Saya lupa kapan pastinya kenal dengan cerita-cerita mop. Yang jelas, saya punya banyak orang dekat yang jago cerita mop, dari kawan di kampus, organisasi, kawan sewaktu di penjara, hingga anggota keluarga sa sendiri. Di keluarga, adik laki-laki saya jagoannya: namanya Akbar, masih kelas dua SMP serta terkenal paling banyak mulut dan kapala angin (pengacau).
Pernah suatu ketika saat saya baru selesai makan dan sedang duduk santai memegang tusuk gigi, tiba-tiba ia datang merampas tusuk gigi tersebut.
“Eee Adlun e, hati-hati. Supaya ngana tahu e, barang kecil-kecil begini ini bahaya sekali,” katanya sambil mengacungkan tusuk gigi yang dirampas.
“Heh, bahaya dape apa?” Saya mengerutkan alis.
“Ah, coba ngana bayangkan. Pas pilot ada bawa pesawat, terus kita ambil ini tusuk gigi lalu kita tusuk itu pilot pe mata. Ngana pikir itu tara bahaya?”
Binatang. Sontak saya pun loncat ingin menjitak kepalanya.
Nah, dari dia pula banyak koleksi mop yang saya dapat untuk ditulis. Mop tidak hanya diambil dari kisah manusia semata, ada pula tentang binatang. Jika fabel menyajikan cerita-cerita mengandung pesan moral, lain halnya dengan mop binatang yang lebih banyak menyajikan kisah absurd nan jenaka.
Sebenarnya mop itu lebih kena kalau cerita langsung. Susahnya kalau dituliskan ya itu, malah jadi garing. Di bawah ini sa coba membagikan beberapa cerita binatang yang berhasil saya himpun. Salah duanya (pertama dan terakhir) dituturkan oleh Akbar. Selamat menyimak.
Istri Ular
Alkisah seekor ular pergi ke dokter hendak memeriksakan matanya.
“Dokter, penglihatan saya ini sudah lama terganggu.”
“Ayo, kita periksa dulu.”
Beberapa saat kemudian keluar hasilnya. “Ngana pe mata ini sudah minus. Jadi ini saya kasih kacamata untuk membantu.”
“Wah, terima kasih, Dokter,” kata si ular sambil memakai kacamatanya. Jangan tanya macam apa dia pakai itu kacamata.
Sang ular pun berjalan pulang dengan riang karena penglihatannya kembali cerah.
Namun, seminggu kemudian sang ular kembali menemui dokter dengan wajah yang murung. Melihat itu dokter lalu bertanya.
“Eh, Ular, kenapa ngana murung bagini?”
Sang ular hanya terdiam.
“Kacamata yang saya kasih itu kan so bagus, kurang puaskah?” tanya dokter ulang.
“Bukan itu, Dokter. Setelah pakai kacamata itu saya baru sadar selama ini saya kawin deng selang air.”
Ulang Tahun Ikan Lele
Suatu hari seekor ikan lele sedang berulang tahun. Ia berencana mengadakan pesta joget dengan megundang seluruh ikan yang ada. Undangan tersebar. Malam nanti pesta diadakan. Namun, ada segerombolan ikan teri yang tidak senang dengan pesta tersebut, sebab mereka tidak kebagian undangan.
“Cukimai nih ikan lele itu e, undang semua ikan, tapi tra undang kitorang e,” keluh seekor teri.
“Iyo tuh. Pokoknya nanti pas pesta mulai, kita kasih keosss.”
“Ide bagus itu, tapi kitorang tongka deng sopi dulu.”
“Weeeh, cocok!!!”
Gerombolan teri itu lalu berkumpul di sebuah pangkalan semacam markas untuk konsolidasi. Dua gelon sopi dihidangkan. Saat sedang meneguk sopi, tiba-tiba seekor hiu datang dengan wajah murung.
“Wahai, Hiu, bikapa ngana bikin muka sedih begitu?” tanya seekor teri.
“Ah kecewa, ikan lele tra undang kita di acara ulang tahun.”
“Passs, sama, kitorang juga begitu.”
“Jadi mari gabung sini sudah, torang minum sopi. Nanti baru torang kasih kaco itu acara,” ujar teri lainnya.
Si hiu pun akhirnya ikut ikan teri. Singkat cerita, setelah menghabiskan dua gelon sopi, gerombolan teri dipimpin si hiu itu menuju lokasi acara. Rata-rata mereka setengah mabuk. Saat tiba di lokasi dan hendak masuk ke acara, mereka diadang oleh seekor buaya yang terkenal paling ganas.
“Woeee, mau ke mana ngoni (kalian)?” tanya si buaya dengan suara keras kepada si hiu sebagai pemimpin barisan. Dengan wajah menunduk, si hiu menjawab, “Eh, Kaka, tidak, saya lagi bawa anak-anak ini pergi les di depan situ, cuma kebutulan lewat sini saja.”
Di belakang, pasukan hilang kayak kilat.
Kuda Bendi
Di Ternate dulu, sebelum ada mobil, kuda bendi menjadi alat transportasi andalan masyarakat. Alkisah pada satu hari ada sebuah bendi melintas di kawasan pertokoan Pasar Gamalama.
“Bendi! Bendi!” panggil seorang ibu
“Bagaimana, Ibu? Mau ke mana?” tanya om kusir
“Antar saya ke utara. Tapi, saya muat semen sepuluh sak, boleh?”
“Boleh sekali, Ibu.”
Mendengar jawaban om kusir, si kuda kaget bukan main lalu berbalik menatap tuannya dan berujar, “E setan, ngana ganti di depan sini. Ngana kira semen tra berat?”
Akhirnya disepakati mereka akan membawa lima sak semen sajam, lalu diantarlah si ibu ke tempat tujuan. Namun, dalam perjalanan terjadi sebuah insiden. Si kuda hampir menginjak seekor kucing yang menyeberang.
“Astagfirullah. E ngana ini jalan bae-bae sedikitkah. Mentang-mentang kita ini binatang kecil lalu ngana mau main injak begitu,” cecar si kucing yang naik pitam
Si kuda kaget bukan main dan berkata, “Weh, kita heran sekali eh, ternyata binatang juga bisa bicara e,” jara si kuda sambil menatap wajah kucing lalu berbalik menatap om kusir dengan terheran-heran.
“Iyooo, apalagi kita lebih heran lagi,” ucap om kusir.
Ayam dan Kucing
Entah sejak kapan dua binatang ini bermusuhan. Kadang cekcok, saling ejek, bahkan berujung pada perkelahian.
Suatu siang, matahari begitu panas, seekor ayam hendak menyeberang melintasi jalan aspal. Di seberang si kucing lagi duduk santai di rerumputan. Melihat ayam lewat, si kucing mulai mengejek.
“Ceh, binatang model ngana ini e, matahari panas-panas pakai baju bulu tebal, tapi tra pakai sendal. So begitu bajalan di atas aspal lagi. Ceiii.”
Mendengar ejekan kucing si ayam naik pitam.
“Eh, cukimai, daripada ngana, pakai baju lengan panjang, celana panjang, tapi biji-biji gantong di luar, gaya model apa itu!?!” teriak ayam.
Kucing langsung mati gaya.