MOJOK.CO – Karakter Zahra di sinetron Indosiar ‘Suara Hati Istri’ dikritik di mana-mana. Kritiknya pun serius beneran. Nggak yang sekadar ngejek-ngejek lagi.
Lagi dan lagi. Sinetron Indosiar kena lagi. Setelah konsisten jadi bahan ledekan netizen dengan adegan-adegan sinetron yang kocak dan memeable selama beberapa tahun ke balakang, kali ini Indosiar naik tingkat ke level yang agak serius.
Tak ada lagi selentingan soal CGI yang ala kadarnya, adegan joget TikTok untuk bangunin pasien koma, atau plot cerita yang demen pakai jurus “ujug-ujug”. Melalui sinetron Suara Hati Istri kini Indosiar sudah naik level dengan mengangkat dua isu sensitif.
Isu pertama, pernikahan di bawah umur.
Pada mulanya, netizen tidak begitu ngeh dengan sinetron yang jelek saja belum ini, maklum sih, reputasi sinetron Indosiar kan begitu-begitu aja dari dulu, kalau tidak ada yang kontroversial ya nggak bakal dibahas.
Namun, semua berubah sejak muncul potongan adegan ketika Zahra, karakter istri yang dimadu pada usia 17 tahun (diperankan oleh artis usia 15 tahun), digambarkan akan melakukan adegan ranjang dengan suaminya yang berusia 39 tahun.
SJW-SJW pun bermunculan, dan kali ini banyak netizen yang mendukungnya. Apalagi karakter Tirta digambarkan kerap melakukan kekerasan seksual simbolik. Seperti ketika malam pertama, Tirta memaksa halus si Zahra padahal sang istri sudah sempat menangis ketakutan.
Kecaman datang dari mana-mana. Terutama kalau mengacu pada UU Perkawinan No. 16/2019 maka usia minimal pernikahan (baik laki maupun perempuan) adalah 19 tahun. Sedangkan pada UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, minimal seseorang bisa menikah itu usia 18 tahun.
Sinetron ini pun dinilai netizen melanggengkan praktik perkawinan anak dan justru menjadi bagian dari kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Isu kedua, poligami.
Lewat karakter Pak Tirta (lebih tepat disebut “Om” sih sebenarnya), sinetron Suara Hati Istri ditampilkan sebagai seorang suami yang kaya raya, sukses, dan bebas masalah finansial. Netizen baru ngeh sinetron ini bermasalah ketika menyadari bahwa topik poligami dijadikan sebagai kunci konflik membangun cerita.
Topik poligami adalah topik yang berat. Jika tidak hati-hati, akan banyak orang yang merasa tersinggung.
Dalam hal ini Suara Hati Istri agaknya kurang aware dengan sensitivitas itu. Gambaran poligami menjadi arena yang begitu banal dan tanpa tedeng aling-aling di sinetron tersebut (ada adegan Om Tirta menculik Zahra).
Apalagi Om Tirta ngebet menikahi Zahra, gadis berusia 15 tahun, yang mana sempat punya hubungan spesial dengan anaknya sendiri, Alsyad. Makin berat lagi, alasan Zahra diizinkan menikah oleh ayahnya adalah karena keluarga Zahra terlilit utang oleh Om Tirta.
Jalan cerita ini sebenarnya masih agak masuk akal, maksudnya bukan cerita yang baru-baru amat. Di naskah-naskah fiksi atau film zaman dulu, alasan menikahkan anak karena terlilit utang itu sebenarnya cerita yang cukup sering diangkat.
Masalahnya, alih-alih mengemasnya dengan serius, Suara Hati Istri didesain dengan agak buru-buru dan kurang hati-hati. Isu poligami sendiri sudah panas, dan karakter Tirta dalam mendominasi Zahra kelewat brutal—terutama ketika tayangan ini muncul di stasiun televisi pada jam tayang prime time (18.00).
Padahal, produser dan sutradara Suara Hati Istri bisa belajar dari film Berbagi Suami (2006) yang disutradarai Nia Dinata. Meski sama-sama topik poligami, film Berbagi Suami tidak mendapat kritik keras seperti sinetron Suara Hati Istri pada era itu.
Padahal secara garis besar, keduanya punya akar konflik yang sama. Bahkan ada satu benang merah yang mirip antara keduanya. Jika Suara Hati Istri punya Zahra sebagai seorang istri yang dipoligami pada usia begitu muda, Berbagi Suami punya karakter Ming (diceritakan masih 19 tahun) ketika dipoligami.
Dua kata kunci yang membuat keduanya bisa berbeda diterima masyarakat adalah ini: KEBERPIHAKAN dan RISET.
Suara Hati Istri tidak menonjolkan sikap keberpihakan pada karakter perempuan. Alih-alih menampilkan “perlawanan” pada praktik poligami dan pernikahan di bawah umur, sinetron ini justru menormalisasi dan meromantisirnya. Apalagi terlihat bagaimana Zahra kayak terima-terima aja dipoligami oleh om-om.
Beda dengan film Berbagi Suami yang dibikin usai riset yang panjang, sehingga bikin Nia Dinata perlu menampilkan gambaran poligami lewat berbagai latar belakang sosial dalam tiga segmen cerita yang berbeda.
Sebaliknya, Suara Hati Istri malah terjebak dengan keharusan dapat rating tinggi. Barangkali ingin mengangkat soal risiko poligami, tapi karena plot cerita yang ujug-ujug, beberapa gambaran yang ditampilkan justru berbalik menunjukkan bagaimana poligami yang dipaksakan malah bisa menciptakan keluarga yang “baik” dan “romantis”.
Belum dengan problem yang terjadi justru muncul karena hasutan istri Om Tirta yang lain atau karakter pembantu perempuan di sinetron ini. Adegan yang justru mengafirmasi bahwa benar adanya kalau sesama perempuan malah bisa saling menjatuhkan… bahkan di dalam rumah tangga yang sama!
Lewat “fitnah-fitnah keji” dari para karakter lain, antagonis dalam cerita ini pun tak melulu jatuh pada Om Tirta (yang level antagonisnya jauh lebih jahat ketimbang Thanos atau Darkside), tapi malah perempuan-perempuan lain di sekitar Om Tirta. Perempuan-perempuan yang digambarkan sebagai tukang hasut untuk semakin membuat protagonis menderita.
Sangat berbanding terbalik dengan Berbagi Suami karya Nia Dinata, bagaimana sebagai sama-sama “korban” dalam praktik poligami, Nia Dinata menunjukkan bagaimana sesama istri yang dipoligami saling support, tidak saling menjatuhkan satu sama lain.
Perspektif inilah yang membedakan dua tayangan tersebut. Yang satu memakain persepektif feminin, sedangkan Suara Hati Istri malah memakai perspektif maskulin. Hal yang digambarkan dengan adegan bahwa perempuan pun bisa jahat ketika dipoligami.
Sebenarnya jika ada pihak yang harusnya paling marah dengan adegan-adegan dalam Suara Hati Istri, maka pihak itu adalah suami-suami yang melakukan praktik poligami di dunia nyata. Mereka-mereka yang demen ikut seminar poligami atau yang mengampanyekannya.
Lah iya dong, citra mereka semakin diperburuk dengan keberadaan sinetron ini. Dalam Berbagi Suami, kritik itu sebenarnya ada tapi diwujudkan dalam tone yang lembut. Sehingga masih banyak masyarakat yang menerimanya dengan baik, meski mereka pelaku poligami sekalipun.
Begitu berbeda dengan Suara Hati Istri, yang dari judulnya seperti membela kaum perempuan tapi isinya justru menormalisasi penderitaan perempuan. Udah gitu perempuan yang dijadikan “korban” di bawah umur lagi.
Dan ketika mengingat lagi persoalan yang mendera Indosiar dan sinetron-sinetronnya belakangan ini (yang masalahnya selalu soal remeh temeh), harus diakui—lewat kasus ini—Indosiar sedang naik level ke persoalan yang lebih serius.
Serius banget sembrononya.
BACA JUGA Dari Sekian Banyak Sunah Nabi Kenapa Hanya Memilih Poligami? dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.