetik simbol “:”, “-“, dan “)”. Nah, ini yang kemudian disebut “emoticon”, yaitu rangkaian tanda baca, simbol, atau huruf yang kalau digabungkan bisa menggambarkan ekspresi atau emosi.

Sekian puluh tahun kemudian, seorang desainer Jepang bernama Shigetaka Kurita membawa emoticon ke tahap yang lebih jauh: emoji.

Kurita adalah orang yang paling sering disebut sebagai kreator emoji. Berbeda dengan emoticon, emoji lebih luas pemaknaannya. Tidak hanya ekspresi, tapi bisa juga menggambarkan situasi atau fenomena.

Kurita membuat emoji pertamanya pada tahun 1999, saat dia bekerja untuk perusahaan telepon seluler  Jepang NTT DoCoMo.

Ketika itu, sistem perusahaan tersebut menyediakan fitur e-mail namun terbatas 250 karakter saja. Kurita dan beberapa rekannya kemudian mencoba merancang simbol yang bisa digunakan menyampaikan pesan ekspresi namun tetap hemat karakter. Muncullah emoji.

Istilah emoji sendiri berasal dari kata Bahasa Jepang “e” yang berarti gambar, dan “moji” yang berarti karakter.

Pertama kali dirilis, NTT DoCoMo hanya menyediakan 176 emoji dalam satu set untuk ponsel dan pager. Saat ini sudah ada ribuan emoji yang dipakai di berbagai platform, dan sangat berguna untuk menggambarkan berbagai perasaan yang tidak bisa ditulis.

Cara kita berkomunikasi saat ini mungkin tidak pernah terbayangkan oleh para ahli komunikasi zaman dulu. Teknologi berkembang membawa potensi konflik baru, dan mau tidak mau manusia harus beradaptasi kalau ingin tetap bertahan.

Sehingga tidak berlebihan juga rasanya kalau kita harus berterima kasih kepada Harvey Ball dan Shigetaka Kurita. Beliau-beliau ini telah menghindarkan kita dari ketegangan yang tak perlu akibat salah memahami makna teks.

Sudah banyak contoh yang kita temui, orang bertengkar betulan di dunia nyata karena salah paham di dunia maya. Bukan tidak mungkin salah komunikasi semacam ini juga bisa memicu pecahnya perang dunia ketiga.

Setidaknya, foto yang saya lampirkan di bawah ini sering saya jadikan contoh di sejumlah diskusi penulisan. Ini kejadian nyata di sebuah kompleks perumahan (disclaimer: saya tidak bilang ini kompleks tempat tinggal saya ya :-D).

Awalnya, seorang warga bernama Pak Agung menginformasikan ke grup WA warga mengenai dugaan pungli oleh oknum sekuriti kompleks. Namun informasi itu tidak dipercaya begitu saja oleh anggota grup lain, yang kalau dilihat dari percakapan ini adalah pejabat RT.

“Saya tidak percaya Pak Agung.”

Begitu tulis Pak RT yang memiliki nomer 0811 9 sekian-sekian itu.

Pak Agung tersinggung. Ia merasa dianggap pembohong oleh Pak RT. Padahal maksud Pak RT adalah: ia tidak percaya pada informasi itu, bukan pada Pak Agung-nya.

Pak RT lupa menambahkan koma sebelum nama. Jelas maksud Pak RT sesungguhnya adalah: “Saya tidak percaya, Pak Agung.”

Lupa koma dan tanpa emoji satu di WhatsApp pun, perbincangan ringan itu akhirnya jadi masalah. Tak berselang lama, Pak Agung pun left group setelah itu.

Yah, begitulah. Hanya karena kurang tanda baca saja, kesan yang ditampilkan bisa berbeda makna, bahkan sampai memicu perselisihan.

Ngomong-ngomong, pernah ada teman yang mendebat emoji WhatsApp yang begini 🙏 sebenarnya bukanlah “salam Thailand” seperti yang saya anggap. Katanya, itu emoji “tos” atau high five.

Padahal emoji itu sering saya pakai setiap mengakhiri pesan yang saya kirimkan untuk atasan saya di kantor. Tempo hari juga saya menggunakan emoji WhatsApp ini 🙏 ketika mengirimkan pesan kepada teman yang orang tuanya wafat.

Wah, kacau sekali saya kalau itu bukan simbol salam. Kalau emoji WhatsApp itu dianggap sebagai high five, pesan duka saya kan bisa saja terbacanya jadi gini: “Turut berduka. High Five!

Waduh, kok kesannya saya jadi sangat tidak berempati ya? Btw, kalau menurutmu gimana? Begini ini 🙏 diartikan “salam ala orang Thailand” atau memang “high five”?

BACA JUGA Makna Setiap Warna dan Bentuk Emoji Hati di WhatsApp yang Ternyata Beda-beda dan tulisan Fauzan Mukrim lainnya.

Exit mobile version