Khotbah Jumat: Adab dalam Memberi Nasihat

MOJOK.COKhotbah Jumat kali ini merupakan kisah seorang kiai dengan salah seorang jemaahnya. Sebuah kisah yang menjadi contoh tentang adab memberi nasihat.

Assalamualaikum, jamaah Mojokiyah sidang khotbah Jumat.

Semoga kita semua dirahmati Allah sebagaimana rahmat tercurah kepada Habib Rizieq Shihab yang baru saja dicalonkan oleh Persaudaraan Alumni 212 sebagai calon presiden (capres). Kita doakan semoga beliau dimudahkan untuk mengemban amanah tersebut, mengingat kesibukan beliau beribadah umrah yang bablas haji lalu bablas umrah lagi sampai musim haji tahun depan.

Alhamdulillah, semoga kita bisa meniru beliau yang selalu beribadah umrah terus-menerus nggak ada berhenti-hentinya di tanah suci.

Selawat serta salam juga semoga selalu tercurah bagi kita semua pada bulan Ramadan yang bikin kita jadi pura-pura alim di khotbah Jumat kali ini. Di depan semua orang berlagak kelaparan dan kehausan, sedangkan waktu sendirian malah ketiduran. Lalu ngaku-ngaku bahwa tidurnya adalah ibadah meski sudah tahu bahwa sumbernya dari hadis yang lemah. Ya, cuma karena keseringan dipakai saja itu hadis jadi kelihatan sahih.

Pada kesempatan khotbah Jumat kali ini, izinkan saya untuk mengisinya dengan sebuah cerita.

Syahdan, seorang kiai legendaris didatangi tamu bapak-bapak. Si bapak mengeluhkan kebiasaan anaknya yang tidak bisa mengendalikan diri makan gula. Bahkan menurut si bapak, anaknya seperti kecanduan. Dari pagi ketemu pagi, si anak yang kira-kira umurnya baru mau masuk TK itu tidak bisa menghentikan aktivitas makan gulanya.

“Jadi begitu, Pak Kiai. Anak saya tidak mau berhenti makan gula. Saya sudah berkali-kali menasihatinya supaya berhenti. Sudah tak terhitung lagi saya menasihatinya supaya dia mau—paling tidak mengurangi makan gula. Eh, terpental semua nasihat saya, Pak Kiai,” kata si bapak.

“Tolong, Pak Kiai, anak saya dikasih sesuatu agar, yaaah, paling tidak bisa mengurangi makan gula. Saya takut jika anak saya makan terlalu banyak gula, dia jadi tidak sehat. Nanti kalau udah besar dikit jadi sakit-sakitan gimana?” lanjut si bapak.

Pak Kiai yang mendengar keluhan tamunya menatap heran sekaligus serius. Persoalannya memang sepele, cuma makan gula, tapi kenapa bisa jadi sesulit itu. Dengan sedikit respons, Pak Kiai kemudian balik bertanya.

“Sampean setiap hari kalau minum cuma minum air putih sajakah?”

“Oh, tentu saja tidak Pak Kiai. Kadang minum kopi, kadang teh juga.”

“Pakai gula?” tanya Pak Kiai.

“Tentu saja pakai, Pak Kiai,” jawab si tamu.

Tak berselang lama Pak Kiai celingak-celinguk mencari sesuatu. “Lho, lha anak sampean ndak ikutan?” tanya Pak Kiai.

“Tidak, Pak Kiai. Anak saya di rumah. Saya berharap sih Pak Kiai mau doain anak saya atau paling tidak bawain saya air doa untuk anak saya biar nggak ketagihan makan gula lagi,” kata si bapak.

Pak Kiai hening sejenak mendengarnya. Tak berselang lama meminta si bapak sedikit mendekat.

“Begini, Pak. Sampean pulang saja dulu. Besok, tiga hari lagi silakan datang lagi ke sini sama anak bapak yang ketagihan gula itu,” kata Pak Kiai.

Meskipun bingung dengan permintaan Pak Kiai, si bapak ini pun akhirnya undur diri.

Tiga hari kemudian, si bapak ini datang lagi ke kediaman Pak Kiai. Kali ini turut serta anaknya.

“Jadi ini anak sampean yang katanya ketagihan gula itu?” kata Pak Kiai.

“Iya, Pak Kiai,” kata si bapak.

Melihat si anak yang lincah, Pak Kiai lalu mendekati si anak lalu sedikit membungkuk sambil berkata pelan, “Besok makan manis-manisnya dikurangi dulu, ya? Nggak usah terlalu banyak. Nggak baik,” kata Pak Kiai. Kata-kata itu juga didengar oleh si bapak.

Mendengar itu, si bapak heran. Heh, masak cuma gitu?

Sesaat kemudian Pak Kiai berkata si bapak, “Sudah, Pak. Silakan pulang. Jika nanti masih ada keluhan, datang lagi kemari, ya.”

Tentu si bapak tidak percaya begitu saja pada apa yang dikatakan Pak Kiai. Meski begitu si bapak tetap pulang. Mau bagaimana lagi? Urusannya sudah beres.

Ajaib. Sejak sowan yang kedua itu, si anak benar-benar berhenti kecanduan gula seperti biasanya. Hal yang tentu saja membuat si bapak terheran-heran. Kok cuma dibilangin begitu oleh Pak Kiai, anaknya bisa berubah?

Karena penasaran, beberapa hari kemudian si bapak kembali ke kediaman Pak Kiai. Hanya saja kali ini si bapak tidak ingin menemui Pak Kiai, melainkan bertemu salah seorang santri yang membantu urusan dapur Pak Kiai.

“Mas, Mas, sebentar saya mau tanya,” kata si bapak kepada salah seorang santri.

“Iya, Pak. Ada apa, ya? Mau ketemu Pak Kiai? Sebentar, sebentar, biar saya panggilkan,” kata si santri.

“Bukan. Saya cuma mau tanya. Sampean, kan, tahu saya yang dulu itu pernah sowan ke sini dan minta didoakan biar anak saya berhenti kecanduan gula. Nah, anak saya sudah saya nasihati berkali-kali nggak mempan, lha kok cuma sekali dibilangin Pak Kiai bisa langsung nurut begitu, memangnya rahasianya apa, ya? Sampean tahu nggak?” tanya si bapak serius.

“Oh, begitu tho. Pantesan,” kata si santri.

“Iya, yang itu. Memangnya kenapa, Mas? Memangnya ada apa?” si bapak jadi makin penasaran.

“Bukan begitu, Pak. Jadi, sejak panjenengan sowan ke sini yang pertama itu, mendadak Pak Kiai ngasih perintah ke saya dan santri tukang masak lain untuk tidak memasukkan gula pada setiap minuman dan makanan beliau. Selama tiga hari itu pula Pak Kiai berpuasa berturut-turut. Saya pikir ada apa, ternyata itu untuk mendoakan anak panjenengan tho,” jawab si santri.

Mendengar itu si bapak terkejut. Hanya demi seorang anak yang kecanduan gula, Pak Kiai sampai menahan diri tidak makan gula dan berpuasa. Padahal, dipikir-pikir lagi oleh si bapak, sosok sekaliber Pak Kiai tentu tak perlu lagi tirakat hanya untuk mendoakan salah seorang jemaahnya. Lha ini? Pak Kiai sampai ikut-ikutan tidak mencecap rasanya manis gula hanya untuk bilang kepada orang lain agar tidak lagi makan gula.

Hanya demi sebuah pekerjaan “seremeh” itu, Pak Kiai rela melakukan tirakat yang berat. Buat anak kecil lagi. Sebuah contoh yang sebenarnya juga pernah disampaikan oleh Allah, sidang khotbah Jumat Mojokiyah, melalui firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 44:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ  ۚ  أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban diri sendiri), padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?

Kisah ini merupakan petunjuk bagaimana seseorang yang ingin memberi nasihat kepada orang lain sebaiknya melakukannya juga untuk diri sendiri. Membebankan kepada orang lain, yang dalam hal ini adalah seorang anak, berarti yang bersangkutan juga sebaiknya ikut merasakan apa yang dinasihatkan.

Hal yang juga menjadi kritik terhadap si bapak. Selama ini si anak kecanduan gula karena si bapak juga tidak mau membatasi diri dengan gula. Seperti halnya kita melarang anak kita sendiri untuk tidak berbohong, hanya saja kita sering mengabaikan atau meremehkan janji-janji kepada anak karena menganggap mereka hanyalah anak-anak. Sikap meremehkan yang juga sering ditemui oleh penasihat berlagak alim saleh dan menganggap remeh jemaahnya hanya karena mereka orang awam agama.

Sidang khotbah Jumat Mojokiyah yang dirahmati Allah… kisah Pak Kiai ini menyadarkan kepada si bapak, dalam setiap nasihat selalu ada laku tirakat yang tidak main-main. Sebab, sebuah nasihat dari seorang yang benar-benar saleh muncul karena yang memberi nasihat sudah lebih dulu melakukannya. Bukan sekadar omdo atau bahasa fisikanya: jarkoni. Seremeh apa pun perintah itu, sesepele apa nasihat tersebut.

Demikian edisi khotbah Jumat kali ini. Semoga keselamatan masih tetap tercurah kepada ente semua sebagaimana juga kepada para calon presiden kita esok. Harap tidak dibaca antara takbir sampai salam waktu salat Jumat. Batal, woi.

Makan mangga dibuang kulitnya

Dimakan di atas motor Kharisma

Semoga khotbah Jumat ini ada hikmahnya

Maaf kalau maksa-maksa jadi berima.

Wassalamualaikumwarohmatullahiwabarakatuh.

Diinspirasi dari kisah Syekh Kiai Kholil Bangkalan, Madura.

Baca Khotbah Jumat edisi sebelumnya: Unduh Gratis Hikmah Membatasi Nafsu.

Exit mobile version