Seberapa Gereget sih Kamu Ketika Jadi Santri?

MOJOK.CO – Seorang santri di pondok pesantren itu nggak melulu belajar agama. Mereka juga manusia normal yang butuh bertindak konyol. Bahkan levelnya kadang bisa jauh lebih absurd.

Ketika keluar dari pondok pesantren dan terjun ke masyarakat secara langsung, seorang santri akan dinilai orang-orang di sekitarnya sebagai sosok yang dianggap punya pemahaman lebih soal agama. Jadi pemandangan lumrah, ketika seorang santri pulang ke kampung, jadwal ngisi kultum, tausiyah, sampai baca ayat-ayat suci Al-Quran untuk hajatan kampung akan diserahkan kepada si santri ini.

Hal demikian wajar saja karena ada stereotip bahwa seorang santri selalu dianggap selalu melakukan laku tirakat sepanjang hidup di pondok pesantren. Seolah-olah segala tarikan napas si santri dihabiskan untuk mengkhatamkan Jurumiyah, At-Tadzhib, Qurrotul ‘Uyun, dan kitab-kitab lainnya saat berada di balik dinding pesantren.

Padahal, seorang santri adalah manusia biasa seperti kebanyakan orang juga. Mereka ya anak-anak muda yang juga melakukan kenakalan-kenakalan remaja juga. Dan sebagaimana lumrahnya anak muda, perilaku-perilaku konyol juga terjadi di dunia pesantren. Bahkan untuk beberapa kasus, hal-hal konyol itu bisa lebih parah ketimbang yang terjadi di dunia luar.

Untuk itu saya merasa perlu bikin daftar seberapa gereget sih seorang santri ketika masih terkungkung dalam pondok pesantren.

Oke kita mulai.

 

Seberapa gereget kamu pinjemin barang-barang ke temenmu di pesantren?

+ Saya pinjemin semua barang ke temen, dari sandal sampai sarung.

+ Termasuk sikat gigi.

Barangkali kamu yang membaca hal di atas bakal mengeyitkan dahi sejenak. Sebentar, sebentar, kalau masih sandal atau sarung masih wajarlah kalau joinan (baca: berbagi kepemilikan), tapi kalau sikat gigi? Idih, kok jorok sih, Mas?

Oke, sebelum ini sampai ke mana-mana, dan agar ini tidak disalahpahami terlalu berlebihan, maka perlu diberi batasan dulu bahwa tidak semua santri melakukan hal demikian. Di beberapa pondok pesantren modern—dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi—hal semacam ini bisa jadi tidak ada. Sedangkan di pesantren tradisional, hal ini lumrah saja terjadi.

Sikat gigi merupakan salah satu instrumen penting betapa dekatnya jalinan pertemanan antar-santri di pondok pesantren. Ini wajar saja, ketika di pesantren, teman santri satu kamar bisa jauh lebih dekat ketimbang saudara kandung sendiri. Hal ini kemudian menular pada tidak adanya batasan privasi dan publik bagi seorang santri dengan temennya. Termasuk pada kasus joinan sikat gigi.

Lah gimana? Selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 4 minggu sebulan, sampai 12 bulan setahun, kamu ketemunya ya orang-orang yang itu-itu saja. Jadi hampir mustahil rasanya kalau kamu tidak bisa dekat dengan teman-teman sekamarmu.

Kepercayaanmu pada mereka jauh lebih tinggi—bahkan—kepada orang tua sendiri. Mereka adalah orang yang—istilah—siap mati membelamu habis-habisan. Rela menunggumu berhari-hari di bangsal rumah sakit, bahkan sampai rela memberikan apa yang dia punya untukmu. Termasuk dalam hal ini: sikat gigi.

Kalau dipikirkan lagi di posisi saya yang sekarang, tentu saya akan merasa jijik. Tapi kalau ingat lagi pada zaman barbar itu, sudah jadi pemandangan lumrah jika seorang santri ke kamar mandi untuk sikat gigi hanya dengan modal naruh pasta gigi di jarinya. Lalu ketika melihat temannya sedang sikat gigi, si santri ini akan bilang….

“Eh, habis ini pinjem sikatnya ya?”

Dan orang yang lagi sikat gigi itu akan jawab dengan tenang, “Oke, tapi tunggu dulu ya. Itu masih ada dua orang yang antre.”

Sambil nunjuk dua orang lagi duduk santai sambil ngrasani, “Yaelah, main serobot antrean aja.”

 

Seberapa gereget kamu pernah ghosob?

+ Saya pernah ghosob sempak di jemuran.

+ Ternyata itu sempaknya guru ngaji.

Ghosob sebenarnya istilah endemik dalam dunia santri. Akan tetapi, sekarang istilah ini sudah meluas dan dipahami oleh banyak orang. Bagi kamu yang belum tahu apa itu ghosob, pada dasarnya istilah ini merupakan praktik simpan-pinjam barang-barang (selain uang) tanpa meminta ijin sama si empu pemilik barang.

Nah, dari perilaku inilah kemudian muncul kegoblokan-kegoblokan yang terjadi. Sebagian di antaranya pernah saya tulis juga. Seperti misalnya, ghosob sandal jepit di pondok tapi ternyata itu milik Kiai pengasuh pesantren. Akan tetapi kisah itu jelas tidak apa-apanya dibandingkan cerita teman saya yang ghosob sempak di jemuran pondok.

Selain joinan sikat gigi, kejorokan lain yang dijabanin oleh seorang santri adalah ghosob sempak. Yah, semoga kejadian semacam ini cuma terjadi di pesantren saya—tidak di tempat kalian.

Alasannya sederhana: karena sempak adalah salah satu busana mewah bagi para santri—paling tidak di pesantren saya. Bentuknya kecil tapi harganya cukup mahal, bikin tidak banyak santri rela menghabiskan uang jajannya untuk beli ini barang. Kalau pun beli, hanya dalam sekedipan mata, barang itu bisa berpindah kepemilkan dari satu lemari teman ke lemari teman yang lain.

Di sisi lain, fungsi sempak juga tak sepenuhnya berguna di pesantren saya. Malah—kalau mau jujur—sempak justru membuat ruang gerak selangkangan jadi terbatas saja. Jadi pemandangan lumrah kalau kenakalan seperti mlorotin sarung lalu terjadi peristiwa asusila yang bakal disensor kalau dibawa ke dunia luar.

Karena jadi barang mewah, menemukan sempak yang dijemur pada pagi hari merupakan peristiwa langka dan istimewa. Jika sampai ada sempak “bersih” habis dicuci ada di jemuran, entah kenapa ada saja suara-suara setan yang mbisikin, “Udah ambil aja, yang punya juga nggak bakalan tahu kalau kamu yang ambil dan pakai. Kan dipakainya di dalem?”

Lalu dimulailah peristiwa yang bakal terus diingat oleh teman saya ini sepanjang hidupnya kelak. Melihat ada sempak bersih di jemuran, hasrat ghosobnya tak terbendung. Apalagi sempak itu bermerek kelas wahid: GT Man!

Setelah sukses mengambil sempak di jemuran, teman saya lalu memamerkan hasil karyanya tersebut ke kami—teman-temannya.

“GT Man, Ndeees… GT Man lho ini…” katanya pamer kepada teman-temannya yang mbesengut iri.

Tak lama kemudian, dari arah kamar mandi keluar guru ngaji saya. Beliau hapal 30 Juz Alquran sekaligus guru Bahasa Inggris kami. Merasa mengenali barang yang sedang dipamerkan oleh teman saya ini, si guru ini bertanya singkat.

“Woy, itu kamu siapa namanya?” tanyanya tegas tak kalah mbesengutnya.

“Saya, saya Arif, Pak,” kata teman saya bingung.

“Itu sempakku. Sini balikin!”

Dan hampir setiap reuni, cerita ini selalu kami bahas berulang-ulang. Dan cerita ini baru berakhir ketika teman saya ini punya anak. Ya kali mau cerita aib bapak di depan anaknya ya kan?

 

Bonus:

Seberapa gereget Kamu pernah bercandain kiaimu?

+ Saya pernah ikut antre buat salaman sama Pak Kiai sehabis salat berjamaah.

+ Waktu giliran saya, saya malah ngeloyor pergi nggak jadi salaman.

 

Tentu ada banyak lagi kelakuan-kelakuan santri di pondok pesantren yang tidak bisa saya ceritakan semua. Bisa di-banned dari grup alumni saya kalau semua saya bongkar di sini. Lagian tulisan ini juga rasanya sudah kelewat panjang.

Meski begitu, saya tetap saja penasaran, apakah kegeretan-kegeretan bocah-bocah nakal di pesantren saya tersebut sudah sampai tahap maksimal atau belum dibandingkan pengalamanmu? Kalau belum, saya ingin tanya pada kamu yang santri, apa hal paling gereget yang pernah kamu lakuin selama kamu mondok?

Exit mobile version