MOJOK.CO – Saat usia sekolah olok-olakan yang paling sering dilakukan adalah ejek-ejekan nama bapak. Kenapa sih ini jadi tradisi yang sulit hilang dari dunia masa remaja Indonesia?
“Anu, maaf Pak, selamat malam, Mundiri ada di rumah, Pak?”
“Iya, saya sendiri Mundiri.”
Yang bertanya pucat pasi. Baru saja dia keceplosan memanggil nama temannya dengan sebutan nama bapak. Masalah dimulai karena sosok di hadapannya adalah bapaknya teman yang dimaksud, alias orang yang namanya betulan Mundiri.
“Maaf Pak Mundiri, maksud saya, saya mau cari Hanief, anak bapak. Hehehe.”
Ini adalah salah satu adegan goblok yang saya yakin sering dialami oleh banyak orang. Memanggil teman dengan sebutan nama bapak seperti sebuah kebiasaan komunal yang sulit dihapus. Ejek-ejakan nama bapak di sekolah semacam ini memang kadang masih terbawa ketika berhadapan dengan orang yang punya namanya.
Contohnya seperti teman saya bernama Hanief tadi, yang dipanggil Mundiri (nama bapaknya), tapi teman-temannya malah sering kelepasan kalau lagi main ke rumah. Benar-benar jadi pemandangan yang bodoh dan memalukan, meski kalau dipikir-pikir lagi jadi pengalaman jenaka.
Dalam bahasa Jawa hal seperti ini namanya “paraban”, nama julukan yang seringkali digunakan sebagai panggilan ejekan. Kriterianya pun macam-macam, nama bapak sebagai bahan ejekan adalah salah satunya.
Selain itu ada peristiwa-peristiwa monumental yang membuat seseorang jadi punya nama paraban. Misalnya, seorang teman dipanggil Sedot, karena keseringan pilek sehingga sering sentrap-sentrup. Ada lagi yang dipanggil Mungil, akronim dari Munyuk Ngiler, karena pernah ketiduran di kelas dan ngiler satu kolam.
Dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, nama julukan atau paraban seperti ini memang bukan sesuatu yang penting. Barangkali fenomena ini cuma akan dianggap sebagai kearifan lokal yang tanpa sengaja malah dilestarikan dari generasi ke generasi. Meski begitu, dalam tata bahasa Arab, paraban atau nama julukan punya kedudukan penting. Bahkan sampai ada kajian khusus untuk mempelajarinya. Biasa disebut sebagai laqob.
Jika dalam bahasa Inggris kita mengenal istilah noun sebagai kategori nama, di dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan ‘alam. Nah, seperti halnya noun, ‘alam merupakan isim ma’rifat sebagai bentuk frasa yang merujuk pada nama. Nama apapun. Kursi, meja, petir, Agus Mulyadi, sampai Puthut EA.
Nah, ‘alam ini punya kategori tiga bagian. Jika di bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak punya turunan langsung untuk dibagi lagi, dalam bahasa Arab kategorinya ada; (1) isim sebagai nama sebenarnya (nama asli); (2) laqob sebagai julukan atau paraban sebagai ejekan atau pujian; kemudian (3) kun-yah yang merupakan julukan berdasar nama keluarga.
Sulit ya? Ha memang sulit kalau kita tidak tahu tradisi dan budaya orang Arab dalam berbahasa, tapi sebenarnya hal ini tidaklah sulit-sulit amat dipahami karena kita sebenarnya terbiasa dengan praktik ini.
Mau contoh? Ya seperti teman saya yang bernama Hanief di awal tulisan tadi. Hanief teman saya ini dipanggil Mundiri. Padahal nama lengkapnya tidak ada unsur Mundiri-Mundiri-nya sama sekali, karena nama lengkapnya (isim) Hanief Arifin.
Lalu kenapa Hanief dipanggil Mundiri? Ya karena ini adalah paraban sebagai maksud untuk ejek-ejekan nama bapak. Nah, dalam bahasa Arab praktik semacam ini namanya isim kun-yah.
Kalau kita melihat beberapa nama sahabat-sahabat Nabi Muhammad, hampir semua sahabat punya isim kun-yah. Misalnya Abu Bakar, Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, sampai Umar bin Khattab. Semua nama setelah kata “bin” adalah nama bapak dari si empu punya nama.
Jika kita terbiasa menggunakan nama bapak untuk memanggil nama teman, di bahasa Arab nama ibu sampai nama anak juga biasa digunakan. Misalnya, Ibnu Batutah yang bermakna ayah dari anak laki-laki bernama Batutah atau Ummu Maktum yang bermakna ibu dari seseorang bernama Maktum.
Masalahnya, ketika kamu bertanya-tanya, loh itu kan nama penghormatan semua, di tempat kita penggunaan panggilan bapak kan dipakai untuk mengejek. Weits, jangan salah, nama panggilan dari kategori isim kun-yah juga bisa dipakai nama olok-olokan di Arab sana. Contohnya? Abu Jahal atau Abu Lahab misalnya.
Selain soal kategori nama keluarga, lalu ada laqob. Nah, yang ini dua teman saya dengan panggilan Sedot dan Mungil tadi masuk pada kategori ini. Dalam tradisi Arab, kita juga mengenal nama julukan (baca: laqob) dari Nabi Muhammad. Misalnya Al-Amin, Ar-Rasul, Al-Haq, dan banyak lainnya. Bahkan nama Allah SWT sendiri punya laqob sebanyak 99 nama yang kita kenal sebagai Asmaul Husna.
Nah, seperti halnya laqob. Bisa jadi kamu protes, loh yang di contoh itu kan panggilan yang mengarah ke positif semua? Kalau ejekan kayak Sedot atau Mungil kan jelas-jelas laqob olok-olokan, dengan maksud untuk mengejek, ya kan?
Apa kamu tidak tahu nama perawi hadis terkenal Abu Hurairah? Beliau punya nama asli Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi, tapi orang-orang lebih kenal dengan laqob kombinasi kun-yah-nya, yakni: Abu (bapaknya) Hurairah (kucing) karena suka memelihara banyak kucing. Bahkan nama ini malah jauh lebih terkenal sampai bikin banyak orang tidak tahu nama asli Abu Hurairah.
Memangnya kenapa sih ilmu-nggak-guna macam ini dipelajari?
Ya sebabnya, nama-nama Arab itu relatif sama antara satu sama lain. Misalnya nama seperti Ali, Umar, atau bahkan nama Nabi sendiri, semua orang Arab (dan umat muslim di Indonesia) banyak yang menggunakannya. Ini jelas jadi kesulitan kalau seorang bernama Umar sedang bersebelahan dengan Umar yang beda orang. Nah, untuk membedakannya diperlukan laqob (julukan) atau kun-yah (nama orang tuanya) untuk jadi pembeda.
Dalam fungsi yang lain, mempelajari ilmu-yang-kayaknya-nggak-berguna-ini juga berfungsi untuk melacak perawi hadis. Membeda-bedakan jika antar satu perawi dengan perawi yang lain namanya betulan sama. Misalnya Muhammad bin Ja’far, seorang perawi hadis yang ternyata dalam ilmu tafsir hadis ada tiga orang yang punya nama ini sama persis.
Lalu untuk bisa melacak perbedaan sanad hadisnya kita bisa melacak dari laqob-nya, atau nama julukannya. Kalau masih susah, kita bisa melacak dari kun-yah-nya untuk melacak nama bapak atau ibunya. Akhirnya tiga orang dengan nama Muhammad bin Ja’far ini dibedakan menjadi tiga laqob: Al-Bashri, Ar-Razi, dan Al-Baghdadi. Nah, yang terakhir itu laqob didasarkan dari lokasi tempat tinggal si empu punya nama yang tinggal di Baghdad. Ya seperti Sakti mantan gitaris Sheila on 7 itu, yang setelah hijrah punya laqob Sakti Al-Jugjawy karena tinggal di Jogja.
Persoalannya nama-nama orang di Indonesia itu memang kadang tidak terlalu variatif antara satu dengan yang lain. Nama Muhammad saya yakin ada ratusan sampai jutaan yang menggunakannya di Indonesia, belum dengan nama Aisyah, Fatimah, dan lain sebagainya. Kadang-kadang karena kesamaan nama tersebut lalu digunakan beberapa detail spesifik untuk menyebut perbedaannya.
Misal, “itu lho si Aisyah anak kompleks Gang Jeruk,” akhirnya Aisyah punya laqob Aisyah Jeruk. Atau, “itu lho si Aisyah anak kompleks Gang Pendekar.” Akhirnya Aisyah yang lain dipanggil Aisyah Pendekar.
Nah, karena banyaknya nama yang sama di sekitar ini, budaya pembeda (atau olok-olokan) ini jadi ikut menular dan berlanjut jadi tradisi yang mengasyikkan. Entah mau pakai ejek-ejekan nama bapak, nama kebiasaan-kebiasaan buruk, nama tempat tinggal, atau bahkan—mungkin—di masa depan panggilan olokan ini akan berkembang menggunakan nama mantan.