Menolak Lupa 10 Pelanggaran HAM yang Diabaikan Pemerintah Indonesia

10 Pelanggaran HAM yang Diabaikan Pemerintah Indonesia MOJOK.CO

Ilustrasi 10 Pelanggaran HAM yang Diabaikan Pemerintah Indonesia. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COApakah 10 kasus ini sudah membuat Anda sesak? Sayang sekali, karena kasus pelanggaran HAM dan pengabaian yang dilakukan pemerintah satu dekade terakhir lebih banyak.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah kalimat yang jadi impian sekaligus doa bagi bangsa kita. Termasuk bagi ribuan orang yang tak mampu mencium harum keadilan. Kita, rakyat Indonesia, harus menerima nasib sebagai orang yang direnggut hak-nya. HAM yang seharusnya melekat dalam diri mereka dicerabut oleh pihak yang dipercaya untuk menjaganya: negara.

Ngeri untuk membayangkan bagaimana seseorang menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara. Tapi ini belum cukup mengerikan. Karena mereka kini dilupakan. Kasus mereka diabaikan. Dibiarkan menguap seperti embun pada pukul sembilan pagi.

Saya tidak sedang bicara tentang tragedi puluhan tahun silam. Namun satu dekade terakhir. Jujur saja, merekam 10 Pelanggaran HAM yang diabaikan dalam satu dekade itu sulit. Bukan karena harus mencari jarum dalam jerami. Tapi bingung 10 kasus mana dari banyaknya pelanggaran HAM yang harus saya tulis. Tapi 10 pelanggaran sudah terekam. 10 pembiaran oleh negara sudah tercatat. Sekarang, saya sajikan kekejian ini kepada Anda.

#1 Terbunuhnya Afif Maulana

Mari kita mulai dari kasus pelanggaran HAM yang paling baru. Karena baru saja terjadi tidak lama sebelum saya menulis artikel ini. Bahkan belum genap sebulan. Lebih hebatnya, pengabaian kasus ini sudah terjadi. Tanpa lama menanti berita mereda. Kasus ini adalah terbunuhnya Afif Maulana. Dia adalah pelajar usia 13 tahun yang tewas mengenaskan di Kota Padang, Sumatera Barat.

Sudah ada 17 polisi yang mengakui terlibat dalam terbunuhnya Afif. Proses etik terus berjalan. Tapi yang kini jadi sorotan adalah mencari pihak yang memviralkan kasus ini. Bahkan tanpa ada transparansi penyelesaian kasus serta dibumbui asumsi sepihak dari Kapolda Sumatera Barat. Tidak ada semangat menjawab pelanggaran HAM yang terjadi. Bahkan ketika mata telanjang saja bisa melihat pelanggarannya.

#2 Tragedi Kanjuruhan yang semakin kusut

Diawali dengan ingar bingar kebahagiaan, berakhir dengan tewasnya 135 orang. Kira-kira itulah gambaran Tragedi Kanjuruhan. Sebuah kisah yang dituding sebagai pembantaian oleh banyak pihak. Tragedi Kanjuruhan adalah bentuk sempurna dari kelalaian dan pelanggaran protap aparat.

Penembakan gas air mata ke arah suporter yang rusuh ini tidak hanya melanggar HAM. Tapi juga melanggar ketentuan penanganan kericuhan yang telah ditetapkan FIFA. Indonesia menjadi sorotan dunia, dan Tragedi Kanjuruhan tercatat sebagai salah satu tragedi sepakbola terparah.

Jika dihitung, sudah hampir setahun tragedi ini berlalu tanpa kejelasan. Tidak ada pengusutan tuntas. Tapi malah sibuk menyudutkan suporter Arema dan kondisi stadion. Bahkan sampai hari ini, pemerintah tutup mata terhadap tagar #usuttuntaskanjuruhan yang terus menerus disuarakan.

#3 Penggusuran Desa Wadas, saksi pelanggaran HAM oleh pemerintah

Sepertinya penggusuran yang dibarengi represi aparat masih jadi opsi terbaik pembangunan. Salah satu kasus besar terjadi di Desa Wadas, Jawa Tengah. Masyarakat Wadas harus menerima pil pahit demi mempertahankan hak hidup mereka. Desa yang direncanakan menjadi area tambang andesit pendukung proyek Bendungan Bener ini menjadi saksi pelanggaran HAM oleh pemerintah.

YLBHI mencatat setidaknya ada 9 pelanggaran HAM yang terjadi di Wadas. Antara lain, hak setiap orang untuk hidup, mempertahankan hidup serta kehidupannya. Kemudian, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. 

Hak untuk tidak disiksa, hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Lalu, hak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Selain itu hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan tidak boleh diambil sewenang-wenang.

Kemudian hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Terakhir, hak untuk tidak ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.

Apakah pemerintah serius menangani Kasus Wadas? Tentu saja tidak. Kasus ini, seperti kasus KM 50, berakhir menjadi gorengan politik. Hanya jadi pembahasan tak jelas arahnya tanpa ada upaya memenuhi hak warga Desa Wadas.

#4 Kasus KM 50 wujud unlawful killing

Saya pikir, unlawful killing adalah kisah lama yang tidak mungkin terjadi hari ini. Apalagi ketika informasi bergerak lebih cepat dan tidak ada yang bisa ditutup-tutupi lagi. Tapi saya salah. Karena ada 6 orang yang dieksekusi tanpa kejelasan hukum di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50.

Apa yang terjadi pada kasus KM 50 ini menimbulkan tanda tanya besar. Dari proses penguntitan tanpa ada urgensi, sampai eksekusi 4 orang anggota FPI yang diturunkan dari mobil. Pelanggaran ini disempurnakan dengan vonis lepas kepada dua anggota kepolisian pelaku penembakan.

Kasus KM 50 ini akhirnya menjadi “gorengan” yang terus dibahas demi kepentingan lain. Tapi perkara penyelesaian kasus dan pengungkapan fakta tetap jadi tanda tanya besar. Pemerintah menunjukkan ketidakseriusan dalam penanganan unlawful killing ini. Membiarkan bola konspirasi panas menggelinding tanpa arah.

#5 Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang

Kembali ke masalah pembiaran aparat yang berujung perenggutan hak hidup. Peristiwa memilukan ini terjadi di Lapas kelas I Tangerang. Terjadi kebakaran yang menewaskan 41 orang meninggal dunia. Dari tragedi ini, PBHI menemukan pelanggaran HAM yang berimbas pada tewasnya penghuni lapas tersebut.

Yang disorot adalah perkara hak hidup bagi warga binaan lapas. Warga binaan lapas sejatinya hanya kehilangan hak atas kemerdekaan. Namun hak atas kehidupan dan perlakuan layak harus diberikan negara. Manajerial lapas juga terbukti lalai memberikan keselamatan bagi penghuni. Salah satunya masalah overcrowding yang menyebabkan sulitnya evakuasi saat terjadi kebakaran.

Dengan tragedi seperti ini, tidak ada reformasi terhadap sistem pengelolaan lapas. Pertanggungjawaban pemerintah juga tidak benar-benar menjawab pelanggaran HAM ini. Pada akhirnya kasus ini juga sama seperti 5 kasus dan banyak kasus lain: menghilang dari perhatian.

#6 Aksi represif dalam demonstrasi menolak RKUHP

Demonstrasi menolak RKUHP pada akhir 2019 adalah momentum besar. Banyak yang menyebut demonstrasi ini sebagai “miniatur” reformasi. Ada benarnya juga. Karena pemerintah menanggapi aksi ini seperti Orde Baru meladeni para demonstran pada tahun 1997-1998.

Terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran hak untuk hidup dengan tewasnya 5 orang di Jakarta dan Kendari. Komnas HAM juga menemukan pelanggaran protap yang dilakukan kepolisian untuk menangani demonstrasi besar ini.

Sekali lagi, kasus pelanggaran HAM ini dilupakan. Apalagi beberapa bulan berikutnya terjadi pandemi Covid-19. Namun tidak ada upaya penegakan keadilan terhadap tragedi ini. Bahkan aparat kembali mengulangi pelanggaran protap dan perebutan hak untuk hidup di masa mendatang.

#7 Penggusuran dan kerusuhan di Pulau Rempang

Penggusuran bisa terjadi pada siapa saja. Terutama jika tinggal di negara yang entah kenapa polahnya lucu ini. Salah satunya yang terjadi di Pulau Rempang, Batam. Penggusuran karena rencana pendirian Eco-City ini ditolak warga. Meskipun sudah terlihat potensi pelanggaran AMDAL, namun proses penggusuran terus dilakukan.

Puncaknya adalah kerusuhan yang terjadi September 2023. Masyarakat sipil harus berhadapan dengan aparat yang sejatinya bertugas menjaga mereka. Akhir dari kerusuhan ini memilukan. Pemerintah berfokus pada kerusuhan, dan bukan penolakan masyarakat.

Akhir dari kasus penggusuran di Pulau Rempang makin tidak jelas. Masyarakat makin disudutkan oleh narasi ngawur. Seolah-olah masyarakat menolak kemajuan dan disetir pihak tertentu. Mengerdilkan fakta bahwa penggusuran ini termasuk dalam pelanggaran HAM berat

#8 Kerusuhan Tanjung Balai yang diabaikan aparat

Kerusuhan perkara SARA masih jadi kanker dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sialnya, aparat dan pemerintah abai dan membiarkan gesekan ini menjadi tragedi. Seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Dari cekcok kecil tetangga perkara suara azan, berakhir menjadi pembakaran rumah dan vihara.

Komnas HAM menemukan potensi “cipta kondisi” pada kerusuhan ini. Dari kronologis, ada cukup waktu yang bisa digunakan aparat serta pemerintah untuk mencegah kerusuhan. Bahkan masih ada 5 jam tenggat waktu antara berkumpulnya masyarakat sampai terjadi pembakaran.

Namun, sekali lagi, aparat dan pemerintah abai terhadap potensi kerusuhan ini. Tanjung Balai dibiarkan terbakar. Menyisakan percik-percik kebencian yang tidak pernah ditanggulangi. Bagaikan granat aktif yang bisa meledak hanya dengan satu ketukan kecil.

#9 Pengusiran Anggota Gafatar

Membahas kasus Gafatar selalu membuat saya ngilu. Karena pengusiran terhadap anggota Gafatar bukan hanya dilakukan aparat, tapi juga masyarakat sipil. Bahkan banyak orang mendukung pengusiran ini. Stigma sesat yang disematkan kepada anggota berbuah kekerasan dan perampasan ruang hidup legal milik Gafatar.

Selain tindakan represif yang dilakukan aparat, penyelesaian kasus ini juga merampas HAM para anggota Gafatar. Dari saling lempar antar-instansi, sampai pemaksaan doktrin. Anggota Gafatar mendapat perlakuan diskriminatif bahkan secara tidak langsung didukung negara.

Tahun demi tahun berlalu. Kasus pengusiran anggota Gafatar menguap tanpa ada kejelasan. Tidak ada kompensasi terhadap dampak sosial dari pemerintah. Belum lagi ketidakjelasan status tanah milik anggota Gafatar yang direbut secara sepihak.

#10 Paniai Berdarah, pelanggaran HAM yang kelewat mengerikan

Saya tutup catatan ini dengan dosa yang benar-benar hampir terlupakan. Bukan karena sudah lama, tapi karena kelewat kotor pemerintah kita di sisi paling timur Indonesia. Bahkan bisa saja saya menulis 10 pelanggaran ini dengan berfokus di Papua. 

Pelanggaran HAM di bumi cenderawasih ini kelewat mengerikan. Tapi mari kita lanjutkan catatan dosa pemerintah Indonesia dari Painai. Pada tahun 2014, 4 orang tewas dan 10 lainnya luka-luka akibat aksi represif aparat.

Diawali dari hampir tabrakan antara saksi dengan anggota TNI, berakhir menjadi penyiksaan dan penembakan terhadap warga yang sedang mempersiapkan lomba pondok natal. Kemarahan rakyat dibalas dengan gebukan popor dan tembakan bedil aparat.

Tragedi Painai Berdarah ini menjadi sorotan. Namun tetap tidak menggetarkan hati pemerintah. Terbukti dari vonis bebas terhadap para pelaku pembantaian. Lebih dari itu, muncul dugaan merendahkan warga Papua selama proses persidangan. Darah yang tertumpah di Painai akhirnya mengering bersama dengan penyelesaian kasusnya.

Festival HAM di Bitung momentum tepat untuk menuntut keadilan

Apakah 10 kasus ini sudah membuat Anda sesak? Sayang sekali, karena kasus pelanggaran HAM dan pengabaian yang dilakukan pemerintah satu dekade terakhir lebih banyak. Namun bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana pemerintah memandang hak paling dasar rakyatnya.

Oleh sebab itu, saya membayangkan masyarakat sipil berkumpul dan bergerak bersama di acara Festival HAM yang akan dihelat pada 29 hingga 31 Juli 2024 nanti. Festival luar biasa ini akan digelar di Kota Bitung, Sulawesi Utara.

Mengutip website infid.org, tema yang diusung adalah “Memajukan Demokrasi, Pemenuhan HAM, dan Penguatan Partisipasi Masyarakat dari Tanggung Jawab Negara dari Daerah hingga Nasional”. Tema ini menekankan pentingnya peran negara dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kemajuan HAM di Indonesia.

Festival ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia serta mempromosikan paradigma pemerintahan yang berbasis pada prinsip-prinsip HAM, serta terus mendorong kebijakan pemerintah untuk lebih ramah terhadap HAM. Hal ini melibatkan transisi dari good governance menuju open government, di mana partisipasi masyarakat sipil diutamakan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih responsif dan inklusif. 

Jadi, Festival HAM akan menjadi “panggung terbaik” bagi para aktivis HAM dan keluarga dari penyintas untuk mencari keadilan. Khususnya penyelesaikan kasus HAM yang tak kunjung menemui jalan terang. 

Saya berdoa agar artikel ini segera jadi kisah masa lalu. Saya berdoa agar 10 tahun lagi tidak ada artikel seperti ini. Tapi apakah doa saya akan terkabul? Apakah satu dekade ke depan tidak ada lagi pelanggaran dan pengabaian kasus HAM oleh pemerintah? Saya tetap berdoa, meskipun penuh ragu dan pilu.

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Bahaya Sabunisasi di Papua dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version