MOJOK.CO – “Menghilangkan kekerasan dari suporter sepak bola seperti jadi langkah yang mustahil. Sebab dalam sejarahnya, embrio sepak bola sendiri adalah kekerasan.”
Demikian kesimpulan yang saya dapatkan ketika menyelesaikan penelitian mengenai rivalitas antar suporter sepak bola beberapa tahun silam. Premis ini semakin menjadi sebuah hal yang sulit dibantah oleh saya sendiri setelah Haringga Sirla jadi korban kekerasan antar suporter sepak bola beberapa waktu silam dengan cara mengenaskan.
Kematian Haringga, seorang The Jak Mania, tak hanya menggerus rasa kemanusiaan kita semua, namun juga membuat kita kembali harus berpikir; benarkah kekerasan dan sepak bola tidak bisa dipisahkan begitu saja? Tidak bisa kah kita menikmati olahraga ini sebagaimana kita menikmati pagelaran kesenian atau panggung tersohor di konser-konser dangdut—misalnya? Yang kita nikmati dengan riang gembira tanpa perlu ada perasaan benci?
Sebelum sampai pada kesimpulan di awal tadi, ada beberapa aspek yang—awalnya—membuat saya semakin ragu bahwa sepak bola dan kekerasan adalah dua hal yang bisa dipisahkan begitu saja. Sebab, premis ini saya dapati dari sejarah bahwa sepak bola di Inggris Raya, pada abad ke-13 sampai ke-14, memang diawali dari kekerasan.
Celakanya, kekerasan ini lahir justru bukan dari para suporter, melainkan dari setiap individu pemainnya. Ya, kamu tidak salah baca. Sejarah sepak bola memang diawali dari kekerasan yang diawali dari para pemainnya sendiri.
Tentu kita bisa berdebat, siapa bangsa yang pertama kali memainkan olahraga ini. Benarkah kebudayaan Cina? Romawi? Tapi mari akhiri perdebatan ini untuk menyepakati bahwa sepak bola modern yang kita kenal sekarang memang “rancangan” dari kebudayaan masyarakat Inggris Raya tempo dulu.
Sebagai sebuah bangsa yang—sedikit—terbelakang ketimbang bangsa-bangsa di Eropa daratan, masyarakat Inggris Raya memang punya kekolotan bersikap yang bebal di satu sisi, tapi juga menakjubkan di sisi yang lain. Kesetiaan mereka yang luar biasa terhadap teritori menciptakan akar perselisihan antar suporter sepak bola yang kemudian diwariskan ke seluruh bangsa di dunia—termasuk ke sepak bola Indonesia.
Sudah menjadi pemandangan biasa ketika usai sepak bola dimainkan pada abad ke-13 di Inggris Raya, seorang pemain akan berakhir dengan cedera yang setara dengan luka peperangan. Tulang kaki retak, tulang rusuk patah yang menembus paru-paru, luka robek sampai darah mengalir, bahkan pada beberapa kasus cukup banyak pemain yang harus merenggang nyawa di lapangan.
Senjata-senjata seperti belati pun sering dibawa oleh pemain di atas lapangan untuk “menghentikan” lawan. Tentu saja, jangan dibayangkan pertandingan tersebut dimainkan oleh 11 lawan 11, di atas lapangan 120 kali 90 meter, dengan seorang pengadil lapangan yang siap memberi peringatan-peringatan.
Sepak bola saat itu dimainkan tanpa aturan jumlah pemain yang berada di lapangan, tanpa standar pelanggaran yang jelas, permainan yang dilakukan karena perkara “suka sama suka” akan kekerasan semata. Itu sebabnya, Raja Eddward III (Inggris) dan Raja James I (Skotlandia) sempat “mengharamkan” permainan ini dengan menggandeng kekuatan otoritas gereja pada masa itu.
Pengharaman ini diperlukan karena berkali-kali muncul korban tewas dari sepak bola. Pihak kerajaan lalu melihat bahwa sepak bola ternyata hanya jadi kedok untuk menutupi akar kebencian para penduduk antara satu distrik dengan distrik yang lain. Sepak bola hanya jadi alibi saja. Tujuan sepak bola ini diselenggarakan bukan untuk “bermain”, melainkan ya karena ingin tawuran saja. Ya, sesederhana itu.
Hal ini yang kemudian jadi sebab, dari akar yang sama—selain kita mengenal sepak bola—lalu muncul juga olahraga rugby pada periode yang berdekatan. Sebagai usaha untuk meminimalisir kebrutalan dalam sepak bola, lalu muncul Cambridge Rules pada abad ke-19, sebagai upaya—salah satunya—menendang segala macam keliaran sepak bola barbar dari dalam lapangan.
Hanya saja tidak semua orang sepakat dengan hal tersebut. Orang-orang yang tidak sepakat ini kemudian melahirkan Rugby School karena ingin “mempertahankan” unsur kekerasan dari sepak bola. Sebab, pertarungan di atas lapangan dianggap jauh lebih baik ketimbang tawuran di jalanan yang tidak ada ketentuan waktu dan tempat sehingga berpotensi jadi konflik horizontal yang meluas tak terkendali.
Sepak bola di lapangan kemudian jadi jauh lebih beradab. Kekerasan-kekerasan brutal tak lagi terjadi di lapangan. Hanya saja, peraturan ini juga membatasi jumlah pemain yang bisa berlaga jadi hanya tersisa 11 orang saja. Imbasnya, ada cukup banyak orang-orang yang ingin bermain, tapi karena tidak memiliki kecapakan yang cukup untuk menendang bola, harus puas menyaksikan laga sepak bola dari pinggir lapangan.
Mereka inilah yang nanti jadi cikal bakal pendukung-pendukung beringas yang sekarang juga dikenal dengan istilah hooligans. Sekelompok suporter sepak bola yang beringas bukan karena persoalan prestasi semata, tapi lebih kepada semangat mempertahankan kekuatan dan reputasi teritori. Persis seperti semangat bermain sepak bola yang pernah mereka mainkan sebelumnya.
Ketika pemain bisa diper-adab-kan melalui aturan-aturan sepak bola, sampai abad ke-20, suporter kemudian jadi biang kerok paling sulit dikendalikan untuk menjauhkan sepak bola dari kekerasan. Sentimen antar distrik di Inggris Raya jadi hal yang tidak menemukan jalan keluar sampai kemudian terjadilah tragedi Hillsborough pada 1989.
Tragedi yang melibatkan dua klub Liga Inggris terkemuka saat itu, Liverpool melawan Nottingham Forest mengakibatkan 95 suporter Liverpool tewas. Dunia sepak bola berduka, namun duka itu diimplementasikan tidak hanya dengan ungkapan melankolis semata, melainkan juga perubahan aturan yang akan mengubah wajah sepak bola untuk selama-lamanya.
Salah satu langkah paling ketara adalah keputusan FA untuk meregulasi aturan baru mengenai standar stadion-stadion di Inggris dengan membuat tribun penonton menjadi deretan kursi tempat duduk layaknya penonton di bioskop karena nonton sepak bola bisa dilakukan tanpa perlu ada pagar pembatas.
Perubahan ini kemudian memicu revolusi besar-besaran seluruh klub di Inggris. Karena jarak penonton dengan lapangan permainan menjadi begitu dekat dan tanpa dibatasi apapun, faktor keamanan dan ketertiban stadion menjadi perhatian serius.
Konsekuensinya, setiap stadion diharuskan memasang kamera pengawas dan tiket masuk merupakan upaya identifikasi setiap penonton yang masuk ke stadion. Pada akhirnya tidak ada satu pun penonton sepak bola di stadion-stadion Inggris yang tidak bisa dikenali.
Persyaratan menjadi seorang penggemar yang menonton langsung di stadion pun menjadi sangat ketat. Setiap penonton yang kedapatan melanggar peraturan akan dihukum sangat berat.
Hal ini juga menunjukkan bahwa cara mengatasi kebrutalan kerumunan adalah dengan menjadikan suporter sebagai sekelompok individu. Mengidentifikasi setiap kepala para kerumunan suporter, sehingga tanggung jawab mereka tidak lagi bisa dilimpahkan ke kerumunan, melainkan pada diri mereka masing-masing.
Akan tetapi, perubahan ini bukannya tidak memiliki dampak negatif. Untuk ongkos keamanan dan kenyamanan yang lebih terjamin, harga tiket jadi naik beberapa kali lipat. Konsekuensi ini kemudian menyingkirkan kelas pekerja (proletar) masyarakat Inggris yang biasa melakukan pelampiasan kekerasan di stadion terhadap suporter lawan, untuk kemudian memberi tempat kepada penonton jenis baru yang hadir karena ingin menikmati sepak bola saja.
Jadi cerita mafhum setelahnya, jika kerusuhan sepak bola Inggris lebih sering dilakukan di luar stadion ketimbang di dalam stadion. Perkelahian ini pun bukan berlandaskan atas persaingan antara klub yang sedang bertanding, melainkan hanya perkara teritori. Pola pikir yang bernarasi; “Ada sekelompok musuh yang mendatangi tanah kelahiran kita. Mari kita habisi. Persetan dengan hasil pertandingan.”
Masalahnya, ketika sepak bola kemudian diimpor oleh Pim Mullier, seorang warga negeri Belanda ke Nusantara pada 1897, masyarakat kita sebenarnya tidak punya akar kebencian yang sama seperti masyarakat Inggris.
Beberapa konflik sepak bola di Indonesia muncul murni karena persoalan sepak bola. Tidak ada kaitannya dengan—misalnya—konflik sebelumnya antara Suku Sunda para Bobotoh dengan Suku Betawi para The Jak Mania. Semua perselisihan suporter sepak bola di negeri kita ini—sebagian besar—benar-benar lahir murni dari persoalan di dalam lapangan, bukan sebaliknya.
Meski begitu, tentu saja saya tak pernah berhenti percaya bahwa tidak ada seorang pun penikmat sepak bola di Tanah Air, menginginkan sepak bola terus bermesraan dengan kekerasan seperti ini—apalagi sampai harus mengorbankan nyawa seorang Haringga Sarli.
Jadi meski beberapa latar sejarah mengindikasikan bahwa olahraga ini memang akrab dengan kekerasan, tapi itu tidak bisa jadi pegangan bahwa sepak bola tidak bisa benar-benar bercerai dengan kekerasan.
Satu hal yang membuat saya ingin membantah premis di awal tadi, sebab saya yakin dalam setiap kemunculan sesuatu, “kekerasan” acapkali memang ada sebagai sebuah proses pembentukan.
Saya bisa saja kasih contoh. Misalnya agama Islam yang dalam kemunculan awalnya juga akrab dengan peperangan, namun tentu tidak bisa jadi pembenaran bahwa Islam adalah agama kekerasan.
Kemerdekaan Indonesia yang diraih melalui berbagai macam pertempuran dan pengkhianatan tidak kemudian jadi representasi bahwa kita adalah bangsa yang suka bertempur atau bangsa yang suka berkhianat.
Bahkan pada hal terkecil saja, bahwa kelahiran kita sendiri sendiri, muncul karena “kekerasan” dari ayah dengan ibu.
Jadi jika masih ada yang bertanya kepada saya, memang mungkin ya menceraikan (suporter) sepak bola dengan kekerasan?
Saya akan jawab, mungkin. Karena agama, bangsa, dan saya sendiri adalah saksi bagaimana kekerasan tidak perlu dipertahankan dalam berbagai hal kalau kita mau, karena kita diberi pilihan untuk menentukan mana yang baik untuk kita dan mana yang tidak.
Hanya saja tentu saya juga harus sadar bahwa itu semua tidak mudah untuk diwujudkan. Terutama ketika di dunia sepak bola Indonesia masih saja ada orang yang ketika ditanya namun malah balik tanya: “Apa urusannya Anda menanyakan itu?”