MOJOK.CO – Orang itu bernama Ali bin Muwaffaq dan ia bahkan tidak naik haji dengan berangkat ke Mekkah.
Seorang arif bernama Abdullah Mubarrak suatu ketika mengunjungi Mekkah untuk berhaji. Setelah menunaikan ibadah tersebut, ia memutuskan untuk tinggal sementara di kota itu
Suatu ketika, ia terlelap tidur di Masjidil Haram seusai beribadah. Di dalam tidurnya ia melihat dua malaikat turun dari langit.
“Berapa orang yang melakukan ibadah haji tahun ini?” tanya satu malaikat kepada yang lainnya.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat yang ditanya.
“Berapa banyak yang diterima ibadah hajinya?”
“Tak satu pun.”
Abdullah yang menyimak percakapan dua malaikat tersebut tak kuasa untuk tidak ikut menimbrung percakapan keduanya. Ia berseru, “Apa! Mereka datang dari pelosok dunia jauh, bepergian menembus padang pasir nan luas, tapi semua sia-sia?”
Salah satu malaikat menoleh kepada Abdullah dan menjawab, “Sebenarnya tidak semua. Ada satu orang yang bernama Ali bin Muwaffaq. Ia seorang tukang sepatu di Kota Damaskus. Meski ia tidak datang ke Mekkah, ibadah hajinya diterima dan dosa-dosanya diampuni oleh Allah Swt.”
Mendengar jawaban tersebut Abdullah tergeragap dan bangun. Dalam hati ia bergumam, betapa mulianya orang tersebut. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, perbuatan seperti apa yang sebenarnya telah orang tersebut lakukan….
Tak berapa lama kemudian, Abdullah Mubarrak berangkat menuju Kota Damaskus untuk menemui orang yang diceritakan malaikat dalam mimpinya. Ketika tiba di kota itu, ia pergi ke pasar utama dan menanyakan nama Ali bin Muwaffaq kepada para pedagang. Ia lalu mendapat petunjuk tentang arah jalan menuju rumah Ali bin Muwaffaq. Segera saja ia melangkahkan kaki menuju ke sana.
Setelah bertanya-tanya, akhirnya Abdullah sampai ke rumah Ali Muwaffaq dan dipersilahkan duduk. Ia segera bertanya kepada Ali.
“Benarkah Anda Ali bin Muwaffaq? Apakah pekerjaan Anda seorang penambal sepatu?” tanya Abdullah Mubarrak tak sabar.
“Benar, saya memang seorang penambal sepatu. Apa gerangan Anda datang jauh-jauh menemui saya?”
“Saat aku di Mekkah, aku bermimpi ditemui dua malaikat yang mengatakan bahwa ada enam ratus ribu jamaah haji yang beribadah di sana, namun tak ada yang diterima amal ibadahnya selain satu orang. Satu orang tersebut itu adalah Anda, ya Ali putra Muwaffaq.”
Mendengar cerita laki-laki di depannya, Ali bin Muwaffaq tiba-tiba pingsan. Setelah siuman, ia meminta Abdullah Mubarrak melanjutkan ceritanya.
“Wahai putra Muwaffaq, saya telah berjalan jauh menuju kota ini dari Mekkah, saya ingin mendengar sendiri, perbuatan apa yang telah Anda lakukan hingga Allah berkenan memberi rahmat kepada Anda.”
Ali bin Muwaffaq segera menceritakan kisahnya seperti berikut.
Tiga puluh tahun lamanya aku dan istriku sudah bercita-cita hendak menunaikan ibadah haji. Dari pekerjaan kami sebagai tukang reparasi sepatu, kami bisa menyisihkan sedikit demi sedikit uang yang berjumlah tiga ratus lima puluh dirham. Aku bertekad akan berangkat ke Mekkah tahun ini juga.
Di saat itu, istriku sedang mengandung. Pada suatu sore ia mencium bau masakan dari rumah tetangga kami. Ia memohon dan menyuruhku memintakan sedikit makanan untuk ikut mencicipinya.
Aku kemudian mengetuk pintu tetangga tersebut dan berusaha menjelaskan keadaan istriku yang sedang hamil itu serta menyampaikan permohonannya untuk sedikit bisa mencicipi masakan mereka. Namun, tetanggaku justru menangis dan kemudian berkata, “Tiga hari lamanya anak-anak saya tidak makan. Tadi siang saya melihat seekor keledai tergeletak mati. Saya kemudian mengiris sekerat daging dari keledai mati itu lalu memasaknya. Makanan ini tidak halal untuk Anda.”
Aku hampir menangis mendengar ceritanya. Aku pun kembali ke rumah mengambil tabungan tiga ratus lima puluh dirham yang kukumpulkan tersebut lalu menyerahkan seluruhnya kepadanya. Aku berkata padanya, “Ambillah uangku ini untuk keperluan anakmu. Semoga Allah bersedia menghitung ini sebagai ibadah hajiku.”
Ketika Ali bin Muwaffaq menutup kisahnya, tak terdengar lagi pertanyaan dari mulut Abdullah Mubarrak.
Dinukil dan disadur dari kitab Tadhkiratul al-Auliya karangan Fariduddin Attar, diterjemahkan oleh A.J. Arberry dalam Muslim Saints and Mistics: Episode from Tadhkiratul al-Auliya, 2000.
Baca edisi sebelumnya: Rahasia dalam Rumah Tangga dan artikel kolom Hikayat lainnya.