Once upon a time … seorang bocah SD bernama Ungke lahir dan tumbuh di Kota Manado. Nama bocah ini sebenarnya keren: Stefanus Corneles. Cuma lantaran ini anak keturunan Suku Sangir (dari Sangihe, satu kabupaten di Sulawesi Utara), nama Ungke yang merupakan panggilan akrab untuk laki-laki Suku Sangir melekat kepadanya.
Ada beberapa mop tentang Ungke yang kerap kali dituturkan orang Manado dan sekitarnya. Ungke melegenda di kawasan Indonesia timur, dari ia kanak-kanak hingga kakek-kakek. Berikut beberapa mop tentang Ungke ketika dia bocah.
Pelajaran Sejarah
Ungke baru saja naik kelas 4 SD. Suatu pagi ia berangkat ke sekolah dan ketika sampai, semua siswa sedang apel di lapangan. Baru setelah itu satu per satu mereka dikandangin, eh, masuk kelas maksudnya.
Di kelas Enci’ (ibu guru) sudah menunggu mereka. Enci’ ini dikenal paling rajin serajin-rajinnya rajin di antara semua guru. Karena itu dia selalu lebih dulu berada di kelas, mendahului para siswa.
Pelajaran dimulai dengan pertanyaan.
“Anak-anak masi inga to pelajaran di kelas-kelas sebelumnya soal pahlawan nasional. So talalu le kalo so lupa (terlalu kalau sampai lupa). Enci’ mo tes tanya ulang sekarang.”
Pandangan Enci’ menyapu seisi kelas, kemudian berhenti di bangku Ungke.
“Ungke kenal Wolter Mongisidi?” tanya Enci’.
“Nyandak no,” jawab Ungke polos.
“Kalo Sam Ratulangi?”
“Kita nintau le.”
“Bagimana lei ngana ini? Samua ngana nintau. Ndak ja blajar ngana kang?”
Mendengar perkataan Enci’, Ungke balik bertanya.
“Enci’ kenal Eges Pinontoan, Mul Rumengan, deng Eling Sondakh?”
“Nyandak no Ungke … Sapa dorang itu?” tanya Enci’ dengan kedua alis yang tampak saling merangkul saking herannya.
“So itu no Enci’. Kita le ndak kenal nama-nama yang Enci’ tanya-tanya tadi. Samua kan ada kenalan masing-masing to?”
Benua Australia
Bukan hanya soal pahlawan nasional yang jadi masalah di kelas. Enci’ yang mengajar IPS tadi pun menemui masalah lain. Kayaknya memang itu Enci’ sedang sial.
Masalah itu diceritakan kembali oleh Ungke kepada bapaknya sepulang sekolah.
“Enci’ marah-marah pa Ungke tadi,” lapor Ungke.
“Kiapa le?” tanya bapaknya, yang sudah tidak heran lagi dengan laporan semacam itu.
“Enci’ tanya … ‘Di mana letaknya Benua Australia?’ Kong Ungke nintau,” cerita Ungke.
Bapaknya mendengus lalu berkata, “So itu ngana. Kalo bataru barang inga-inga (kalau taruh barang ingat-ingat).”
Surat Sakit
Setelah kejadian itu, Ungke tidak masuk sekolah selama tiga hari. Ia akhirnya mau sekolah setelah dibujuk bapaknya.
Sesampainya di sekolah Ungke ditanyai wali kelasnya.
“Kiapa Ungke ndak maso-maso?”
“Ungke ada saki … uhuk! Uhuk!” jawab Ungke sambil pura-pura batuk.
“Kalo saki kirim surat izin ne,” kata wali kelas.
“Percuma le mo kirim surat. Ibu guru le ndak mo balas.”
Ikut Les
Lantaran Ungke ketinggalan beberapa mata pelajaran, Enci’ memberikan les khusus untuk siswa yang ketinggalan mata pelajaran. Selain Ungke, ada Utu, Alo, dan Tole. Les diberikan di sekolah pada sore hari.
Pertama kali hadir Alo dan Utu. Sementara Ungke dan Tole sudah hampir setengah jam tak kunjung datang.
“Ngoni dua ndak dapa lia pa Ungke deng Tole (kalian berdua nggak lihat Ungke dan Tole)?” tanya Enci’.
“Tadi pulang sekolah, dorang dua baramain palinggir (layang-layang),” kata Alo.
“Memang nakal laeng itu anak dua itu,” Enci’ menggerutu.
Setelah sepuluh menit lagi menunggu, akhirnya yang disebut-sebut datang.
“Kiapa ngoni dua terlambat?” tanya Enci’ kesal.
“Tadi kita baku dapa deng ibu pendeta. Trus ibu pendeta minta tolong suruh ambe kunci gereja dapa tinggal di rumah,” kata Tole.
“Kong ngana dang, Ungke?”
“Pas Tole mo ambe kunci gereja, dia pangge le pa kita.”
Mendengar alasan kedua bocah tengil itu, Enci’ tak bisa berbuat apa-apa selain segera memulai les.
Bersiul
Meski telah mengikuti les beberapa kali, Ungke masih sering membikin kesal Enci’. Beberapa soal yang ditanya Enci’ dijawab salah oleh Ungke.
“Ngana ini biongo (bodoh) memang!” teriak Enci’ di kelas.
Ungke ditertawai teman sekelasnya.
Sepulangnya dari sekolah Ungke kembali melapor kepada bapaknya.
“Pa’, tadi Ungke, Enci’ kase bataria (berteriak) akang biongo,” tuturnya.
“Mar Enci’ nyandak pukul to?” selidik bapaknya yang merasa khawatir.
“Ndak pukul. Cuma dapa kase bataria bagitu.”
“Biar ndak pukul, mar nimbole Enci’ kase bataria bagitu. Papa’ nyandak terima! Besok Papa’ ka sekolah!”
Esoknya, Ungke ditemani bapaknya ke sekolah. Bapaknya pergi mencari Enci’ yang mengatai anak kesayangannya itu.
Setelah bertemu Enci’ yang dimaksud bapak Ungke segera melemparkan pertanyaan.
“Kiapa Enci’ bilang biongo kita pe anak?”
Enci’ itu tampak pucat. Seluruh guru di sekolah dan siswa-siswi berkerumun.
“Kalo memang Enci’ pande, sekarang kita tes pa Enci’!” kata bapaknya.
“Mo … mooo … tes apa?” tanya Enci’ itu gugup.
“Coba Enci’ tulis ini!” Bapak Ungke lalu bersiul.
Semua orang menggaruk kepala secara berjamaah.
Like father, like son ….
Surat Sakit Bagian II
Setelah berkali-kali beralasan sakit, akhirnya Ungke asli sakit.
“Pa’ …,” panggil Ungke dari kamar.
Bapaknya segera menuju kamar, “Kiapa le?”
“Ungke barasa demam.”
Telapak tangan kanan bapaknya segera mendarat di jidat anak satu-satunya itu.
“Keode’, saki butul ngana ini.”
“Tulis akang surat izin saki pa ibu guru. Supaya ndak mo dapa marah ulang,” pinta Ungke.
Bapaknya yang lihai merayu ibunya ketika masih pacaran dengan surat-surat cinta puitis lantas menulis surat izin sakit versi puisi.
Di pagi yang cerah
mentari menyembul dari punggung bukit
kembang-kembang mekar di taman
tapi ada satu kembang yang layu …
Ungke yang layu.
Barang Kotor
Libur sekolah akhirnya tiba. Ungke bersama bapak dan ibunya berlibur ke kampung halaman di Sangihe. Mereka berkunjung ke rumah oma dan opa dari sebelah bapaknya.
“Ado, so basar Oma pe cucu ini e,” kata Oma saat kali pertama melihat Ungke. Oma juga mencubit pipinya Ungke.
“Makang dulu sana. Ada ubi rubus deng ikang bakar,” kata Oma.
Ungke segera berlari menuju dapur.
Saat makan, tetiba bagian kepala ikan bakar yang sedang diemut-emut Ungke jatuh. Ungke baru saja mau memungut, tapi teriakan Oma mengagetkannya.
“Ndak usah punggu. Kalo barang so ciri (jatuh) so kotor itu,” kata Oma.
Ungke menuruti perintah Omanya.
Setelah makan, Ungke menuju halaman belakang, melihat-lihat pantai. Tetiba Oma yang sedang membawa piring kotor ke tempat cucian piring terpeleset dan jatuh.
Opa yang melihat kekasihnya itu terjatuh segera menolong mengangkat Oma.
Melihat itu Ungke segera berteriak, “Opa, kalo barang so ciri ndak usah punggu. So kotor!”