Alasan-alasan Berhenti Nulis buat Mojok

MOJOK.COSatu kali Mojok bikin acara di Malang. Saya ketemu banyak krunya. Satu yang selalu saya ceritakan ke banyak orang adalah pertemuan saya dengan Gus Mul.

Salah satu tanda bahwa negara kita, Indonesia, sudah darurat corona adalah ketika kita semua melihat Pak Terawan sudah mulai pakai masker.

“Yang sakit yang pakai masker. Yang sehat nggak usah,” kata beliau suatu kali.

Kalau sehat tapi pakai masker, itu namanya goblog. Kira-kira begitu lah kesimpulannya. Jadi ketika Pak Menteri pakai masker, kemungkinannya cuma ada dua: satu, beliau lagi sakit; atau dua, beliau sehat wal afiat tapi….

Yang mana pun dari keduanya, buat kita yang sedang dikepung virus corona ini, benar-benar celaka.

Bayangkan, kalau yang terjadi adalah yang pertama, kalau orang nomor satu di jajaran kementerian kesehatan republik ini saja bisa kena corona, terus kita-kita yang kalau berobat ke Tante Ningsih Tinampi pun masih inden, bisa apa?

Kalau yang terjadi yang kedua, apalagi. Orang nomor satu di urusan kesehatan negara kita ternyata sehat, tapi… begitulah. Accident twelve, kalau kata ibu saya. Cilaka dua belas.

Lama sekali saya tidak menuliskan kalimat-kalimat bernas seperti itu. Kalimat-kalimat yang dalam istilah Mojok disebut “nakal tapi banyak akal”.

Ada perasaan aneh yang menyelinap diam-diam di dalam dada. Perasaan yang kalau redakturnya Arlian Buana (Bana) akan disebut “kangen”, tapi kalau redakturnya Eddward S. Kennedy (Edo) akan disebut “bangsat” atau “bedebah” sekali.

Saya pertama sekali berkenalan dengan Mojok ketika teman-teman di kantor lama saya ramai membincangkan artikel tulisan Agus Mulyadi (Gus Mul). Seingat saya tulisannya soal Anang atau Krisdayanti. Lupa-lupa ingat saya.

Soalnya, dari beberapa redaktur Mojok, cuma Gus Mul yang nggak pernah ngirim wasap minta tulisan ke saya. Bangsat sekali ini orang. Walaupun kalau saya kirim tulisan, nggak pernah ditolak juga sih.

Tapi saya tergugah untuk menulis justru ketika tulisan Mbah Nyutz tayang di Mojok. Sudah lupa saya isi tulisannya. Mungkin karena beliau bukan salah satu Redaktur Mojok, jadi nggak penting juga buat diingat.

Lalu saya menulis di fesbuk, status. Seperti layaknya alay-alay berkepala empat lainnya. Status itu lalu disambar Bana, lewat jalur pesan fesbuk. Dengan kata-kata berbunga-bunga yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh bujuk rayu Raul Lemos ketika nembak Krisdayanti.

Selebihnya adalah sejarah.

Satu kali Mojok bikin acara di Malang. Saya ketemu banyak krunya. Satu yang selalu saya banggakan—dan ceritakan ke banyak orang—adalah pertemuan saya dengan Gus Mul dan mantan pacarnya, Kalis Mardiasih si Gadis NU.

Keduanya: sungkem. Dulu saya pikir mungkin begitulah mereka memperlakukan orang yang lebih tua. Mirip-mirip kalau ketemu ulama atau kiai-lah.

Padahal, sebagaimana keyakinan saya sebagai umatnya Yesus, kami semua adalah anak raja, bukan ulama. Seharusnya mereka berdua berlutut, bukan sungkem.

Tapi peristiwa sungkem itu membawa implikasi lain pada saya. Pandangan saya terhadap Mojok mulai berubah. Karena Gus Mul dan Kalis sungkem, membuat saya berpikir dianggap ulama, pasca-pilpres jilid 2 saya mulai menimbang-nimbang, jangan-jangan takdir saya bukan jadi arsitek partikelir atau penulis Mojok, jangan-jangan takdir yang menunggu di depan saya adalah menjadi wakil presiden.

Lalu saya putuskan untuk berhenti menulis buat Mojok.

Cerita dengan penggemar juga tidak kalah seru. Seorang penggemar bahkan sampai mengirimkan tiga botol sambal ke rumah. Laki-laki. Sampai saya harus nulis status lagi di fesbuk: “Maaf, tidak terima fans cowok.”

Tapi di Malang, setiap kali ada undangan jadi pembicara (ini efek Mojok yang lain) atau sekadar datang ke satu acara, orang-orang selalu memperkenalkan saya sebagai Penulis Mojok.

Terus terang ini bikin gerah. Saya tidak siap dengan popularitas. Saya tidak siap kalau main ke alun-alun lalu mendengar elu-elu “Cepi, Cepi, Cepi, I’m pregnant….”

Saya, tentu saja, tidak siap mati muda seperti Kurt Cobain yang tidak kuat menanggung beban popularitas.

Bukan karena takut mati, tapi karena sudah terlanjur tua. Kepala empat, ingat?

Tapi Mojok mengundang saya sekali lagi ke jamborenya di Jogja. Naik kereta dari Malang, tolah-toleh di Stasiun Tugu, celingukan di pangkalan ojek, dan sesampainya di lokasi jambore… nggak satu pun yang kenal sama saya. Hajinguk benar anak-anak muda fans Mojok di luar Malang ini.

Inilah alasan kedua yang bikin saya tambah mantap berhenti menulis buat Mojok.

Tapi alasan yang lebih keren sih supaya anak-anak muda yang nggak kenal saya itu juga punya kesempatan untuk menulis di Mojok. Ada ide-ide baru, sudut pandang baru, dan, tentu saja, lelucon-lelucon baru. Bagian ini nggak usah terlalu dimasukkan ke dalam hati, saya cuma lagi pura-pura bijaksana.

Belakangan ini terus terang saya jarang membaca tulisan-tulisan di Mojok. Soal ini mungkin pengalaman saya dengan Mba Ning, penjual nasi empok di dekat rumah saya agak mirip.

Mba Ning menamai warungnya TPI, Tekone Paling Isuk (datangnya paling pagi). Plesetan dari salah satu stasiun televisi nasional, Televisi Punyanya (waktu itu) Bu Indrarukmana.

Jualannya ya cuma nasi empok itu, nasi jagung dengan urap-urapan dan ikan asin. Laris manis. Begitu buka langsung diserbu pembeli, persis seperti artikel Mojok yang waktu itu terbit sehari sekali.

Entah karena keuntungan yang berlipat atau karena dapat sokongan dana dari Pak RW (sempat diancam akan dibakar oleh aktivis nasi empok Malang), Mba Ning nekat menambah menu dan menambah jam buka warungnya.

Tadinya cuma pagi mentok jam sembilan, sekarang sampai malam. Tadinya cuma nasi empok, sekarang tidak ada bedanya dengan warung nasi campur lainnya.

Pengalaman makan nasi empok di warung Mba Ning tidak lagi istimewa. Warung Mba Ning bukan lagu warung alternatif, seperti Mojok yang tidak lagi ada di pojokan.

Mojok yang menambah artikel yang ditayangkan tiap harinya, yang terbit tidak lagi sehari sekali, Mojok yang sudah bergeser ke tengah. Walaupun sesekali saya masih makan di warung Mba Ning juga, seperti saya sesekali masih membuka dan membaca artikel-artikel Mojok.

Saya tidak menyebut sebagai bagian dari keluarga Mojok (kalau keluarga nanti honornya nggak cair…), tapi bagaimanapun, kalau sebagian besar orang tumbuh besar bersama tivinya Mba Tutut dan film-film Indianya, saya menumbuhkan uban bersama Mojok dan lelucon-leluconnya.

Dan todongan redaktur-redakturnya:

“Bisa dipanjangin dikit nggak, Mz….”

BACA JUGA Jokowi, Ahok, dan Kloset yang Ditukar atau tulisan Mas Cepi Sabre lainnya.

Exit mobile version