Akun Penyair Instagram dan Berkembangnya Sastra Digital

MOJOK.COKeresahan itu butuh disampaikan. Akun penyair Instagram hadir sebagai salah satu alternatif yang dapat menyuarakannya.

Perkembangan era digital saat ini, tak pelak mengubah banyak sisi kehidupan kita menjadi serba digital. Termasuk dalam dunia kesastraan dengan berkembangnya apa yang saya—lha, memangnya saya siapa, yak?—sebut sebagai sastra digital. Kita dapat melihat betapa menjamurnya akun-akun penyair Instagram saat ini. Dengan sepotong dua potong kalimat sederhana, dikemas dalam tampilan visual yang sedap dipandang, dan voila… jadilah Koko Crunch! postingan syair nan hits yang siap mewakili perasaan para pembacanya!

Perlu dipahami, akun syair tentu berbeda dengan akun kutipan yang menggunakan karya orang lain mencantumkan referensi. Akun-akun penyair Instagram mengemas kata-kata yang biasanya bertema tertentu dengan template ilustrasi khas yang menjadi ciri unik dari akun yang bersangkutan.

Sebetulnya, bagaimana, sih, akun-akun syair begitu menjamur di Instagram kita saat ini?

Saya membayangkan kurang lebih begini, ada seseorang yang mengunggah fotonya di Instagram dengan sepotong puisi ciptaannya sendiri. Lalu, temannya yang membaca, berkomentar dengan bertanya, buat ciapa, neh? Lagi galau yhaaa? Cowok kok melankolis, seh?

Komentar semacam itu ternyata terus berlanjut, sampai yang bersangkutan bosan. Nah, supaya nggak dikepoin sama teman-temannya lagi, dibuatlah satu akun khusus yang memuat curahan hatinya.

Ada yang memang membuat akun syair sebagai sarana curhat atau tempat mengode gebetan. Ada pula yang mungkin terinspirasi oleh akun-akun syair yang telah tenar sebelumnya dan mencoba peruntungannya dengan melakukan hal yang sama. Entah untuk sekadar pendulang like dan follower supaya bisa dapat endorse-an, ataupun punya target khusus untuk dibukukan biar kayak #nckthi. Apa pun niatannya, siapalah kita yang berani menebak-nebak isi hati seseorang sebenarnya, kan?

Sebagai salah satu media sosial yang menaungi hampir semua kebutuhan masyarakat, Instagram menjadi media alternatif bagi para penyair-penyair yang baru memulai karirnya di dunia kepenulisan. Ataupun sebagai pengalihan dari tulisan-tulisannya yang ditolak berbagai media massa.

Adanya Instagram sebagai media untuk menampung karya, tentunya patut disambut dengan baik. Sebagai pemilik akun, kita punya kewenangan untuk mengelola, menyunting, dan mempublikasikan syair kita sendiri. Hal ini memberikan kita kebebasan berkarya terutama dari segi waktu. Kita tak akan dibuat gundah gulana seperti saat menanti konfirmasi terbit tidaknya tulisan kita dari media massa.

Selain itu, kita juga bisa menjangkau lebih banyak pembaca dengan menambah tagar tertentu agar muncul di kolom pencarian atau explore.

Keberadaan akun-akun penyair Instagram, juga punya dampak positif bagi kita sebagai pembaca. Tak perlu repot-repot membeli atau pinjam bukunya Ali de Praxis yang belum-belum udah laku keras itu, kita sudah bisa membaca puisi atau syair-syair orang lain dengan mengikuti akun Instagramnya. Lagi-lagi, ini soal kemudahan mempertemukan tulisan dengan pembacanya. Bukan tidak mungkin, dengan membaca syair tersebut, dapat mendorong netizen kita untuk mulai mencintai dunia sastra, yang semoga, berdampak meningkatkan minat baca masyarakat kita yang masih berada di ururan kedua dari bawah.

Tidak main-main, hanya dengan membuat satu akun syair saja, sudah bisa menjadikan diri kita sebagai penulis, sekaligus editor, sekaligus pemimpin redaksi, sekaligus admin, sekaligus terhindar dari pertanyaan “buat sapa neh?” dari teman-teman kita. Bagaimana? Sungguh, mendorong kita menjadi pribadi yang sangat multitalenta, kan?

Mengunggah karya di Instagram tentunya mesti mengikuti pakem yang berlaku di Instagram sebagai media visual. Yang artinya, karya kita tak hanya dinilai dari pemilihan diksi dan unsur-unsur sastrawinya saja, tapi juga dilihat dari visualnya. Selain diharuskan mahir menulis, kita juga dituntut mahir mendesain. Oleh karena itu, marilah kita berterima kasih kepada pencipta aplikasi Canva yang telah membuat aplikasi desain gratis, sehingga kita tidak perlu repot-repot menyusahkan teman kita yang pintar bikin desain untuk mendesain grafisnya. Hip hip, horeeeee!!! Udah nyusahin, masih minta gratisan, lagi! Tak tahu diri betul!

Meski visual ini kemudian sering kali menjadi distraksi bagi kualitas dari tulisan itu sendiri. Apakah jumlah like di postingan tersebut dikarena kualitas syairnya yang aduhai? Ataukah hanya karena tampilannya saja yang Instagram-able?

Fenomena akun penyair Instagram sebenarnya kurang lebih sama saja dengan apa yang terjadi dengan fenomena Wattpad. Media baru, penulis baru. Sulit mencari akun penyair Instagram yang betul-betul didedikasikan untuk memperkaya dunia sastra kita.

Kualitas tulisan acap kali juga tak sebanding dengan jumlah like yang didapat. Lantaran, kebanyakan dari syair-syair tersebut menggunakan kalimat-kalimat singkat dengan gaya bahasa yang terlalu ringan dan minim metafora. Tulisan yang seperti ini hanya akan menjadi tulisan yang dangkal akan makna. Hanya sekadar mengelus sisi-sisi melankolis pembacanya, demi memancing, ahhh, ini tuh, aku banget, uwuwuuwww~

Selain soal minimnya makna, eksplorasi gaya bahasa dan tema pun masih melulu tentang itu-itu saja. Terkait tema, saya telah melakukan riset kecil-kecilan (halah) dan mendapatkan lima tema yang biasanya digunakan oleh akun-akun penyair Instagram ini: hubungan tanpa status, cinta yang halal, cinta dalam diam, cinta jarak jauh, dan melupakan mantanDi luar itu, ada pula tema keresahan ala anak indie yang senang mencatutkan senja, kopi, dan hujan dalam syair-syair mereka.

Tapi setelah dipikir-pikir, ketika para “wakil rakyat” dirasa tidak betul-betul mewakili rakyatnya. Mungkin di situlah peranan akun-akun penyair Instagram yang bisa mewadahi keterwakilan perasaan-perasaan kita~

Exit mobile version