Dipindah dari ICU ke ruangan perawatan transisi, aku sempat kaget. Aku kira aku akan dipindah ke kamar di lantai empat, kamar kelas satu, tempat semula aku dirawat yang berisi dua pasien. Ternyata tidak. Aku dipindah ke ruang perawatan transisi yang sesak dengan empat pasien. Semula aku hendak protes, tapi niat itu saya batalkan. Aku terima saja.
Kamar itu persis berseberangan dengan lobi suster dengan dinding kaca transparan. Seluruh pasiennya adalah pasien pasca-operasi atau berasal dari ICU, dan antarpasien dibatasi gorden berwarna merah jambu.
Kecuali diriku, mobilitas pasien dari dan ke kamar transisi itu cukup tinggi. Ada yang dua hari, ada yang seminggu dan sebagainya; sudah dipindah ke kamar perawatan biasa atau diizinkan pulang.
Di pekan pertama, aku mendapat tempat di dekat pintu masuk (dan posisi itu tak berubah hingga aku dipindah ke kamar di sebelahnya, dua bulan kemudian). Di sebelah kiri, dirawat seorang perempuan yang kabarnya sudah sebulan di kamar itu. Dari beberapa kawan yang menungguiku, di leher ibu itu dipasangi selang. Aku sering mendengar suara seperti orang sedang mengorok.
Di depannya, dirawat juga seorang ibu. Dia pasien operasi otak. Dari kepalanya terlihat selang yang diteruskan ke perutnya. Sejak masuk, siang malam dia sering bersuara, “Aku atit….” Bila malam suara itu membuatku merinding.
Di sebelahnya atau di depanku, pasien operasi batu empedu. Seorang perempuan muda. Dia sering ditunggui oleh ibunya. Sesekali suaminya ikut menunggu, tapi dia lebih banyak mengasuh dua anak mereka yang balita. Mereka berasal dari pelosok Sumatra. Di Jakarta mereka ngontrak rumah petak tak jauh dari rumah sakit.
Ibu penunggu di depanku itu termasuk ibu “aktif.” Tiap pagi atau sore dia sering berkunjung ke dua pasien lainnya kecuali ke aku. Entah kenapa. Orangnya sok akrab.
Suatu sore pasien di sebelahku terdengar seperti menggigil. Dia dijaga anak lelakinya dan anak itu terdengar panik. “Aduh. Tangan saya jangan digigit, Bu…”
Mendengar suara itu, ibu yang “aktif” segera masuk ke kamar di sebelahku.
“Ada apa?”
“Ibu gigit tangan saya.”
“Biar saya panggil perawat,”
Tak berapa lama masuk seorang perawat.
“Sus, tangan saya digigit,” terdengar suara anak lelaki.
“Coba kasih sendok biar mulutnya terbuka.”
Sejenak tak terdengar suara mengaduh dari si anak. Suster kembali ke lobi. Si ibu “aktif” masih di kamar itu. Entah apa yang terjadi kemudian, terdengar suara si ibu menyuruh membaca Surah Yaa Sin. Seorang perempuan muda datang. Dia kakak si lelaki yang tangannya digigit. Di bertanya ke adinya, lalu menangis. Suasana lalu seperti orang-orang di kampung yang membaca Yaa Sin di depan orang yang sedang mengalami sakaratul maut. Aku menutup telingaku dan mencoba terpejam, sebelum terdengar suara dokter dan serombongan perawat di ruang sebelahku.
“Ada apa? Kenapa?”
“Ibu tak bisa bernapas, Dok.”
Sepi sejenak. “Ibumu hanya kedinginan. Tidak ada apa-apa. Besok boleh pulang.” Suasana segera berubah. Si ibu “aktif” menyibak gordenku. Lalu katanya, “Nggak jadi.” Entah maksudnya apa.
Aku merasa agak lega ketika anak perempuannya dipindah kamar. Gantinya, seorang ibu yang juga baru selesai operasi batu empedu. Dia masuk malam-malam, sekitar pukul 21.00. Yang mengantar banyak orang: anak-anaknya. Dan mereka tak terlihat bersedih. Sampai tengah tengah malam, terdengar suara mereka termasuk ibunya. Aku tertidur.
Paginya, aku baru bisa melihat sosok si ibu. Dia memakai daster, duduk di tepi brankar.
“Lho, Bu, sudah nggak pusing?” tanyaku.
“Sudah mendingan, Mas.”
“Ibu kuat sekali ya? Nggak sakit?”
“Nggak, Mas. Kemarin di tengah operasi, saya malah sadar.”
“Sadar gimana?”
“Ya sadar karena obat bius dan dosisnya lurang banyak.”
“Terus?”
“Saya menjerit. Perawat mengikat saya dan menyuktikkan lagi obat bius.”
“Terus selesai?”
“Iya. Operasi dilanjutkan.”
Aku merinding mendengar ceritanya. Ibu itu memang ibu yang kuat.