MOJOK.CO – Saya temukan 5 alasan kenapa sebaiknya kamu meninggalkan Twitter atau minimal jaga jarak sekian meter. Demi kesehatan mental, My luv.
Tanpa kehadiran Twitter, kehidupan manusia sebenarnya sudah sangat luber dengan masalah. Dari zaman Iblis dengki sama Nabi Adam, Qabil membunuh Habil, sampai Prabowo merapat ke Jokowi demi kursi kekuasaan, umat manusia nggak pernah kehabisan stok masalah.
Masalah kehidupan itu ibarat keabsurdan kebijakan pemerintah kita. Nggak perlu mencarinya sama sekali pun kita tetap bisa dengan gampang menjumpainya. Apalagi kalau kita berusaha mencarinya.
Oleh karena itu, saya heran dengan kaum Twitteriyah yang saban hari selalu aja berhasil menemukan berbagai hal untuk dipermasalahkan.
Seolah-olah mereka didesain untuk jadi masyarakat pemburu-pengumpul era post-truth, di mana yang diburu dan dikumpulkan bukan lagi tetumbuhan atau hewan untuk dimakan, tapi berburu dan mengumpulkan masalah. Rajin. Rajin amat.
Dibandingkan medsos-medsos semisal Facebook dan Instagram, Twitter adalah produsen terbesar kehebohan belakangan ini karena kecepatan interaksinya yang tiada banding.
Di Twitter, apa aja bisa jadi kehebohan. Karakternya sih dibatasi, tapi nafsu para penggunanya untuk mengheboh-hebohkan sesuatu sangat tak terbatas. Makanya kita tak perlu heran banyak laman berita hari ini bukan lagi mengutip perkataan para pakar, tapi cuitan netizen. Pasarnya luas sih.
Oke, oke, harus diakui memang lumayan banyak kehebohan di Twitter yang membawakan dampak positif. Misalnya heboh-heboh soal kesetaraan gender yang ideal atau seruan #ReformasiDikorupsi. Tapi sulit untuk menyangkal bahwa kehebohan-kehebohan yang kandungan toksiknya tinggi lebih mendominasi.
Di bawah ini saya akan sebutkan 5 alasan kenapa sebaiknya kamu meninggalkan Twitter atau minimal jaga sekian meter dengan Twitter. Demi kesehatan mentalmu sendiri, gaes.
Urusan sepele dibesar-besarkan
Tiap kali buka Twitter saya selalu takjub dengan kemampuan umat manusia mendramatisasi sesuatu. Menjadikan sesuatu yang sepele terkesan sebagai masalah paling besar semuka bumi itu ya kemampuan khas manusia.
Kucing umpamanya, nggak bakal bisa ia membesar-besarkan masalah. Kalau ada orang yang mengusirnya pergi, paling banter si kucing langsung kabur. Nggak pake overthinking dulu terus bikin thread yang dibuka dengan, “Hari ini gw mau cerita soal pengalaman pahit gw, gaes.”
Berbeda dengan manusia, wabilkhusus para jamaah Twitter. Hampir tiap hari saya mendapati urusan yang harusnya bisa diselesaikan sambil bercanda atau dibicarakan baik-baik di meja makan berubah jadi masalah gawat.
Dari perkara bekal suami hingga unggahan netizen kelas menengah yang memamerkan kegiatan adiknya melakukan pembelajaran jarak jauh aja bisa jadi trending topic di Twitter. Sungguh umat yang amat kelebihan waktu luang.
Seolah-olah di Twitter banyak orang mendadak berevolusi jadi petir. Gampang banget nyamber. Padahal mah biasa aja. Hidup sudah rumit kok di Twitter malah jadi makin rumit.
Terlalu banyak orang yang pengin keliatan open-minded
Ada sebuah perkataan masyhur dari Walt Disney, “Pikiran itu bagaikan parasut, hanya berguna ketika terbuka.” Sayangnya, quote ini dipahami secara kebablasan oleh sebagian orang. Dan kita bisa dengan gampang menemui orang-orang yang memaknai open-minded dengan sembrono di Twitter.
Biasanya sih banyak yang sok open-minded ketika membicarakan sesuatu. Sebetulnya bagus belaka berpikiran terbuka, tapi kalo tanpa landasan ilmu yang kuat atau tak ada sense of political correctness, ya ambyar juga jatuhnya. Niat awal bagus, tapi cara menyampaikannya malah bikin masalah baru.
Kalau sudah benar-benar terjadi masalah, lantas sembunyi dalam tameng toleransi, berlindung di kredo kebebasan berpendapat, atau ngatain kelompok yang tersinggung sebagai orang yang closed-minded. Tanpa mau menyadari bahwa situ hidup masyarakat dengan keragaman latar belakang macam-macam.
Artinya, kalau udah dari awal niat bahas yang sensitif lantas opininya suka nyerempet, ya harus disadari dong kalau risikonya kena tabrak.
Kalau argumen dan kemampuanmu udah kayak kendaraan besar sih, oke-oke aja mepet-mepet, tapi kalau argumenmu cuma sebatas modal motor plastik terus tetep nekat nyerempet-nyerempet ya kudu siap kalo jadi peyok.
Ini sama saja kayak orang mbleyer-mbleyer pakai knalpot glonggongan, ya kalau akhirnya bakal digebukin sama pemuda setempat ya udah risiko dong. Nggak usah sembunyi pakai diktum, “Ini kan motor, motor gw? Kenapa jadi masalah buat lu!”
Open-minded sih ngakunya, tapi mendadak suka jadi closed-minded kalau tiba-tiba kena emosi warga. Ealah.
Bahas privilege sampai lupa kalau main Twitter juga privilege
Toxic masculinity, toxic positivity, dan privilege adalah di antara istilah-istilah mewah yang menemukan puncak kepopulerannya berkat Twitter. Sebagaimana isu pelecehan seksual (harassment), masalah privilege juga tak habis-habisnya dibahas di Twitter.
Tentu itu masalah yang penting untuk dibicarakan, tapi membahasnya sampai kembung dengan pokok pembicaraan yang itu-itu saja dan hanya berhenti di tataran teori, kan jadinya menjenuhkan.
Mbok ya kalo mau ngomongin privilege itu sekali-sekali sambil jalan-jalan di permukiman kumuh gitu.
Coba aja deh amati baik-baik. Kebanyakan orang yang kita anggap nggak punya privilege itu lebih membutuhkan bantuan langsung atau perubahan struktural daripada sekadar adu-bacot antara netizen-yang-merasa-punya-privilege vs netizen-yang-merasa-nggak-punya-privilege di Twitter.
Btw, main Twitter itu privilege, lho. Masyarakat di daerah lain yang koneksi internetnya lemot kayak bekicot dan akrab dengan penyalaan listrik bergilir mah can’t relate.
Berjibunnya thread persoalan keluarga orang lain
Beberapa minggu kemarin ada pengguna Twitter yang bikin thread dengan nada keluhan seputar pengalamannya “membiayai” orang tua. Entah apa tujuannya, saya nggak bisa menemukan faedah nyata membagikan pengalaman macam itu ke muka publik. Biasa aja gitu.
Hidup kok ya pamrih betul. Sama orang tua lagi. Emang sih nggak bisa dinafikan ada orang tua yang kayak morotin anaknya. Tapi ya ngapain juga segala dipamerin ke media sosial. Wong di sinetron Indosiar juga udah banyak situasi kayak gitu.
Dan itu hanya satu di antara sekian jenis thread yang nggak jelas juntrungnya. Lucu-lucuan ya bukan, informatif nggak juga, dibilang curhat pun rasanya kurang etis. Mungkin banyak orang belum tahu kalau nggak semua hal perlu diungkapkan kepada khalayak untuk meminta bantuan penghakiman sampe dibuatkan thread.
Apalagi kalau sebenarnya masalah keluarga itu bukan masalahmu sendiri, tapi masalah keluarga temenmu.
Tempat zigot buzzer berkembang biak
Inilah alasan pamungkas mengapa sebaiknya kita pelan-pelan harus meninggalkan atau minimal jaga jarak dengan Twitter. Dengan pola algoritma yang gampang diakali, Twitter jadi makanan empuk para zigot buzzer untuk menjalankan misinya.
Makanya kita sering lihat di Trending Topic tiba-tiba muncul hestek macam #KamiBersamaPolri atau #KamiDukungJokowi. Setelah dicek, rata-rata yang ngetwit kok akun bodong dan isi twitnya mirip-mirip.
Belum lagi dengan kehadiran twit-twit rutin dari buzzer di bawah asuhan Kakak Pembina. Tak ayal, Twitter pun menjadi penuh dengan polusi informasi. Ini tentu semakin nggak menyehatkan. Terlebih nggak semua pengguna Twitter tahu tipu daya di balik akun-akun bot yang dikendalikan buzzer itu.
Toh paling tidak, dengan meninggalkan Twitter atau setidaknya jaga jarak, buzzer-buzzer itu jadi berkurang mangsanya. Ya lucu aja gitu soalnya kalau penduduk Twitter menurun drastis, sampai Denny Siregar atau Abu Janda kalau ngetwit harus ritwit dan laik sendiri.
BACA JUGA Kalo Debat Jadi Lancar Ngetwit Bahasa Inggris dan 5 Momen Tiba-tiba ala Orang Indonesia atau tulisan Erwin Setia lainnya.