2 Bocah Madura Naik Motor ke Jakarta Itu Bukan Nekat, tapi Sikap Pemberani yang Sudah Menjadi Tradisi

2 Bocah SD Nekat Naik Motor Bebek dari Madura Menuju Jakarta MOJOK.CO

Ilustrasi 2 Bocah SD Nekat Naik Motor Bebek dari Madura Menuju Jakarta. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKemarin, 2 bocah SD dari Sampang, Madura, naik motor hendak menuju Jakarta. Mereka ini bukan semata nekat, tapi begitulah cara orang Madura memenuhi janjinya!

Jika tak punya teman orang Madura, melihat sendiri usahanya merantau, mungkin saya tak akan percaya kisah ini. Dua bocah dari Madura memutuskan “plesir”. Mereka naik motor berdua, hendak menempuh jarak 700-an kilometer, dari satu pulau besar di Jawa Timur menuju ujung utara Jakarta, Tanjung Priok.

Bertahun lalu, Rusli, teman kuliah saya, menempuh perjalanan dalam sehari semalam dari Jogja ke Jawa Timur. Mengendarai motor bebek, Rusli mengantar perempuan yang sedang dia sukai. Berbekal 2 helm, uang 100 ribu rupiah, dia berangkat dari Jogja menuju Surabaya. Jelang pukul 1 siang, keduanya sudah sampai di Surabaya. Selesai mengantar, Rusli pulang ke Jogja dengan kecepatan yang mengagumkan. 

Tapi saya tidak ingin membahas soal Rusli. Nanti ada cerita lain yang lebih menarik. Kali ini, saya ingin membahas soal 2 bocah tadi. Kenapa, sih, ada “kenekatan” yang mendorong seseorang buat melakukan perjalanan jauh hanya bermodal nekat, sepasang sandal, dan uang seadanya? Jika kamu tak pernah merantau, atau menganggap perjalanan harus tentang persiapan, maka tak ada yang logis dari cerita ini.

Baca halaman selanjutnya: Orang Madura nggak hanya cuma punya nekat, tapi….

2 bocah, naik motor bebek, dari Sampang mau ke Jakarta

Dua bocah Sekolah Dasar (SD) asal Sampang, Madura, nekat naik motor ke Jakarta. Keduanya bahkan tak pakai helm. Selain itu, motor yang mereka bawa tak punya surat resmi alias bodong. 

Mengutip dari Detik, bocah berinisial SZ mengaku janjian bertemu temannya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dalam pikiran orang waras, nyaris tak ada pembenaran bagi anak SD, untuk naik motor berdua, tanpa helm, dari Madura ke Jakarta hanya sekadar menepati janji. Tapi ya itulah mereka.

Kedua bocah ini hanya membawa baju yang melekat di tubuh mereka, yakni kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit. SZ mengakui baru kali pertama ke luar kota dan tidak mengetahui rute Sampang ke Jakarta. Dia dan temannya hanya mengandalkan Google Maps! Untuk menuju Jakarta, mereka menyetir motor secara bergantian tanpa menggunakan helm dan selama perjalanan tidak bertemu polisi!

Saya sendiri tak mengerti mengapa orang Madura, sepertinya punya hubungan kurang baik dengan helm. Di kampung saya, di Bondowoso, helm itu nyaris tak punya nilai guna. Orang bisa naik motor dari desa ke kota tanpa helm dan baik-baik saja. 

Bahkan ada kisah menarik, yang mungkin kalian pernah dengar. Dikisahkan orang Madura hendak ditilang di Suramadu karena tak pakai helm. Kemudian dia protes. “Saya anggota, Pak!” Katanya. Ketika polisi itu balik bertanya, anggota apa? Si orang tersebut dengan bangga menjawab: “Banser!”

Nekatnya orang Madura

Saya bisa membayangkan bahwa awal mula cerita 2 bocah Sampang ini berawal dari kebosanan. Kamu tahu? Bermula dari iseng di tempat main, seorang temanmu menantang tanpa alasan. “Ah bosen nih. Bali enak kali,” lalu kamu menjawab, “Gas!” Lantas seperti awal mula banyak cerita bodoh yang akan kita ingat selamanya, kedua anak ini mengambil kunci motor, lalu bergegas menuju Suramadu untuk pergi ke ibu kota.

Kedua bocah ini hanya membawa duit Rp105.000 selama perjalanan. Uang Rp100.000 hasil meminjam teman, sementara Rp5.000 sisa uang jajan. Dalam perjalanan menuju Jakarta, mereka hanya makan mie instan sekali dan sempat bermalam di pinggir jalan di daerah Tuban. 

Perjalanan kedua bocah ini akhirnya terhenti karena tertangkap polisi. Mereka berhenti di wilayah Kecamatan Tengaran, Semarang, Jawa Tengah, karena menerobos lampu merah. 

Nekatnya orang Madura ini tak sekali terjadi. Ketika era Covid-19 pada 2021, untuk menghindari penyekatan, puluhan warga Madura nekat mudik lebih awal menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Jangkar Situbondo, Jawa Timur. 

Kapal-kapal kayu ini dioperasikan karena terbatasnya jumlah kapal feri yang berangkat menuju Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pilihan naik kapal kayu karena penumpang menghindari terlantar di pelabuhan dan larangan mudik oleh pemerintah.

Ingat Rusli? Teman saya yang hadir di awal cerita. Jadi, usai menikah, dia pernah mudik ke rumah istrinya di Riau dari Jogja. Dia menempuh 2.400 kilometer mengendarai Yamaha Mio dan menghabiskan 54 liter bensin. Dengan kegembiraan serupa bocah, Rusli bilang, bahwa perjalanan itu adalah kenangan terbaik dalam hidupnya. Dia melewati jalan rusak, mengarungi laut, dan istirahat di gelap malam hutan sawit.

Naik motor ribuan kilometer itu perkara sepele

Saya kira tak ada yang lebih menakutkan bagi orang Madura selain melanggar perintah agama atau tak punya pekerjaan. Makanya, kalau cuma sekadar merantau naik motor ribuan kilometer? Ah, itu perkara sepele. Dalam perjalanan mudik dari Situbondo dengan menggunakan kapal sayur pun, orang Madura masih membawa motor mereka. Tanpa membawa helm tentu saja. Buat apa? Kan di laut nggak ada razia.  

D Zawawi Imron, penyair “celurit emas” asal Madura, pernah menulis sajak tentang cintanya kepada Madura. Begini dia menulis:

Aku lari mengejar ombak 

Aku terbang memeluk bulan

Dan memetik bintang-gemintang

Di ranting-ranting roh nenek moyangku

Di ubun langit kuucapkan sumpah

Madura, akulah darahmu 

Puisi ini adalah gambaran, barangkali juga ruh, betapa orang Madura adalah manusia bebas yang siap melakukan apa saja, sekali mereka berkomitmen.

Tapi ya nggak naik motor juga, sih.

Penulis: Arman Dhani

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kisah Malaikat Maut Bertandang ke Rumah Orang Madura dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version