[MOJOK.CO] “Analisis populer atas penyebab Malari menyingkirkan peran mahasiswa dan menonjolkan pola umum: persaingan antara militer.”
Hari jelang waktu salat Zuhur. Masih ada dua pelajaran lagi, setelah pelajaran Pak Mul. Ruang kelas kami berada di dalam halaman masjid Istiqlal, Jakarta. Sebuah tsanawiyah swasta. Masjid Istiqlal ketika itu belum rampung pembangunannya kendati sudah digunakan untuk beribadat. Ketika Pak Mul masuk, ia tidak segera mulai mengajar. Pak Mul memberi pengumumam kurang lebih begini:
“Hari ini sekolah tidak sampai selesai. Kakak-kakak kalian para mahasiswa akan turun ke jalan-jalan untuk protes. Nanti setelah pelajaran Bapak, sekolah selesai dan kalian boleh pulang. Atau, kalau mau lihat demo, boleh saja, asal jangan terlalu dekat.”
Usai pelajaran Pak Mul, kami semua bubar. Beberapa teman yang rumahnya di kawasan Kota dan Kebun Jeruk, mengajak saya untuk main ke rumah mereka. Rasa penasaran kami sebagai ABG sudah tentu sulit dikontrol untuk melihat demo mahasiswa yang dikatakan Pak Mul tadi. Keluar Istiqlal kami belok kiri ke arah belakang gedung Bina Graha. Pada sungai yang membentang di sana sudah tampak dua tiga sedan setengah remuk dan terbakar, nyungsep separuh badan ke dasar sungai. Teringat nasihat Pak Mul, kami minggat ke arah Pintu Air dan memasuki arah pertokoan Pasar Baru.
Kami mengikuti serombongan massa yang gelap mata gelap tangan. Mereka menyiksa sejumlah kendaraan mobil dan motor yang mereka lewati, menghajar dengan fentungan atau batu besar, lalu… blup! Api berkobar. Tidak hanya itu, sejumlah toko yang umumnya milik orang Tionghoa dan India jadi korban tanpa sedikit pun bisa menghindar. Pintu dan kaca hancur, barang-barang dijarah atau dibakar.
Tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan. Kami berlari kelabakan masuk sebuah gang kecil. Tak lama kami putuskan untuk kembali ke Istiqlal. Seorang teman berkata, “Sebaik-baik tempat perlindungan adalah rumah Allah Swt.” Cakep! Kami segera buron balik ke Istiqlal.
Setiba di Istiqlal, kami naik ke lantai teratas masjid. Tampak beberapa titik kepulan asap hitam dan kekacauan di jalan-jalan dengan batu-batu berserakan dan orang-orang belarian.
15 Januari 1974. Jakarta ringsek. Sebagian pusat pertokoan Proyek Senen dibakar. Ratusan toko lainnya dijarah dan dibakar. Pabrik Coca Cola di Cempaka Putih tak luput dari sasaran. Sekitar seribuan mobil dan motor yang umumnya buatan Jepang, hancur. Dan 11 orang tewas, puluhan luka-luka. Kita tahu, peristiwa ini disebut Malari. Malapetaka Lima Belas Januari. Sebuah peristiwa yang berawal dari protes mahasiswa terhadap kebijakan pembangunan Soeharto yang pro modal asing. Tokoh sentralnya adalah Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia ketika itu.
Ada banyak versi analisis penyebab peristiwa ini, yang umumnya bernuansa menyingkirkan tema sentral “anti-modal asing” dari gerakan mahasiswa terbesar di awal periode kediktatoran Soeharto itu.
Dugaan penyebab Malari merentang dari soal:
(1) persaingan dua gajah elite militer: Letjen. Ali Moertopo sebagai Komandan Operasi Khusus (Opsus) yang melayani kepentingan Soeharto, versus Jenderal Soemitro yang ketika itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib);
(2) dinamika internal (untuk tak menyebutnya saling sikut) dunia intelijen antara Opsus dan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara, cikal bakal BIN);
(3) ulah dan manuver politik orang-orang eks-PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi;
(4) rencana kudeta merayap terhadap Soeharto oleh Soemitro.
Nyaris tak ada yang mengulas lebih jauh dan dalam soal kegelisahan aktivis mahasiswa, Hariman dan kawan-kawan, terhadap kebijakan pembangunan Soeharto yang memberi karpet merah pada modal asing.
Repotnya, semua versi di atas mempunyai alasan yang tak bisa dianggap PHP belaka. Alasan masing-masing versi seperti saling beririsan. Bahkan dilihat dari penjelasan tokoh-tokoh yang kemudian dipenjarakan atau sekadar diperiksa, kait mengait versi-versi tersebut makin jelas.
Contoh sederhananya ya narasi kecil yang saya ceritakan di atas. Pak Mul adalah seorang guru di tsanawiyah tempat saya sekolah dan sangat bisa jadi juga anggota GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) yang kebanyakan anggotanya adalah para guru sekolah. Apa dasar kebijakan sekolah untuk meringkas jam belajar kami sambil rada-rada ngomporin kami untuk nonton demo, coba? Pak Mul jadi rada-rada gimana gitu hari itu.
Sebelum Malari pecah, beredar isu tentang adanya Dokumen Ramadi. Sebuah dokumen yang belum pernah didapat bukti konkretnya hingga hari ini, kecuali berpegang pada pernyataan Soemitro yang mengatakan bahwa dokumen tersebut menganggap Soemitro akan mengambil alih kepemimpinan Soeharto. Dengan kata lain, Soemitro akan mengudeta Soeharto. Soemitro sendiri mengaku tak pernah melihat teks dokumen tersebut. Pihak yang menyampaikan adanya dokumen tersebut adalah Kepala Bakin Sutopo Juwono.
Ramadi sendiri adalah seorang pensiunan kolonel yang dekat dengan Mayjen Soedjono Hoemardani, anggota Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto. Oleh Soedjono, Ramadi kemudian dijadikan sebagai Ketua GUPPI. Mulai rada nyambung, kan? Ali Moertopo ketika itu juga anggota Aspri.
Sangat mungkin Hariman tidak tahu-menahu ada sekolah yang sengaja melepas siswa-siswanya “nonton” demo. Karena Hariman menganggap aksi bebakaran itu tidak ada hubungannya dengan gerakan mahasiswa. Apalagi peristiwa-peristiwa itu terjadi justru ketika para aktivis mahasiswa, termasuk Hariman, sedang berkumpul di kampus Trisakti untuk membahas rancana-rencana aksi anti-modal asing selanjutnya. Belakangan Hariman merasa gerakan mahasiswa ditilep dari samping. Ditunggangi.
Hariman tidak menghapus sejarah bahwa ia pernah “dekat” dengan Ali Moertopo. Atas “jasa” Ali pula Hariman bisa naik ke posisi Ketua Dewan Mahasiswa UI mengalahkan pesaing kuatnya dari HMI. Tapi, setelah jadi ketua Dewan Mahasiswa, Hariman bergerak bebas lepas dari kendali Ali Moertopo dan orang-orang Opsus. Ia bahkan seperti menantang Opsus ketika memilih kader HMI Judilhery Justam sebagai Sekjennya, keputusan yang justru membuat kesal Opsus. Hariman juga beredar di kalangan tokoh PSI. Selain kedua orang tuanya yang berada di lingkaran PSI, ia menikahi anak dari Prof. Sarbini Sumawinata, ekonom yang juga kader PSI dan sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi Soeharto.
PSI dan Masyumi yang sudah dilarang sebagai partai sejak masa Sukarno dianggap tetap mempunyai semangat CLBK lewat kader-kadernya. Tidak sebagai partai, tetapi cukup dengan memiliki “orkit” (orang kita) di posisi-posisi strategis. Politik mungkin memang “seni mencari segala kemungkinan” walaupun pelakunya tidak serta-merta dianggap seniman.
Jenderal Soemitro yang mencium bau tak sedap masuknya orang-orang Opsus ke UI dianggap ingin menyabot pangaruh Ali Moertopo ke tokoh-tokoh mahasiswa. Saling sabot antara Ali Moertopo dan Soemitro itulah yang dianggap sebagai salah satu versi pecahnya peristiwa Malari, dengan “sentuhan” PSI dan Masyumi di sana-sini.
Sialnya, analisis begini seperti sudah menjadi pola dalam setiap gerakan sosial politik di Indonesia. Kalau Malari punya Soemitro vs Ali Moertopo, maka ‘98 punya Wiranto vs Prabowo, dan ‘65 punya Soeharto vs Kolonel Untung, Kolonel Latief, dkk. Hanya gerakan mahasiswa ‘78 saja yang nisbi sepi dari teori konspirasi para gajah. Padahal, suka atau tidak, di ‘65—‘66 ada peran gerakan mahasiswa (angkatan ‘66). Begitu juga di Malari, ‘78, dan ‘98. Dan kalau analisis peran aktor elite militer itu dianggap benar, lha bisa-bisa berujung pada pertanyaan panas, “Jadi siapa yang suka bikin masalah di negara ini?”
Peristiwa Malari sendiri, dilihat dari aktor-aktornya yang ditangkap untuk diperiksa atau dihukum (kendati tidak ada yang terbukti bersalah secara meyakinkan), seperti terus-menerus punya benang merah penghubung dengan aksi atau peristiwa-peristiwa sebelumnya. Di angkatan ‘66 ada Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Jusuf A.R., Arief Budiman, Julius Usman yang tidak bisa dilepas begitu saja dari siklus aksi gerakan sosial politik setelahnya seperti: Komite Anti Korupsi (KAK) pada awal Orde Baru, golput (golongan putih) yang menolak ikut pemilu awal Orde Baru; gerakan anti-pembangunan Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII); hingga Malari. Mahasiswa terus punya andil bahkan pencetus tiap gerakan itu. Peran gerakan mahasiswa inilah yang sering dilupakan atau diendus oleh hanya satu lubang hidung.
Setelah lepas dari penjara, Hariman Siregar sendiri tetap mempunyai peran dalam setiap gerakan mahasiswa di tahun ‘78, ‘80-an, hingga ‘90-an, bahkan di periode Reformasi. Kendati ada beberapa perannya yang dianggap kontroversial, tetapi rasanya nyaris tak ada aktivis yang melengos dari sentuhannya. Setidaknya, bantuan yang sangat penting yang banyak ia berikan adalah memberikan layanan kesehatan cuma-cuma bagi banyak aktivis. Sebagai seorang dokter, lewat klinik kesehatan yang ia kelola, bukan satu dua aktivis saja yang sudah ia bantu secara cuma-cuma.
Tanggal 15 Januari besok Hariman Siregar akan berada di Yogyakarta bersama sejumlah rekannya. Di kampus UGM ia akan mengadakan peringatan 44 tahun Malari dan memberikan pidato bertajuk “Mengembalikan Reformasi yang Kita Mau”. Saya tidak tahu, apa alasan dia tumben buat peringatan Malari di Yogyakarta, khususnya di alma mater Jokowi ini. Dalam bahasa Hariman: gerakan mahasiswa kan ikut dalam melahirkan Orde Baru, maka mahasiswa juga berhak untuk mengontrol jalannya pemerintahan.