MOJOK.CO – Bagaimana caranya kampanye kaum feminis menyambut Hari Perempuan Internasional nggak dianggap sebagai bagian dari kaum liberal?
Sebentar lagi International Women Day (IWD) alias Hari Perempuan Internasional diperingati tiap tanggal 8 Maret. Periode tahunan yang akan membuat simpul-simpul jaringan perempuan sudah pasang kuda-kuda untuk menyambut. Tentu dengan kegiatan yang disebut dengan gagah: Konsolidasi Aksi.
IWD atau Hari Perempuan Internasional begitu populer sampai jadi tradisi di berbagai belahan bumi bulat maupun datar. Sebagai negara ber-flower yang telat maju, sudah sewajarnya kita pun harus meniru. Bisa bicara apa bangsa bekas jajahan ini soal kesetaraan?
Kita pun mesti merujuk gelombang pemikiran feminisme yang lahir di Eropa dan Amerika untuk mampu memaknainya. Sebab, ya gimana ya… tradisi kita emang kadung sangat patriarki, Jeng!
Padahal salah satu ciri peradaban yang maju adalah bilamana perempuannya punya otoritas dan kebebasan dalam segala hal, termasuk dalam mengekspresikan tubuhnya. Kita pun memakai tesis Michel Foucault dalam buku Discipline and Punish melalui sebuah manifesto “tubuhku otoritasku”.
Berikut saya coba sederhanakan argumen-argumen yang sering jadi poin kampanye “tubuhku otoritasku” ini.
Hatentu ini sebatas pengetahuan yang berbasis artikel-artikel populer dan meme-meme Instagram aja. Monmaap kalau nggak mewakili secara kaffah pandangan feminis. Maklum, hasil didikan medsos, pengetahuannya jadi agak berdasar timeline.
Otoritas tubuh perempuan itu punya si pemilik tubuh, bukan masyarakat. Jadi, gw mau pake baju model apapun serah gw dong. Tubuh-tubuh gw.
Supaya laki-laki nggak gampang sange, ya suruh mereka jaga pandangan, bukan perempuannya dikekang. Didik mereka dengan pelajaran seks bukan merepresi perempuannya dengan aturan moral.
Kalau dilihat-lihat, cara macam itu mah full bebas alias liberal. Di mana hak kebebasan individu di atas segalanya. Jadinya saya bakalan manthuk-manthuk aja kalau ada yang teriak, “Dasar feminis liberal, dasar kaum liberaaaal!”
Masalahnya, mau apapun bentuk perjuangan klub-klub feminis di berbagai lini kehidupan, rasa-rasanya kok aneh aja kalau semua pemikiran feminis terus digeneralisir liberal semua. Padahal kan nggak semuanya juga mikir begitu.
Nah, supaya nggak dianggap liberal-liberal amat saat aksi IWD atau Hari Perempuan Internasional, berikut ada tiga masukan yang saya rasa cucok dan mantul menjadi bahasan dalam kampanye ini. Terutama untuk menerjemahkan manifesto “tubuhku otoritasku”.
Pertama, melawan penjajahan industri skin care dan kosmetik terhadap tubuh-tubuh perempuan.
Harus diakui sih, narasi “tubuhku otoritasku” jadi pembelaan untuk—misal—lepas jilbab atau memakai rok mini bagi beberapa perempuan. Hal yang bikin orang-orang di luar sana makin semangat teriak liberal ke kita-kita (kita?).
Padahal di sisi lain, kampanye “tubuhku otoritasku” juga bisa merambah pada isu menghapus penjajahan industri kecantikan dengan standar-standarnya yang—jujur—agak mengintimidasi. Kayak standar cantik itu kulit harus lebih putih, badan lebih tinggi, dan tubuh lebih langsing.
Ide perlawanan semacam ini pernah diilhami oleh seorang remaja dari Kanada, Sultana Yusufali. Konon tatkala lagi ramai pernyataan soal jilbab sebagai bentuk opresi, Sultana lalu mengutip ulang manifesto My Body is My Own Business oleh Naheed Mustafa tentang jilbab yang justru membebaskan.
Argumennya dipaparkan dengan baik lewat sebuah tulisan berjudul A Lesson To Be Learned. Sultana menegaskan kalau filosofi jilbab itu sebenarnya justru membebaskan perempuan dari penilaian standar industri kecantikan global.
Bahkan bisa juga disebut jilbab merupakan bentuk perlawanan terhadap industri kecantikan tersebut. Sebab, dengan jilbab, standar kecantikan kulit putih-tinggi-langsing jadi nggak lagi laku. Ya iya dong, sebagian besar bagian tubuh perempuan kan jadi ketutupan.
Oke deh, meski akhirnya muncul standar kecantikan baru dengan industri jilbab atau gamis syar’i, namun paling tidak standar kecantikan itu tak lagi tunggal dan nggak bisa lagi dimonopoli.
Mendadak muncul arena pertarungan standar kecantikan yang makin banyak irisannya. Dan tentu, industri kecantikan global benar-benar nggak suka dengan model pertarungan kayak gini.
Gimana, ukh? Kamu kepikiran gitu juga ya kan?
Ok next.
Kedua, pengetahuan mengenai tubuh yang seutuh-utuhnya dalam menyambut Hari Perempuan Internasional.
Sebelumnya, terima kasih untuk para agen feminis yang mengharamkan perbuatan body shaming. Saya sendiri sering tertekan atas komentar tubuh yang sama tipis dengan kartu ATM.
Melanjutkan soal standar kecantikan, perbuatan body shaming itu sebenarnya bawaan dari ketidakmampuan perempuan memenuhi standar itu. Bentuknya jadi bisa macam-macam, bisa warna kulit, bentuk rahang, bentuk hidung, cuma ya yang paling santer ya soal berat badan.
Ada yang rela berhari-hari cuma makan buncis supaya berat badan cepat turun, sampai kena tipes. Sebaliknya, ada yang 24 jam ngemil nonstop agar berat badan meningkat signifikan. Hasilnya malah saldo terkuras tapi badan tetap seringan kapas.
Ternyata tubuh manusia itu nggak seperti balonku ada lima yang besar kecilnya bisa diatur segampang mengatur kadar udara di dalamnya. Tubuh punya macam-macam organ yang kinerjanya saling berkesinambungan. Untuk memenuhi asupan kalorinya, Indomie pun bukan solusi.
Pengetahuan mengenai tubuh tentu bukan hanya soal sistem reproduksi, ada juga sistem metabolisme. Sistem metabolisme itulah yang vital dibahas supaya kita tahu alur penyerapan nutrisi oleh tubuh. Kita pun benar-benar paham penyebab kenapa kita sedemikian kerempeng atau sedemikian melar.
Jadi dalam hal ini “tubuhku otoritasku” juga menyentuh pada aspek pengetahuan kita akan tubuh sendiri. Pahami dulu tubuhmu butuhnya apa, jangan apa-apa kok ngikutin standar tubuh orang lain.
Terakhir, provokasi diet radikal dan revolusioner untuk Hari Perempuan Internasional!
Saran terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari saran kedua. Jika telah paham atas sistem-sistem organ tubuh, kita pun butuh asupan penopang yang dikehendaki tubuh. Maka, saya sarankan agar feminis merebut kembali narasi “diet”.
Tenang, nanti bisa dibikin buklet propagandis dengan judul besar: Reclaiming Diet!
Sebab, selama ini pemaknaan atas diet secara umum dimiliki oleh industri pelangsing badan. Membuat banyak perempuan sering salah kaprah menjalani program ini.
Diet radikal dan revolusioner adalah sebuah konsep makan yang sehat dan dapat diterima dengan baik oleh sistem metabolisme tubuh manusia. Dengan begitu, artinya kita auto melawan penjajahan industri kuliner terhadap tubuh kita.
Efeknya, sumbangsih PDB dari sektor ekonomi kreatif mungkin akan menurun. Sebab, menurut Bekraf, pendapatan terbesar sektor tersebut (41,69%) disumbang oleh industri kuliner.
Dampak lainnya, umat tidak hanya terus-terusan memperhatikan label halal MUI di kemasan makanan, tapi juga kandungan nutrisinya. Kenapa daging babi dan anjing—sekalipun disantap dengan sayur kol—kurang disarankan dikonsumsi, nggak melulu harus dikaitkan dengan status haram, tapi bisa dipahami sebab ilmiahnya.
Standarisasi makanan pun jadi ketat, seperti di Jepang dan negara-negara Uni Eropa, negara dengan peringkat life expectancy cukup unggul.
Siapa tahu upaya ini bisa menaikkan peringkat angka harapan hidup manusia Indonesia yang sekarang berada di urutan ke-139. Dengan diet yang sehat (bukan cuma untuk bikin cantik) anggaran pengeluaran BPJS pun jadi nggak lagi terlalu banyak keluar untuk membiayai pengobatan jantung, stroke, diabetes, dan kanker.
Lagian, buat apa juga ngejar jadi cantik gara-gara ikut-ikutan standar diet tapi tubuh jadi ringkih gampang kena berbagai macam penyakit. Iya nggak?
Hm, yak kira-kira itu aja sih saran saya biar kampanye menyambut Hari Perempuan Internasional nggak kelihatan liberal-liberal amat. Cukup tiga saran aja. Soalnya kalau lebih dari itu takutnya malah jadi visi-misi capres.