MOJOK.CO – Dua sekawan dalam kemiskinan menjalin persahabatan yang kuat. Mereka berbeda agama dan agama bagi diri mereka masing-masing adalah cahaya dan anugerah. Tapi, di hadapan masyarakat, perbedaan agama membuat persahabatan mereka terlarang.
Dari membaca sedikit karya sastra modern India, saya menangkap kesan kuatnya tema keagamaan, konflik, dan persahabatan bertumpang-tindih dengan masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, buruknya pelayanan birokrasi, dan penindasan perempuan. Dari segi sosial ini, tampak kesejajaran latar belakangnya dengan Indonesia dan, barangkali karena itu, rasanya ada selalu perasaan senasib ketika membacanya.
Sebagai contoh, novel penulis perempuan Amrita Pritam (1919-2005) berjudul 49 Hari ini. Novel ini berkisah tentang persahabatan dua orang yang sama miskin papanya, tapi berbeda agama: Karim, seorang pekerja percetakan, dan Sanjay Lalamu, seorang penulis muda yang sedang merintis karier. Persahabatan ini diperlihatkan pengarang dalam adegan yang panjang dan mengesankan ketika Karim sekeluarga mengurus Sanjay yang sakit demam, tertekan karena baru saja ditinggal mati kekasihnya.
Ketulusan dan kesabaran Karim mengurus Sanjay ini mengundang keharuan dan simpati. Tetapi, hukum sosial tidak mudah menerimanya karena Karim dan Sanjay berbeda agama. Saat Karim mengundang dokter ke rumahnya untuk memeriksa Sanjay, terjadi dialog yang sangat mengharukan.
“Tuan Dokter! Janganlah dimasukkan hati, … saya tak dapat membayar ongkosnya.”
“Bagaimana keadaannya?” Dokter berhenti di ambang pintu sedikit bimbang.
“Seperti sebelumnya… tidak ada perubahan sedikit pun. Kecuali barangkali suhu badannya. Sekarang sudah kembali biasa.”
“Tunggu dulu.” Ia menahan Karim dari memanggil taksi yang lewat namun tidak bergerak masuk maupun keluar.
“Anda katakana nama Anda Karim Qadir?”
“Ya, benar.”
“Dan Sanjay, nama pasien.”
“Benar.”
“Bagaimana mungkin? Anda muslim, ia Hindu.”
“Benar.”
“Maksud saya, jika yang terburuk terjadi, siapa yang bertanggung jawab?”
“Tuhan di atas sana. Kita semua dikasihi-Nya bukan?”
“Anda belum mengerti. Siapa yang akan menandatangani jika kita diizinkan memasukkannya ke rumah sakit?”
“Saya… siapa lagi?”
“Tetapi, Anda bukan kerabatnya. Tanda tangan Anda tidak akan diterima.”
“Anda tidak usah terlibat dalam kekusutan ini, Tuan Dokter! Biarkan ia sehat dulu. Akan ada cukup waktu bagi Anda untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu dan ia akan menjawab.”
“Saya mengerti maksud Anda, namun hukum tetap hukum.”
Jantung Karim berdegup. Garis keningnya menggali alur pikiran yang lebih dalam. “Hukum macam apa yang tidak membangun hubungan antara dua sahabat?”
Kerut muka yang mengerut kening dokter dan kaya pengalaman maupun bakti sosial di mana-mana itu kini menonjol. “Saya sarankan agar Anda tak menyia-nyiakan waktu untuk segera saja beri tahu kerabatnya. Kalau bisa orang tuanya.”
“Mereka sudah lama meninggal.”
“Bagaimana dengan saudara-saudaranya?”
“Ia hanya punya seorang saudara tiri laki-laki yang setahuku tak pernah ditemuinya.”
“Ya, kini saatnya saudaranya itu berdiri di sisi ranjangnya.”
“Bagaimana Anda dapat berharap saya dapat menghubunginya? Saya tidak tahu namanya, apalagi alamatnya.”
“Anda harus mencoba, saat ini juga.”
“Bagaimana saya melakukannya?”
“Jadi, apa jalan keluarnya?”
“Serahkan kepada Yang Maha Kuasa.”
“Saya sarankan agar Anda pikirkan lagi. Ini bisa mudah meletus menjadi kerusuhan agama Hindu-Muslim.”
“Biar saja….”
“Ini bisa berbalik dan membakar punggung putra-putra Anda.”
“Mengapa ini menjadi masalah? Kami tidak memedulikan diri kami di antara yang hidup jika sesuatu terjadi padanya.”
***
Sementara Sanjay tergeletak bertarung dengan maut, Karim sahabatnya dan si dokter yang mengobatinya berdialog mengenai soal yang sangat absurd. Si dokter adalah wakil dari kelas orang terpelajar dan mungkin juga cukup berada. Ia memikirkan sesuatu yang lebih luas dari semata nasib seorang Sanjay. Apakah dokter itu keliru? Tidak juga. Ia sadar betul bahaya sebuah masyarakat dengan komunalisme dan parokialisme keagamaan ini. Ini adalah masyarakat toples rengat. Sedikit saja terbentur, pecah berkeping-keping.
Sedangkan Karim berpikir dalam kerangka yang sederhana dan skalanya kecil, yang berbasis pada kemanusiaan dan ketulusan persahabatan. Bukan tidak mungkin ketulusan jiwanya itu dibentuk oleh ajaran agamanya. Selepas dokter pergi, ia hanya ingat pada suatu hari ketika Mita, dalam keadaan yang parah, diusir oleh suaminya. Tak seorang pun mau mengakui sebagai kerabatnya di dalam kamar sempit yang Karim temukan untuknya. Namun, saat ia mati, mereka bergegas di jalur-jalur yang dihamparkan hukum demi menuntut kepemilikan tubuhnya.
Agama memang sebuah paradoks. Hadir di dalam diri seorang Karim, ia menjadi cahaya terang dan anugerah. Sanjay tergeletak lima hari. Ia sebenarnya telah mati suri, tetapi di dalam kepercayaannya, roh orang yang mati itu akan terbang selama 49 hari sebelum meninggalkan jasadnya. Namun, kebaikan dan ketulusan Karim justru mengembalikan roh itu ke tubuhnya dan Sanjay pun hidup kembali. Dalam keadaan raganya terbang, mulutnya hanya menyebut dua nama: Karim dan nama kekasih yang meninggalkannya.
Memang tak ada penjelasan dalam novel ini mengapa Karim dan Sanjay sampai pada suatu persahabatan yang erat tersebut. Mungkin penjelasan itu dianggap bertele-tele karena pesannya bukan di situ. Pengalaman mati suri tersebut menjadi pengalaman spiritual yang luar biasa bagi Sanjay. Hal itu mendorongnya untuk mengangkatnya ke dalam sebuah novel. Ia kasih judul novel itu 49 Hari.
Melalui dialog-dialog panjang, novel Sanjay ini menjadi kisah lanjutan persahabatan kedua insan ini. Pertukaran pemikiran di antara keduanya memberi gizi pada novel, meski bagi yang tidak terbiasa dengan diskursus tersebut, bisa jadi akan membosankan.
Sanjay yang terpelajar dan menguasai banyak bahasa kemudian memberikan pelajaran gratis kepada Shirin, anak Karim, sebab terlalu mahal jika harus pergi ke sekolah. Karim juga mengajari Shirin bagaimana membuat cetakan buku. Di sini muncul pertanyaan, sebenarnya apa yang menyatukan mereka? Pemahaman agama yang terbuka atau kemiskinan?
Ujung novel ini bisa diduga menjelang seperempat akhir. Sanjay dan Shirin saling jatuh cinta. Karim jadi panas dingin dan gemetar. Hal itu tidak terpikirkan olehnya. Di sini masalah antaragama muncul lagi. Jika keduanya sampai hendak menikah dan salah satu pindah agama, itu berarti undangan kerusuhan. Warga kampung pasti akan marah dan menggeruduk keluarga Karim.
Setelah melalui dilema dan pergumulan panjang, di sebuah bukit penziarahan, Sanjay dan Shirin memutuskan tetap akan menikah dan menghadapi tekanan masyarakat. Karim sendiri akhirnya siap melepas Shirin. Ia katakan: “Apa yang kau katakan tentang Shirin itu tepat sekali. Maka, kuminta engkau memanggilnya dengan itu dan menjadikannya seorang Hindu.” Sanjay meletakkan telapak tangannya ke bibir Karim. “Itu tidak akan terjadi. Aku maupun Shirin tidak akan membicarakan perpindahan agama….”
Persis di situ Sanjay memperoleh inspirasi untuk akhir novel 49 Hari. Sementara itu di bawah sana warga kampung “sudah datang beramai-ramai dan berapat terbuka.” Novel berakhir dan pembaca menyimpan bayangan kelam kekerasan.
Baca edisi sebelumnya: Berkenalan dengan Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies dan tulisan di kolom Iqra lainnya.